Memilik cinta yang begitu besar tak menjamin akan bertakdir. Itulah yang terjadi pada Rayyan Rajendra. Mencintai Alanna Aizza dengan begitu dalam, tapi kenyataan pahit yang harus dia telan. Di mana bukan nama Alanna yang dia sebut di dalam ijab kabul, melainkan adiknya, Anthea Amabel menggantikan kakaknya yang pergi di malam sebelum akad nikah.
Rayyan ingin menolak dan membatalkan pernikahan itu, tapi sang baba menginginkan pernikahan itu tetap dilangsungkan karena dia ingin melihat sang cucu menikah sebelum dia menutup mata.
Akankah Rayyan menerima takdir Tuhan ini? Atau dia akan terus menyalahkan takdir karena sudah tidak adil?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Kafe Kenangan Mantan
Rayyan memicingkan mata ketika dia melihat mobil Alvaro yang terparkir di depan kafe di mana Anthea bekerja. Pikirannya segera tersambung kepada nama yang selalu menghubungi Anthea.
"Apa--"
Dia segera menghubungi Alvaro. Dia terdiam ketika Alvaro mengiyakan jika dirinya tengah berada di kafe tersebut.
"Alva ... apa lelaki itu Alvaro? Dan gebetannya itu pegawai kafe kan?"
Rayyan segera menyudahi panggilannya. Dia masih berdiam di dalam mobil. Hingga sebuah keputusan dia ambil. Kembali Alvaro dia hubungi.
"APA BAJING?"
"Lu di mana? Gua juga lagi di kafe Kenangan mantan."
"Ganggu aja lu!" omel Alvaro dari balik sambungan telepon.
"Gua pengen tahu gebetan lu."
Rayyan membuang napas dengan begitu kasar. Dia mengatur napasnya sebelum keluar. Mobilnya pun dia tetap parkir sedikit jauh dari kafe.
Suasana kafe memang sangar ramai. Rayyan mencari keberadaan Alvaro hingga lambaian tangan mampu dia lihat.
"Jauh amat lu nongkrongnya," sindir Rayyan. Ujung matanya mencari sosok sang istri yang bekerja di tempat itu.
"Ini kan tempat gebetan gua kerja."
Deg.
Rayyan seketika terdiam. Pikirannya mulai kacau. Namun, dia coba untuk membuangnya jauh.
"Boleh dong dikenalin ke gua."
"Dih," balas Alvaro dengan mata yang malas.
"Mumpung kebetulan gua ke kafe ini."
Alvaro berdecak. Sebenarnya dia belum mau mengenalkan gebetannya kepada Rayyan karena perempuan itu belum terikat apapun dengan dia. Untuk dekat saja teramat sulit. Namun, dia juga tidak enak karena sang sahabat sudah meminta di tempat di mana sang gebetan berada.
Rayyan menunggu dengan hati yang berdegup kencang. Dia berharap dugaannya kali ini salah. Akan tetapi, apa yang biasa dia duga selalu benar.
"Tunggu bentar," ucap Alvaro sembari mencari seseorang.
Rayyan hanya diam sembari memperhatikan gelagat Alvaro. Sang sahabat kini berdiri dan menghampiri kasir. Pandangan Rayyan teralihkan ketika melihat Anthea berjalan ke arah meja customer dengan membawa nampan berisi makanan. Senyumnya kepada pelanggan begitu tulus. Ketika senyum di bibir Anthea hadir, bibir Rayyan pun ikut terangkat.
"Udah gua pesenin kopi terenak."
Rayyan terkejut dan atensinya kini teralihkan. Alvaro mulai membenarkan pakaian serta rambutnya. Terlihat dia seperti tengah bersiap untuk bertemu sang pujaan hati.
"Lu abis dari mana?" tanya Alvaro karena tidak biasanya sang bos main sejauh ini.
"Ada perlu," jawab Rayyan dengan singkat.
Tangannya menari-nari di atas layar ponsel. Ya, dia tengah mengirimkan pesan kepada Anthea.
"Masih lama?"
Tidak sampai satu menit pesan itu dibalas.
"Tutupnya jam 10. Kalau kelamaan tinggal aja. Nanti aku pulang sendiri."
Rayyan begitu fokus dengan layar ponsel hingga membuat Alvaro kesal karena merasa diabaikan.
"Lu denger gua ngomong gak sih, Jing?"
Rayyan menegakkan wajah untuk sesaat. Lalu, jari-jarinya kembali menari-nari di atas layar ponsel.
"Bajing!" erangnya.
Rayyan pun meletakkan ponselnya. Dia menatap Alvaro dengan begitu dalam.
"Gua denger kok semua curhatan lu." Rayyan memberitahu.
"Menurut lu gimana?"
"Ya, kalau dia udah punya laki mending mundur. Jangan jadi pebinor yang rendah harga diri."
"Bahasanya," sahut Alvaro sembari tersenyum mengejek.
"Diajarin benar malah ngeledek."
Alvaro pun tertawa. Tapi, tidak dengan Rayyan yang bersikap datar.
