Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21: Beban Rasa Bersalah
Aku masih ingat hari itu dengan sangat jelas—hari pertama aku bertemu dengan Ruri. Saat itu, aku bukan siapa-siapa, hanya seekor bayi kucing yang tersesat di jalanan. Tubuhku yang lemah terjatuh dari dahan pohon, langsung menjadi sasaran empuk seekor gagak besar yang terbang rendah, berputar-putar di atas kepalaku. Paruh tajamnya menukik dengan ganas, menyambar tubuh kecilku. Aku ingat bagaimana aku berteriak, memohon pertolongan dalam kepanikan, namun tidak ada seorang pun yang datang.
Aku terlalu kecil, terlalu lemah untuk melawan. Setiap cakar gagak yang menyentuh tubuhku seakan menghantamku dengan rasa takut yang mencekam. Aku yakin hari itu akan menjadi akhir bagiku—aku akan mati sebagai bayi tak berdaya, dan tidak ada yang akan peduli.
Namun, di tengah kesakitan itu, aku melihat sepasang kaki mendekat. Seorang gadis kecil berlari ke arahku, mengusir gagak itu dengan teriakan keras. Aku tidak tahu dari mana dia muncul, tapi dia melompat ke arah gagak itu dengan keberanian yang tak sebanding dengan tubuh kecilnya. Gagak itu kabur, dan aku merasakan tubuhku diangkat dengan lembut dari tanah.
Saat itulah aku melihatnya untuk pertama kali—Ruri. Matanya yang cerah, wajahnya penuh kepedulian, dan tangannya yang gemetar saat ia menggendongku. Tangannya terasa hangat, penuh dengan kelembutan yang selama ini belum pernah aku rasakan. Untuk pertama kalinya, aku merasa aman. Pelukan kecilnya membawa kehangatan yang meresap jauh ke dalam diriku, seolah dia mentransferkan kehidupan baru padaku.
Dia mengelusku dengan hati-hati, seakan takut akan menyakitiku lebih jauh. Bahkan ketika tubuhku terluka, aku merasa tenang dalam dekapan Ruri. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang lembut, ritmenya yang menenangkan membasuh ketakutanku. Saat itulah aku berjanji pada diriku sendiri: aku akan melindungi gadis ini, apa pun yang terjadi. Dia telah menyelamatkan nyawaku, dan aku akan membalasnya, bahkan jika aku harus mengorbankan nyawaku sendiri.
Setiap kali aku memikirkan momen itu, hatiku bergetar. Dia bukan hanya penyelamatku, dia adalah dunia kecilku. Hingga kini, janji itu masih aku pegang teguh. Aku akan selalu ada untuknya, sama seperti dia yang ada untukku di hari kelam itu.
___
Carlos terbaring di atas kasur tua, tubuhnya lemah, wajahnya tampak pucat dan berkeringat dingin. Kamar itu redup, hanya disinari cahaya dari jendela kecil yang tirainya sudah usang. Di dalam tidurnya, Carlos tampak gelisah. Nafasnya tersengal, dan keningnya berkerut dalam, seolah berada dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
“Ruri…” bisiknya di tengah igauannya. “Ruri, tunggu… jangan pergi… Aku akan melindungimu…!” Suaranya semakin tegang, dan tubuhnya mulai bergetar. Kata-katanya terpotong-potong, kadang samar, kadang jelas, seperti sedang terjebak dalam ketakutan yang nyata.
Seorang ibu-ibu, tetangga yang selama ini merawatnya, melangkah masuk ke kamar setelah mendengar suara Carlos yang semakin cemas. Dia segera menghampiri tempat tidur, melihat Carlos yang semakin gelisah dan basah oleh keringat.
“Carlos! Carlos, bangun!” serunya sambil mengguncang tubuh Carlos dengan lembut. Tapi Carlos terus meronta dalam tidurnya, tubuhnya bergerak tak terkendali, seolah berusaha melawan sesuatu di alam mimpinya.
“Ibu, tolong!” Carlos berteriak dalam igauannya. Si ibu mulai panik, dan kali ini mengguncang tubuh Carlos lebih keras.
“Carlos! Sudah, bangun! Ini cuma mimpi!” teriaknya dengan nada khawatir. Butuh beberapa saat, tapi akhirnya kelopak mata Carlos mulai bergerak. Perlahan, dia membuka matanya, napasnya masih terengah-engah, dan tatapannya kosong beberapa detik sebelum akhirnya kembali ke realitas.
Carlos menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, namun tubuhnya masih terasa lemah. "Sudah berapa lama aku tertidur?" tanyanya dengan suara serak, matanya berusaha fokus pada si ibu yang berdiri di samping tempat tidurnya.
