Aku tidak pernah menyangka jika pertemuanku dengan seorang laki-laki yang aku anggap menyebalkan akan menjadi awal bagiku merasakan sebuah sensasi rasa asing yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Lelaki menyebalkan yang hampir setiap hari menjadi teman cek-cok justru menjadi sosok lelaki yang berkeliaran dalam pikiran dan juga hati.
Perasaan apa ini? Apakah perasaan benci yang aku miliki telah berubah menjadi rasa cinta ketika banyak hari yang kita lewati bersama? Ataukah hanya sekedar perasaan sesaat yang menghampiri di masa-masa SMA?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rasti yulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RMS 22. Bolehkah?
Fajar menyingsing di langit timur dengan hiasan warna keemasan yang membalut garis cakrawala. Induk-induk burung pipit mulai terbang dari sangkar, mencari makan untuk anak-anak mereka yang mereka tinggalkan di sela dahan. Ditambah dengan kicau burung gereja yang semakin menambah riuh pagi hari yang dibalut oleh kehangatan.
Aku memasukkan laptop ke dalam tas. Setelah semalaman latihan total, akhirnya aku sudah siap untuk presentasi tugas geografi di kelas nanti. Semua materi sudah aku kuasai dan aku percaya bahwa hasilnya akan sesuai dengan apa yang aku harapkan.
Keberadaan bang Sakti benar-benar seperti malaikat penyelamat. Pastinya aku sangat bersyukur, dengan kehadiran bang Sakti membuatku tidak perlu pusing-pusing lagi memikirkan tugas geografi dari pak Johan yang harus aku kerjakan sendiri.
Upppsss, aku sampai lupa jika tugas ini merupakan tugas kelompok yang diberikan oleh pak Johan. Selain materi, kekompakan dan kerja sama anggota tim pasti akan menjadi bahan penilaian bukan? Jika nanti aku maju presentasi sendiri, bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan nilai sempurna.
Hah, gegara perkara ini aku galau lagi. Andai saja saat itu Sakha mau diajak bekerja sama, pasti hal semacam ini bisa diatasi. Sudahlah, dipikir nanti saja. Entah bagaimana nanti aku mencari jalan keluar untuk perkara ini.
"Ayo Mel, sarapan dulu!"
Mama dan papa sudah berada di ruang makan. Mereka duduk melingkar, mengitari meja makan. Aku hanya mengangguk pelan dan mulai mendaratkan bokong di kursi yang masih kosong.
"Bang Eross masih tidur ya Ma?" tanyaku sembari menyeruput susu putih hangat yang sudah disiapkan oleh bik Sumi.
"Abangmu sudah berangkat sejak tadi Mel. Bahkan dia belum sempat sarapan juga."
Aku melirik ke arah jam di pergelangan tangan. "Tumben Ma, pagi-pagi sekali bang Eross sudah berangkat. Padahal ini baru jam enam seperempat loh."
"Entahlah Mel, abangmu akhir-akhir ini memang sibuk. Entah beneran sibuk atau sok sibuk," ucap Mama sembari mengedikkan bahu.
"Pagi ini mau Papa antar Mel?" timpal papa menawarkan diri untuk mengantarku ke sekolah. Karena biasanya bang Eross lah yang mengantarku.
"Amel naik Trans Jogja saja Pa."
"Tumben kamu antusias naik Trans Jogja Mel? Biasanya kamu selalu protes kalau naik bus?" tanya papa sedikit keheranan karena tidak biasanya aku begitu antusias naik Trans Jogja.
"Hmmmm, Papa lupa, kalau hari ini ada pesanan kue banyak?" tanyaku sembari melahap sup ayam kampung khas kota Klaten.
"Ngantar kamu ke sekolah menghabiskan waktu berapa jam sih Mel? Gak sampai satu jam kan? Jadi, Papa rasa masih bisa kalau hanya sekedar mengantarkanmu ke sekolah."
"Sudah Pa, gak perlu. Amel naik Trans Jogja saja. Lagipula udah lama Amel gak naik Trans Jogja ketika berangkat sekolah, jadi kangen menikmati suasana pagi dengan berada di dalam bus."
"Hemmmm, ya sudah kalau begitu Mel. Yang jelas hati-hati. Hari ini kamu bawa laptop kan?" nasihat papa.
"Siap Pa. Jangan khawatir, Trans Jogja itu aman Pa."
Aku, mama dan papa kembali menyantap hidangan yang ada di meja makan. Suasana sedikit hening, hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu di atas piring. Kami menikmati sarapan pagi ini pastinya dengan rasa syukur tiada henti atas segala rezeki yang sudah Tuhan beri.
***
Aku duduk terpaku sembari menatap layar laptop yang menyala di hadapanku. Kali ini pikiranku teramat kacau, memikirkan presentasi nanti. Masa iya aku harus maju presentasi sendiri?
"Kok melamun Mel? Ada apa?"
Tubuhku sedikit tersentak kala tiba-tiba Sastri datang dan memegang pundakku. Kulihat, sahabatku ini meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di kursi yang sudah tersedia.
"Sas, kamu presentasi sama aku saja ya,"
Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba aku memiliki ide yang cukup cemerlang. Aku meminta Sastri untuk presentasi menggantikan posisi Sakha yang kala itu jadi teman satu timku.
"Mana bisa, Amelia?" tanyanya dengan mimik wajah serius. "Aku sudah satu kelompok dengan Rio dan kami juga sudah prepare dengan matang, mana bisa tiba-tiba berubah skenario seperti itu?" sambungnya pula.
"Please Sas, maju presentasi sama aku ya. Biar Rio yang maju presentasi sama Sakha," ucapku memohon.
Sastri hanya menggelengkan kepala, sebagai isyarat bahwa permintaanku kali ini ia tolak.
