Reffan Satriya Bagaskara, CEO tampan yang memiliki segalanya untuk memikat wanita. Namun, sejak seorang gadis mengusik mimpinya hampir setiap hari membuat Reffan menjadikan gadis dalam mimpinya adalah tujuannya. Reffan sangat yakin dia akan menemukan gadis dalam mimpinya.
Tanpa diduga terjebak di dalam lift membuat Reffan bertemu dengan Safira Nadhifa Almaira. Reffan yang sangat bahagia sekaligus terkejut mendapati gadis dalam mimpinya hadir di depannyapun tak kuasa menahan lisannya,
“Safira…”
Tentu saja Safirapun terkejut namanya diucapkan oleh pria di depannya yang dia yakini tidak dikenalnya. Reffan yang mencari dan mengikuti keberadaan Safira di hotel miliknya harus melihat Bagas Aditama terang-terangan mendekati Safira.
Siapakah yang berhasil menjadikan Safira miliknya? Reffan yang suka memaksa atau Bagas yang selalu bertindak agresif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisy Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lamaran Resmi
Di sinilah sekarang. Safira duduk memandang ke luar jendela. Lukisan senja sudah tergambar sangat indah di langit. Kereta eksekutif melaju cepat meninggalkan Surabaya membawanya ke salah satu tujuan perjalanannya Yogyakarta. Safira terlalu menikmati lampu-lampu yang mulai berpendar di luar, tak dihiraukannya beberapa orang yang berjalan di gerbang kereta. Pandangannya masih terus mengamati suasana malam yang baru saja menjelang saat seseorang melewati tempat duduknya dan tersenyum lalu kembali berjalan.
Butuh waktu empat jam tujuh menit perjalanan yang dilalui Safira dan kini dia sudah menginjakkan kakinya di stasiun Tugu Yogyakarta. Bahagia, itu yang dirasakannya akan bertemu dengan keluarganya. Namun entah kenapa, debaran di jantungnya ikut memeriahkan langkah kakinya keluar dari stasiun. Segera dicarinya taxi untuk mengantarkannya ke rumah orangtuanya. Sudah hampir setengah sepuluh malam, Safira ingin segera sampai di tujuannya.
Taxi berhenti di sebuah rumah sederhana dengan halaman depan yang cukup luas. Cukup untuk parkir dua mobil jika ada tamu yang datang sehingga mobil tamu tidak perlu parkir di jalan dan menghalangi pengguna jalan lainnya.
Seseorang sedang memandang punggungnya saat Safira baru saja menutup pagar dan berjalan menuju pintu masuk.
"Di sini rumahmu. Baiklah." Senyum pada wajah laki-laki tampan itu mengembang sempurna. "Lanjut Pak, tolong antarkan saya ke hotel."
"Mbak Safiraaaaa...." seorang gadis imut segera berlari memeluk sosok yang baru saja membuka pintu masuk. Safira terhuyung menyeimbangkan tubuh agar tak jatuh.
"Hei anak kecil. Kamu mau kita sama-sama jatuh." Tangan Safira membalas memeluk adek kesayangannya.
"Kangen mbak." ujar Hasna yang belum melepaskan pelukannya.
"Mbak belum mandi lhoo.."
"Ih, pantesan." Spontan Hasna melepas pelukannya dan menutup lubang hidungnya dengan jari-jarinya.
Ibu Sofia dan ayah Salman tersenyum memperhatikan kelakuan dua anak gadisnya. Mereka berdua memang sangat akrab dan hampir selalu pergi bersama. Safira selalu mengantar jemput adeknya saat masih SMP dan SMA, mereka berpisah saat Hasna diterima di Kampus ternama di Yogyakarta.
"Kamu baik-baik saja sayang?" Tanya Ibu Sofia pada Safira saat mencium tangannya.
"Alhamdulillah, Safira baik Bu." Safira lalu mencium pipi ibunya.
"Tak terasa ya Bu, putri kita sudah besar dan sudah siap menikah sekarang." Ucap ayah Salman saat Safira mencium tangannya dan laki-laki kesayangan Safira ini mengelus lembut kepala Safira. Ada gurat haru, bahagia dan sedih yang tertuang dalam matanya yang berkaca-kaca.
Safira tersenyum untuk menutupi suasana hatinya yang campur aduk sekarang. Entah rasa apa yang dominan, Safirapun bingung. Yang terjadi matanya menghangat dan setitik cairan lepas dari sudut matanya.