“Hampir satu minggu kamu seperti ini,” jawab si ibu dengan nada prihatin. “Aku pikir kamu nggak akan bangun lagi.”
Carlos mendecakkan lidahnya, masih melamun sejenak, mencoba mencerna apa yang terjadi. “Satu minggu…?” gumamnya, separuh tidak percaya. Kepalanya terasa berat, dan otot-ototnya masih kaku.
Melihat Carlos diam saja, si ibu mengetuk-ngetukkan kakinya di lantai, mencoba menarik perhatiannya. “Hei! Jangan bengong, ya. Ayo segera bangun, kamu sudah satu minggu terbaring terus! Cepat ke kamar mandi, bersihkan dirimu, aku mau menyiapkan bubur buat kamu.”
Carlos tersenyum tipis, meski tubuhnya masih lelah. “Tak kusangka ibu yang kukira resek ternyata orang baik yang mau repot-repot merawatku,” katanya setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.
“Resek apanya?!” si ibu langsung merespons dengan jutek, meskipun jelas dia tak terlalu mempermasalahkan komentar itu. “Sudahlah, cepat mandi. Nanti buburnya dingin.”
Carlos hanya tertawa kecil, meski badannya masih terasa sakit. Dia pelan-pelan bangkit dari tempat tidur, merasakan betapa lemah tubuhnya setelah berbaring selama itu. Meski demikian, ia akhirnya berdiri, bersiap mengikuti instruksi si ibu.
Carlos keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di lehernya, rambutnya masih basah meneteskan air. Setelah berhari-hari terbaring, tubuhnya terasa lebih ringan, meskipun sisa-sisa kelemahan masih ada di otot-ototnya. Udara segar dari jendela kamar membawa sedikit kesejukan yang membuatnya merasa lebih baik.
Di meja makan sederhana yang terletak di ruang tengah, semangkuk bubur sudah menanti, masih mengepul panas. Si ibu-ibu itu, seperti biasa, sudah duduk di kursi tua, menatapnya dengan ekspresi yang sama—jutek, tapi ada sedikit rasa lega di sana.
"Kamu sudah selesai mandi? Cepetan makan, sebelum buburnya keburu dingin," kata si ibu dengan nada yang masih ketus, namun Carlos bisa merasakan kepedulian di balik ucapan itu.
Carlos mendudukkan dirinya di depan mangkuk bubur, mengamati si ibu yang selalu tampak sibuk dan tegas. "Wah, aku nggak nyangka, ternyata ibu perhatian banget. Aku mulai berpikir kamu ini sebenarnya malaikat yang menyamar jadi tetangga," ucapnya sambil menyeringai lebar.
Si ibu melotot, tapi tak bisa menahan senyum tipisnya. "Malaikat apanya? Kalau kamu nggak butuh dirawat, aku juga nggak bakal repot-repot."
Carlos tertawa kecil, lalu menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya. Rasanya hangat dan lembut, pas di perut yang sudah lama kosong. “Ini enak, ibu. Kalau nggak tahu lebih baik, aku pasti sudah pikir ini dibikin koki hotel bintang lima.” Dia menambahkan pujian yang sengaja dibesar-besarkan.
"Tutup mulutmu dan makan saja. Kalau aku jadi koki bintang lima, aku nggak bakal repot-repot ngurusin orang sok kayak kamu!" jawab si ibu, dengan wajah pura-pura marah, tapi Carlos bisa melihat sudut mulutnya sedikit terangkat.
Carlos terkekeh, mengambil sesendok bubur lagi. "Ibu benar-benar keras ya. Untung aku kebal sama kata-kata pedas. Kalau nggak, aku pasti sudah nangis di pojok."
Si ibu menghela napas panjang. "Sudah, cepat habiskan. Biar bisa kamu istirahat lagi. Kalau sakitmu kambuh, jangan salahkan aku."
Sambil makan, Carlos menyeringai lagi. "Kalau aku sakit lagi, aku bakal langsung panggil ibu buat urus aku. Ibu senang kan jadi malaikat penyelamatku?"
Si ibu menatapnya dengan tatapan penuh ejekan. "Ah, terserahlah! Cepat selesaikan saja makanmu dulu."
Carlos menikmati sisa bubur sambil terus bercanda, suasana santai menyelimuti keduanya. Meski mulutnya terus bercanda, di dalam hati Carlos merasa benar-benar bersyukur. Meski ibu-ibu ini selalu jutek, kehadirannya saat Carlos dalam keadaan terburuk benar-benar membantu.
