Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 LUMORIA
Pernikahan Zen Vessalius dan Selvina Aelthor bukan hanya mengguncang Lumoria, tetapi juga menggema ke seluruh penjuru semesta. Kabarnya menyebar seperti angin, melintasi lembah, pegunungan, dan lautan, hingga mencapai wilayah-wilayah yang bahkan tidak pernah bersentuhan langsung dengan Lumoria. Berbagai ras mulai berbicara tentang sosok Zen, sang pemimpin baru, yang digadang-gadang sebagai pahlawan dari dunia lain.
Namun, di balik rasa penasaran dan kekaguman itu, ada juga keraguan dan kecemasan. Beberapa ras, terutama yang memiliki hubungan rumit dengan Lumoria, menyebut Zen sebagai NULL, sebuah entitas yang tidak sepenuhnya diketahui asal-usulnya. Istilah ini, yang merujuk pada sesuatu yang berada di luar batas pemahaman mereka, menggambarkan ketidakpastian mereka terhadap Zen.
"Bagaimana mungkin seorang asing memimpin salah satu wilayah terkuat di dunia ini?" ujar salah satu pemimpin dari bangsa Beast, yang terkenal dengan keganasannya. "Apa yang membuatnya layak disebut pahlawan?"
Di sisi lain, beberapa ras lebih terbuka terhadap keberadaan Zen. Mereka melihat kabar ini sebagai kesempatan untuk memahami lebih jauh tentang dirinya dan potensi dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kepemimpinannya. Kaum High Druid, ras yang terkenal sebagai pengelola mana dan ekosistem hutan yang baik, berspekulasi bahwa kehadiran Zen mungkin adalah takdir yang telah lama diramalkan dalam kitab kuno mereka.
"Jika ia memang pahlawan yang disebut-sebut dalam naskah kuno Elemen Akhir Kehidupan, maka pernikahan ini adalah awal dari sebuah era baru," ujar seorang tetua High Druid sambil membolak-balik halaman kitab mereka yang telah berumur ribuan tahun.
Namun, meski suara kekaguman dan keraguan terus berdengung di antara para ras, Zen tetap menjalani harinya dengan damai bersama Selvina. Baginya, titel NULL hanyalah kata, bukan definisi yang melekat pada dirinya. Dalam hatinya, ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia bukan sekadar entitas misterius, melainkan pemimpin yang akan membawa perubahan bagi Lumoria dan mungkin bagi semesta. "Biarkan mereka berbicara," pikir Zen. "Apa yang penting adalah apa yang kulakukan, bukan apa yang mereka katakan."
Kabar pernikahan Zen dan Selvina yang meriah di Lumoria ternyata tidak hanya membawa sukacita. Di balik pesta dan sorak-sorai, benih kegelapan mulai tumbuh di hati beberapa ras yang merasa terancam oleh keberadaan Zen. Dua di antaranya adalah ras Beast dan Firlinione, kelompok yang terkenal dengan kekuatan fisik dan sihir destruktif mereka.
Kekhawatiran dan Ketidakpercayaan
Para pemimpin Beast dan Firlinione berkumpul dalam pertemuan rahasia di sebuah wilayah netral. Mereka berdiskusi dengan penuh ketegangan, mencoba memahami ancaman yang dirasakan dari kehadiran Zen.
"Manusia itu... dia adalah NULL! ujar Rokan, pemimpin ras Beast, dengan suara yang menggelegar. "Entitas yang tidak diketahui. Setiap langkahnya adalah misteri, dan kita tidak tahu apa niat sebenarnya. Aku tidak akan membiarkan dunia ini kembali hancur seperti dulu."
Dari sisi lain meja, Aelaris, pemimpin Firlinione, mengangguk setuju. "Jika benar dia adalah pahlawan, mengapa dunia menjadi lebih resah sejak kedatangannya? Aura yang dibawa Lumoria kini terasa mengancam. Kita tidak bisa membiarkan manusia itu terus berkuasa. Dia harus dihentikan."
Rencana Surat Perang
Setelah banyak pertimbangan dan diskusi sengit, kedua ras tersebut memutuskan untuk mengirim surat peringatan kepada Lumoria. Namun, surat itu bukan hanya sekadar ancaman; itu adalah deklarasi perang jika Lumoria tidak menyerahkan Zen atau membuktikan bahwa ia bukan ancaman.
Isi surat tersebut adalah:
"Kepada Raja Lumoria,
Kami, perwakilan ras Beast dan Firlinione, menyatakan ketidakpercayaan kami terhadap kepemimpinan Zen Vessalius. Sebagai entitas yang tidak diketahui, ia membawa kekhawatiran akan masa depan dunia ini. Jika dalam waktu tiga bulan Anda tidak memberikan jaminan atau bukti atas kedamaian yang Anda janjikan, kami akan mengambil tindakan. Kami tidak akan tinggal diam saat ancaman itu terus tumbuh. Ini bukan permusuhan, tetapi upaya untuk melindungi dunia yang kita cintai."
Surat itu disegel dengan lambang gabungan Beast dan Firlinione—dua makhluk buas yang saling melingkar, menggambarkan kekuatan dan kehancuran.
Reaksi Lumoria
Ketika surat itu tiba di tangan Zen, suasana di kastil menjadi tegang. Eryon membaca surat itu dengan alis yang berkerut, sedangkan Selvina terlihat gelisah. "Mereka tidak akan berhenti sampai kita membuktikan bahwa Zen bukan ancaman," ujar Selvina dengan nada cemas.