"Kamu pasti capek kan. Mandi dulu setelah itu kamu harus makan masakan ibu ya. Jangan lama-lama mandinya, kami tunggu."
Safira tersenyum melangkahkan kaki ke kamarnya yang digunakannya saat dia pulang ke Yogyakarta. Kamar yang selalu bersih dan rapi, ibunya pasti selalu merapikan kamar anaknya walau putrinya tidak memakai kamarnya.
Safira, Hasna, Ibu Sofia dan ayah Salman mengobrol santai di depan televisi sambil menikmati camilan yang ibu siapkan. Canda dan tawa menghiasi obrolan mereka melepas rindu hampir dua bulan mereka tidak bertemu Safira. Hingga hampir tengah malam Ibu Sofia menyuruh semuanya untuk tidur, Hasna melangkahkan kakinya menggandeng lengan kakaknya. Dia ikut masuk ke kamar kakaknya dan berbaring diranjang yang sama memeluk kakaknya.
"Dasar anak kecil. Kapan besarnya coba?"
"Biarin!"
Mereka berduapun akhirnya terpejam karena mata yang memang sudah terasa sangat berat.
Yogyakarta selalu punya alasan untuk dirindukan, tak butuh alasan untuk memanggil kembali siapapun yang pernah singgah di sana. Karena Yogya punya magnet suasana yang selalu dirindukan. Udara pagi masih sangat segar. Safira memutuskan untuk keluar ke terasnya menghirup banyak-banyak udara pagi ke dalam paru-parunya. Namun baru saja dia melangkahkan kakinya ke ruang tamu, matanya terkejut menangkap bayangan dua orang yang dikenalnya. Ayahnya sedang menyeruput teh hangat bersama dengan seorang laki-laki yang dikenalnya.
"Pak Reffan."
"Assalamu'alaikum Safira." Sapa Reffan hangat, suaranya sangat berbeda saat berbicara dengan Safira sebelumnya, dingin dan mengintimidasi.
"Safira duduklah!" Ayah menepuk tempat duduk di sebelahnya.
Safira melangkahkan kakinya mendekat dan duduk di tempat yang ditepuk ayahnya tadi.
"Kenapa pagi-pagi sekali orang ini sudah ada di sini?" tanya Safira di dalam hatinya.
"Nak Reffan datang ingin memastikan jawaban dari lamaran kepadamu secara langsung." Perkataan ayah seketika membuat tubuh Safira berkeringat padahal udara dingin masih menyelimuti pagi ini.
"Safira putri yang ayah sayangi walaupun Safira sudah menyerahkan jawabannya pada ayah dan ibu. Ayah tetap ingin mendengarnya secara langsung darimu. Safira benar menyerahkan jawaban lamaran nak Reffan kepada ayah dan ibu?"
"Iya ayah." ucap Safira sambil menunduk.
"Apakah ada hal yang membuatmu berat untuk menerima lamaran nak Reffan?"
Safira menggeleng.
"Jika ayah menerima lamarannya, apakah Fira bersedia menikah dengannya?"
Safira terdiam. Berfikir. Tapi bukankah dia telah menyerahkan jawabannya pada orangtuanya. Maka jika ayahnya menerima, bukankah dia juga akan berkata iya. Tapi Safira malu untuk mengatakannya di depan Reffan dan ayahnya.
"Diamnya seorang wanita saat dilamar adalah pertanda persetujuannya." ujar ayah dengan tersenyum. "Betul kan sayang?" ujar ayah Salman memeluk pundak anaknya.
Safira mengangguk. "Eh, kenapa cepat sekali responku mengangguk." Safira terheran dengan reaksi tubuhnya.
"Alhamdulillah." ucap Reffan dan ayah Salman bersamaan, namun tentu saja suara Reffan yang paling keras, Safira sampai meliriknya karena terkejut.
"Nanti sore keluarga saya akan datang kemari untuk melamar Safira secara resmi." Ujar Reffan bersemangat.
"Secepat itu?" Pertanyaan Safira lolos begitu saja dari mulutnya karena terkejut.
"Bukankah niat baik harus segera dilaksanakan." Jawab Reffan memandang lekat Safira. "Bagaimana ayah, lebih cepat lebih baik kan?"
"Jika kedua belah pihak setuju. Lebih baik memang seperti itu." Jawab ayah yang membuat jantung Safira berdendang cepat hampir melompat.
Sore hari selepas Ashar, rombongan Reffan datang ke rumah Safira dengan sebuah mobil mewah yang harganya bisa ditaksir lebih dari satu milyar.