Setelah menghabiskan bubur yang disiapkan si ibu, Carlos bersandar di kursi tua dengan napas lega. Meski tubuhnya masih terasa lelah, perutnya yang kini terisi memberi kenyamanan tersendiri. Tangannya dengan santai memainkan sendok yang masih ada di tangannya, sementara matanya memandang kosong ke arah jendela.
Di tengah kesunyian itu, Carlos teringat akan Ruri dan babak ketiga kompetisi yang tengah dijalani. Dia belum sempat memeriksa perkembangan terbaru. Carlos meraih komputer tua yang ada di meja kecil di sebelahnya. Layarnya retak di beberapa tempat, dan suara mesin CPUnya yang entah keluaran abad berapa terdengar berisik ketika ia menyalakannya. Setelah beberapa saat menunggu, internet akhirnya tersambung, dan Carlos segera mencari kata kunci tentang program "Pemuda Tangguh."
Begitu halaman terbuka, Carlos terkejut. Nama Ruri ada di daftar teratas di antara 27 peserta yang tersisa. Hal yang membuatnya tersenyum adalah serangkaian komentar positif yang membanjiri kolom diskusi.
-TimIbukota: "Aku suka banget sama caranya Ruri bicara soal pembangunan berbasis lingkungan! Dia benar-benar punya visi yang beda dari peserta lain."
-->Setuju! Dia kayaknya nggak cuma pinter ngomong, tapi juga ngerti banget apa yang dia omongin."
-AkuGaul123: "Poin dia soal manajemen kepegawaian di ibu kota baru itu brilian. Harusnya pejabat kita dengerin pendapat kayak gini."
-->"Ya, Ruri emang hebat. Gubernur harusnya perhatiin ide-idenya!"
-PelindungHewan: "Suka banget sama gagasan Ruri soal rehabilitasi orang utan di daerah perlindungan. Jarang ada yang fokus ke isu ini!"
--> "Iya benar pake banget, dia emang punya empati tinggi. Pantes jadi juara nih."
Carlos tersenyum lega. Ruri benar-benar berhasil mengesankan banyak orang. Meski tantangannya tidak mudah, ia berhasil mendapat perhatian dari peserta lain dan penonton di luar sana. Setidaknya, ada banyak orang yang mendukungnya di babak ini. Rasa puas dan bangga merayapi hati Carlos saat ia melihat lebih banyak pujian yang datang untuk Ruri.
Namun di balik senyumnya, Carlos merasakan beban tanggung jawab yang semakin besar. Membayangkan Ruri yang terus berjuang di sana membuatnya semakin tekad untuk menjaga gadis itu dari ancaman apa pun. Untuk saat ini, dia merasa puas karena Ruri berada di jalur yang benar dan mendapat dukungan publik.
Setelah mematikan komputer, Carlos duduk diam, menikmati sejenak perasaan lega yang mengalir di dadanya. Melihat Ruri mendapatkan begitu banyak pujian dari netizen, ia merasa seakan beban berat yang selama ini menghimpitnya perlahan terangkat. Namun, tak lama kemudian, senyum yang sempat menghiasi wajahnya memudar, berganti dengan kerutan di dahi.
Bayangan masa lalu menyeruak kembali. Hatinya diliputi perasaan bersalah yang tiba-tiba menghantamnya dengan kuat. Semua ini, semua keterlibatan Ruri dengan dunia gaib... semua dimulai karena dirinya. Jika saja dia tidak diselamatkan oleh Ruri saat masih menjadi bayi kucing yang hampir dimangsa gagak, mungkin hidup Ruri akan lebih tenang. Ruri yang tanpa sadar terjebak dalam perseteruan makhluk gaib, berkat tindakan heroik yang dilakukannya dulu.
Carlos mengepalkan tangan di atas meja, rasa bersalah yang mendalam membuat napasnya terasa berat. Gagak psikopat itu—makhluk gila yang terus mengincar Ruri—semua dimulai dari dia, karena gagak itu pernah gagal membunuh Carlos di masa lalu.
Namun, di tengah kekacauan emosinya, Carlos tiba-tiba tersadar kembali. "Tapi dia sudah mati," pikirnya, memaksa dirinya untuk tenang. Dia ingat bagaimana dia membasmi gagak itu, menghabisinya dalam pertempuran terakhir. Ruri tidak akan terancam lagi oleh makhluk itu. Perlahan-lahan, Carlos mulai merasa sedikit lega, meyakinkan dirinya bahwa ancaman terbesar telah disingkirkan.