"Kak Alva, ini minuman--"
Kalimat dari seorang pelayan terhenti ketika melihat dua orang kompak
menatap dirinya. Salah satunya adalah lelaki yang sudah hampir dua Minggu ini tinggal bersamanya.
"Rayyan?"
"Makasih, Cantik."
Tangan yang berada di bawah meja sudah mulai mengepal keras. Wajahnya pun sudah berubah. Dan pandangan Anthea pun kini tertuju pada Rayyan yang masih menatapnya dengan raut yang amat berbeda.
"Abel, kenalin ini sahabat aku."
Wajah Anthea terlihat gugup sekaligus takut. Uluran tangan Rayyan di luar ekspektasinya hingga membuat tubuhnya menegang. Kode mata dari Rayyan membuat Anthea tersadar dan dia pun menyambut uluran tangan Rayyan.
"Rayyan."
"A-abel."
Mereka bersalaman cukup lama hingga membuat Alvaro berdehem. Alhasil, salaman itupun segera mereka lepaskan. Anthea meninggalkan mereka dan Rayyan sudah mulai mengatur napas.
"An jing! Ternyata istri gua yang digebet si Varo."
"Gimana? Cantik kan gebetan gua."
"Bang sat! ITU ISTRI GUA!!"
Sekuat tenaga Rayyan menahan emosi setiap kali Alvaro memuji Anthea. Wajah Alvaro begitu bersemangat setiap kali bercerita tentang Anthea.
Getaran ponsel Rayyan yang begitu sering membuat Alvaro mulai terganggu.
"Kata gua mah ladenin tuh chat. Jangan dianggurin." Dia pun mengomel.
Tak ada jawaban dari Rayyan. Terus membiarkan. Padahal, perempuan yang mengirimkannya pesan sedari tadi menatap ke arah meja Alvaro. Berharap Rayyan membalas pesan yang cukup banyak dia kirimkan.
"Balas pesan aku, Ray."
Lelaki yang tengah dia pandangi dari jauh mulai berdiri. Anthea yakin dia akan pergi. Dan Dugaan Anthea benar. Sebelum pergi lelaki itu sempat melihat ke arahnya. Namun, mimik wajahnya tidak seperti biasa.
Menunggu sampai jam sepuluh teramat lamar rasanya. Anthea mengecek ponselnya secara berkala. Sayangnya, pesannya tak ada yang dibalas sama sekali. Hanya dibaca saja oleh Rayyan.
"Abel."
Suara seorang lelaki membuatnya menegakkan kepala dengan tangan yang memegang ponsel. Alvaro sedikit mengerutkan dahi. Tidak biasanya gebetannya itu bermain ponsel di waktu kerja.
"Sedang hubungi siapa?"
Ponsel Anthea bergetar dan nama seseorang yang dia tunggu sudah ada di layar. Anthea segera menjawab panggilan tersebut dan pergi menjauhi Alvaro tanpa kata.
Lelaki itu hanya bisa menghembuskan napas panjang. Dia mulai mendekat ke arah rekan Anthea yang bernama Pipit.
"Apa Abel udah punya pacar?"
Pipit adalah informan Alvaro. Apapun yang terjadi dengan Anthea di tempat kerja, Pipit-lah yang memberitahu.
"Setahu Pipit mah enggak."
"Kenapa hari ini dia sering banget megang hape? Biasanya dia paling anti kerja pegang ponsel."
Rasa penasaran mulai muncul. Sikap Anthea hari ini begitu berubah. Tidak seperti Anthea biasanya.
.
"Bang Sat!" erangnya ketika Rayyan melihat Alvaro berbicara dengan Anthea. Padahal, Anthea sudah hendak pulang.
Kafe pun sudah gelap. Ingin rasanya Rayyan keluar dari mobil, tapi dia tahan. Rayyan mengambil ponselnya dan menghubungi Anthea.
"MAU PULANG SEKARANG ATAU GUA TINGGAL?"
Setelah mengatakan itu, sambungan telepon Rayyan akhiri meskipun tak mendapat jawaban. Dia membuang napas dengan begitu kasar. Dadanya masih bergemuruh menahan sebuah rasa yang tiba-tiba muncul.
Dia melihat Anthea berlari menjauh dari Alvaro yang hanya bisa menatapnya hingga menghilang dari pandangan. Perempuan yang Rayyan jemput sedari tadi sudah berada di samping mobil. Mengetuk jendela supaya dibukakan pintu.
"Maaf."
Kata itu yang diucap oleh Anthea ketika dia baru duduk di kursi penumpang depan. Atensinya sudah tertuju pada Rayyan. Sayangnya, tak ada jawaban dari lelaki yang berada di balik kemudi.
"Ray--"
"Gua gak akan ngelanggar poin di surat perjanjian kita."
Rayyan segera menyalakan mesin mobil dengan tangan yang mencengkeram erat setir mobil. Dan pedal gas pun dia injak sedikit dalam hingga kecepatan mobil di atas rata-rata.
"Abel istri gua, Varo. DIA ISTRI GUA!!"
...*** BERSAMBUNG ***...
Mana atuh komennya? Ayo dong banyakin
mau hidup enak , tapi hasil jerih payah org lain
sehat selalu kak n semangat, aku sellau nggu up nya
biar tau rasa..