Safira masih di kamarnya duduk di depan cermin di dampingi adeknya.
"Ah, mbak cantik banget sih. Tapi mas Reffan juga cakep kok, cocok!" Komentar Hasna yang pagi tadi mengintip saat Reffan datang ke rumah. "Mbak Fira ketemu dimana sama mas Reffan? kok gak pernah cerita sih?" Hasna sudah memanyunkan bibirnya kecewa karena kakaknya tiba-tiba dilamar tapi tak pernah bercerita kisahnya pada adek semata wayangnya.
Safira meringis mengingat kejadian pertama kali di lift, hotel, dan rumah sakit. "Kapan-kapan lah. Gak hujan kenapa tangan mbak dingin banget yah." Ucap Safira sambil *******-***** tangannya.
"Haha... mbak grogi." Hasna tertawa meledek kakaknya yang mendapat tatapan tajam dari Safira.
Bu Sofi membuka handle pintu kamar membuat kakak beradik langsung terdiam seketika.
"Sayang nak Reffan dan keluarganya sudah datang, ayo keluar." Tangan ibu Sofi meraih telapak tangan Safira dan mengelus punggung tangannya. Safira tersenyum merasakan sentuhan ibunya yang membuat tangannya menghangat.
Para bidadari sekarang pasti iri melihat wajah anggun wanita yang bersinar dengan balutan gaun navi yang kontras dengan kulitnya yang putih. Kelak di surga wanita solehah akan lebih memukau dari para bidadari karena kecantikan dan sinar di wajahnya yang berasal dari ibadah mereka, solatnya, puasanya, gigihnya dia menjaga diri dan kehormatannya, yang membuat mereka lebih utama dari bidadari-bidadari sempurna bermata jeli.
Dua orang pria muda menatap Safira tak berkedip. Reffan dan Raffi begitu terpukau dengan wanita berhijab di depannya. Reffan tersenyum mendapati gadis pujaannya sangat cantik memakai gaun yang senada dengan batik yang dipakainya. "Kita memang ditakdirkan berjodoh Safira." Gumamnya lirih hampir tak terdengar.
Sementara Raffi, "Dia inikan perempuan yang saat itu..." Raffi berusaha mengingat wajah seseorang. Buru-buru Raffi mengambil handphone-nya dan mencari beberapa foto. "Ah, benar... bidadari di puncak Bromo."
Safira melirik sebentar ke arah Reffan, dia juga terkejut gaunnya senada dengan kemeja batik yang dipakai Reffan padahal tidak ada persiapan untuk memakai baju yang sama saat lamaran ini.
"Ah, Bu Sofi senang sekali mempunyai dua gadis cantik. Yang satu cantik dan anggun, yang satu lagi cantik dan imut." Mama Raisa mengutarakan isi hatinya. "Saya punya dua anak laki-laki yang hanya bisa protes jika mengantar mamanya berbelanja."
Semua orang tersenyum dan tertawa, kecuali Reffan dan Raffi yang menatap tajam ke mamanya.
Safira duduk di sebelah ibu Sofi dan adeknya Hasna. Dari tempatnya dia bisa melihat seluruh tamu yang hadir dan teras rumahnya. Safira juga bisa melihat mobil yang terparkir di halaman rumahnya. "Pasti mobil mereka." Batin Safira.
Masing-masing kepala keluarga ayah Salman dan Papa Rendra memperkenalnya anggota keluarga mereka.
Safira menatap tajam seseorang yang keluar dari sebuah mobil di depan rumahnya memastikan siapa yang datang. Wajahnya memucat setelah memastikan siapa yang datang memasuki pagar rumahnya.
"Saya permisi sebentar." Safira secepatnya berdiri keluar dari ruang tamu menuju teras rumahnya.
"Safira, kamu mau kemana? Cantik sekali." Suara seorang pria dengan tatapan memuja tak berkedip menatap Safira.
Reffan yang seperti mengenali suara pria tersebut spontan berdiri dan menyusul Safira.
secara pasangan menikah itu halal tp BKN muhrim jd ttp membatalkan wudhu...
pasal 2 boss salah, kembali ke pasal 1
wkwkwkwk
makasi yaa....
sukses terus utk outhorx semangat selalu utk berkarya lbh baik lg
next kisah anak² reffan lagi ya thor😁
Terimakasih semua sudah mendukung dan membaca hingga akhir.
Sempetin nengok novel Jejak di Pipi Membekas di Hati ya 😉