Dia menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak dan membiarkan ketenangan meresap kembali ke dalam tubuhnya. "Semua sudah aman," pikirnya lagi. "Ruri aman sekarang."
Tapi di balik keyakinan Carlos, di sudut-sudut bayangan yang tak terlihat, kegelapan terus mengintai. Gagak itu... meski Carlos yakin sudah mengalahkannya, sebenarnya belum benar-benar lenyap. Entitas itu hanya bersembunyi, menunggu waktu yang tepat untuk kembali menyerang—mungkin lebih kuat, lebih gila dari sebelumnya.
Dan Carlos, meski merasa lega, tak menyadari bahwa bahaya yang pernah ia hadapi belum sepenuhnya berakhir.
Namun, bahaya itu ternyata tiba lebih cepat dari yang diduga siapapun. Suasana damai tiba-tiba terpecah ketika pintu depan rumah mendadak terbuka dengan keras. Si ibu-ibu yang biasa jutek, berlari panik ke dalam rumah.
"Carlos! Carlos!" serunya, napasnya terdengar tersengal-sengal. Ponsel tergenggam erat di tangannya.
Carlos mengerutkan kening, berdiri dari kursinya. "Ada apa, Bu? Kok buru-buru?"
Si ibu-ibu berhenti di hadapan Carlos, mencoba menstabilkan napasnya yang terengah-engah. “Ini... ini telepon dari Takeru! Katanya penting! Cepat kasih ke kamu, katanya soal Ruri!” Nadanya terdengar begitu cemas, meski jelas si ibu belum tahu masalah detailnya.
Carlos segera mengambil ponsel yang diberikan si ibu dan melihat nama Takeru di layar. Tanpa ragu, dia menjawab panggilan itu.
“Hah? Takeru? Kenapa bisa tahu nomor ponsel Si Ibu?” tanya Carlos, sedikit bercanda.
Takeru menjawab cepat, suaranya terdengar tegas dan cemas. “Bukan aku yang minta, Si Ibunya saja yang tanpa ada angin sama hujan langsung kasih begitu aja nomornya ke aku. Sudahlah, itu bukan yang penting sekarang. Sekarang, kamu harus segera buka internet dan cek nama Ruri!”
Mendengar nada mendesak dalam suara Takeru, Carlos merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. “Oke, oke, tenang! Apa yang terjadi?”
“Sudahlah! cepat saja buka! Ini soal Ruri!” Takeru mendesak. Jelas ada yang tidak beres.
Carlos tak menunggu lebih lama. Dia langsung bergegas menuju sudut ruangan di mana komputer tua milik Ruri berada. “Aku cek sekarang!” jawabnya sebelum menutup telepon.
Carlos menyalakan komputer itu, dan mesin jadul itu perlahan menyala dengan suara berderak. Detik-detik terasa begitu lambat, semakin menambah ketegangan di udara. Begitu layar akhirnya menampilkan halaman awal, Carlos segera mengetik kata kunci "Ruri Pemuda Tangguh".
Seketika, ekspresi Carlos berubah. Semua pujian yang sebelumnya memenuhi internet kini berubah menjadi serangan penuh kebencian. Komentar-komentar kejam meluncur tajam,
@NetizenSkeptis: "Ruri itu cuman cari perhatian! Nggak layak jadi peserta Pemuda Tangguh, apalagi setelah terlihat jalan bareng Takeru. Dia pengkhianat bangsa!"
@GakSukaRuri: "Siapa sih Ruri ini? Cuma tukang mengada-ngada. Dulu viral karena hina bangsa sendiri, sekarang mau dapat simpati dari rakyat? Memalukan!"
@DukungBangsaSendiri: "Ruri, sebaiknya pergi dari kompetisi ini! Kita butuh wakil yang bener-bener mencintai bangsa, bukan pengkhianat yang hanya peduli sama kepentingan pribadi!"
@RiaRibut: "Gimana bisa dia dapat perhatian? Hanya karena foto-foto manis sama Takeru, sementara kerjaannya memfitnah bangsa sendiri. Wanita Jalangkote yang bisanya mengandalkan tampangnya yang kayak sendal jepit gini pantas disingkirkan!"
@AntiPengkhianat: "Ruri nggak pantas dapat tempat di Pemuda Tangguh. Memalukan sekali! Lebih baik dia bunuh diri aja biar nggak jadi beban negara!"
Carlos menatap layar dengan rahang mengeras. Ia menggenggam mouse dengan kuat hingga nyaris meremuknya. Emosi berkecamuk di dadanya, dan matanya membara oleh kemarahan.
“Ini... gila...” gumamnya pelan, tapi penuh kemarahan yang mendidih.