"Tidak bisa, Mel. Aku loh yang jadi pembicaranya. Kalau tidak ada aku, Rio otomatis gak bisa bicara apa-apa. Terus bagaimana dia bisa mendapatkan nilai?"
"Lalu, aku harus bagaimana Sas? Masa iya aku maju presentasi sendiri?" tanyaku sedikit frustrasi. Entah mengapa perkara presentasi ini teramat rumit sekali.
"Hemmmm, kenapa kamu bingung sih Mel? Tinggal ajak Sakha untuk maju presentasi, beres kan?" ujar Sastri memberikan sebuah saran.
Aku mendengus kesal mendengar saran dari Sastri. Bagaimana mungkin aku mengizinkan Sakha untuk maju presentasi bersamaku. Keenakan dia dong, tinggal nyantai layaknya berjemur di pantai tahu-tahu dapat nilai.
"Enak aja, kalau seperti itu keenakan dia Sas. Aku yang sudah bekerja keras sampai lembur dibantu bang Sakti, eh dia tiba-tiba ikut menikmati hasil pekerjaanku tanpa sumbangsih apapun."
Sastri terkekeh pelan yang justru membuatku mengernyitkan dahi. Ada apa gerangan teman satu bangkuku ini terkekeh.
"Mel, alasanmu sungguh tidak masuk akal!"
Aku terhenyak. "Tidak masuk akal bagaimana Sas? Sudah jelas kalau Sakha ikut presentasi ke depan, dia akan mendapatkan nilai secara cuma-cuma tanpa kerja keras. Iya kan?"
"Lantas, apa bedanya denganku jika aku maju presentasi sama kamu Mel? Aku sama sekali tidak ikut membantumu mengerjakan tugas itu. Itu artinya aku juga akan mendapatkan nilai secara cuma-cuma kan?"
Aku terdiam mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Sastri. Apa yang dia katakan memang banyak benarnya. Aku semakin keki dan hanya bisa cengar-cengir sendiri.
"Lalu sekarang harus bagaimana Sastri? Masa aku maju sendiri?"
"Huh kamu ini kok masih tanya harus bagaimana sih Mel. Tinggal buang egomu dan ajak Sakha untuk presentasi. Kamu tidak mau kan kalau pak Johan memberikan nilai minus poin kerjasama antar tim kepadamu?"
Aku membuang napas sedikit kasar. Saat ini, aku tidak bisa berbuat banyak selain mengikuti saran dari Sastri. Ya, aku akan mengajak Sakha untuk maju presentasi.
Aku melirik ke arah kaca jendela kelas. Kulihat, Sakha berjalan menuju ruang kelas. Kuputuskan untuk berbicara langsung kepada lelaki itu. Aku beranjak dari posisi dudukku dan kuhampiri lelaki itu sebelum tiba di mejanya.
"Kha!"
"Amel? Ada apa?"
Aku benar-benar terkejut mendengar intonasi suara Sakha. Dia yang sebelumnya selalu berbicara dengan nada tinggi ketika berhadapan denganku, saat ini dia terdengar sedikit kalem. Ada apa ini? Mengapa dalam waktu sekejap dia berubah lemah lembut seperti ini?
Aahhh, aku sampai lupa jika aku sudah menjadi pahlawan untuknya. Ya, pahlawan karena sudah menutupi sikap buruk Sakha di hadapan keluargaku. Mungkin karena hal itulah yang akan membuat lelaki ini bersikap baik terhadapku.
"Mel, kok malah bengong? Ada apa? Apa kamu ingin duduk satu bangku denganku lagi?"
Aku terkesiap. Buru-buru bibirku mencebik sebagai isyarat jika bukan itu alasannya.
"Jangan ngawur Kha! Bukan itu yang jadi alasanku menghampirimu."
"Lantas?"
"Temani aku untuk presentasi tugas dari pak Johan," jawabku singkat dan padat.
Sakha menatapku dengan tatapan penuh keheranan. Aku paham itu karena jangankan Sakha, aku sendiri pun juga heran kenapa bisa memutuskan untuk melakukan hal itu. Tapi mau bagaimana lagi, ini semua demi kesempurnaan nilai dari pak Johan.
"Serius, kamu memintaku untuk maju presentasi sama kamu?" tanyanya memastikan.
"Mau bagaimana lagi? Tugas ini merupakan tugas kelompok. Aku tidak ingin jika sampai nilaiku minus hanya karena maju sendirian," jelasku.
"Apa kamu ikhlas berbagi nilai denganku, padahal aku sama sekali tidak ikut membantumu mengerjakan tugas itu?" tanyanya lagi meminta penyelewengan dariku.
"Issshhh jangan banyak tanya, Kha. Tinggal jawab iya aja apa susahnya sih?" protesku karena lelaki ini bawel sekali.
Sakha tergelak pelan. Senyum manis terbit di bibir lelaki ini. Satu hal yang langka karena baru kali ini aku melihat senyum Sakha semanis ini. Upssss Amel, please jangan lagi puji-puji Sakha meskipun itu hanya dalam hati. Ingat, Sakha adalah lelaki menyebalkan, oke?
"Baiklah kalau begitu Mel. Aku akan maju presentasi sama kamu. Apa lagi? Apa hanya itu?"
"Ya, itu saja."
Aku berbalik badan dan kembali melangkah setelah maksud dan tujuanku tersampaikan. Namun baru beberapa langkah tiba-tiba..
"Mel!"
Aku terpaksa menghentikan langkah kakiku. Aku menoleh ke belakang di mana Sakha mulai menghampiriku.
"Apa?"
Lagi-lagi senyum manis Sakha mengembang di bibirnya. "Kamu berbeda. Bolehkah aku mengenalmu lebih dekat lagi?"
.
.
.