Zen membaca surat itu dengan tenang, tetapi di dalam hatinya ada gelombang kemarahan dan rasa bersalah. "Mengapa mereka begitu yakin aku adalah ancaman? Aku hanya ingin membawa kedamaian," gumamnya.
Namun, Eryon menepuk pundaknya dan berkata, "Ini adalah ujianmu sebagai pemimpin, Zen. Bukan hanya untuk Lumoria, tetapi untuk seluruh dunia ini. Jika mereka menganggapmu ancaman, maka tunjukkanlah bahwa kau adalah harapan. Tapi ingat, jangan biarkan emosimu menguasai keputusanmu."
Zen mengangguk perlahan. Ia tahu tantangan besar telah menantinya, dan ia harus memutuskan langkah apa yang akan diambil untuk mencegah perang yang bisa menghancurkan seluruh dunia. "Jika ini adalah awal dari perjalananku sebagai raja, maka aku akan menjalaninya," ucap Zen dengan tekad yang bulat.
Suasana di dalam Kastil Lumoria mulai berubah menjadi tegang. Berita tentang surat ancaman dari ras Beast dan Firlinione telah menyebar ke seluruh kastil, membuat para penghuni gelisah. Mereka khawatir akan nasib kerajaan mereka, terlebih lagi karena ancaman itu ditujukan langsung kepada Zen.
Di ruang pertemuan, Zen, Selvina, dan Eryon duduk bersama untuk mendiskusikan langkah berikutnya. Selvina tampak cemas, namun tetap berusaha memberikan dukungan kepada Zen. Sementara itu, Eryon terlihat lebih santai, bahkan tersenyum lebar.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka melihat kita goyah," ujar Eryon dengan nada tegas, tetapi ada kilatan humor di matanya. "Zen, kau harus menunjukkan wibawamu. Kita akan menerima jamuan mereka di sini, di kastil ini. Biarkan mereka melihat kekuatan Lumoria secara langsung. Jika mereka tidak senang... yah, kita tahu apa yang harus dilakukan, bukan?" Ia tertawa kecil, tetapi suasana tidak sepenuhnya santai.
Zen menghela napas, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. "Aku mengerti maksudmu, Eryon. Tapi ini lebih dari sekadar menunjukkan wibawa. Aku harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jika pertemuan ini berubah menjadi konflik, aku harus siap melindungi semua orang di sini."
"Itu sebabnya," lanjut Eryon sambil bersandar di kursinya, "kau harus mempersiapkan dirimu lebih baik lagi. Mulai malam ini, kita akan melatihmu menguasai beberapa mantra pamungkas. Jika sesuatu yang buruk terjadi, kau akan memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan."
Selvina menatap Zen dengan penuh kekhawatiran. "Zen, kau tidak harus melakukannya sendiri. Aku, Eryon, dan semua penghuni Lumoria ada di sisimu. Kita akan melewati ini bersama," ujarnya dengan lembut.
Zen mengangguk, mengambil kekuatan dari dukungan mereka. "Baiklah, aku setuju. Kita akan menerima mereka di sini. Tapi aku juga akan memastikan diriku siap. Ini bukan hanya tentangku; ini tentang Lumoria dan semua orang yang mempercayai aku."
Malam Pelatihan
Saat malam tiba, Zen memulai pelatihan intensif dengan Eryon di ruang pelatihan kastil. Kali ini, Eryon tidak main-main. Ia menunjukkan kepada Zen mantra-mantra tingkat tinggi yang membutuhkan konsentrasi penuh dan kekuatan sihir yang besar.
"Mantra ini," ujar Eryon sambil menunjukkan sebuah gulungan kuno, "adalah salah satu pelindung terbaik yang dimiliki Lumoria. Ini bisa menciptakan penghalang yang cukup kuat untuk menahan serangan sihir apa pun. Tapi butuh fokus dan tekad untuk menggunakannya. Jadi, bersiaplah."
Zen mempelajari setiap detail mantra dengan serius, mencoba memahaminya secepat mungkin. Ia tahu waktu tidak berpihak padanya, tetapi ia tidak akan menyerah.
Suasana malam yang semakin larut membawa keheningan yang mendalam di dalam kastil Lumoria. Zen masih duduk di ruang pelatihan, matanya terpaku pada gulungan sihir kuno di depannya. Namun, pikirannya mulai kabur, rasa lelah menumpuk setelah berjam-jam mencoba memahami mantra-mantra yang membutuhkan konsentrasi penuh.
Selvina datang dengan langkah ringan, membawa secangkir teh hangat. Ia mendekati Zen, meletakkan tangannya dengan lembut di bahu pria itu. "Zen, sudah cukup untuk malam ini. Kau butuh istirahat. Bahkan seorang pahlawan butuh tidur," katanya dengan nada lembut, senyumnya menenangkan.
Eryon, yang berdiri di dekat jendela, ikut angkat bicara. "Dia benar, Zen. Kau tidak akan bisa menguasai apa pun jika tubuhmu terlalu lelah. Istirahatlah. Kita lanjutkan besok."
Zen menghela napas panjang. "Baiklah," ujarnya akhirnya, menutup gulungan sihir dan bangkit berdiri. Selvina memegang tangannya, membimbingnya keluar dari ruang pelatihan menuju kamarnya di kastil.
Malam yang Tenang
Di kamar mereka, Zen dan Selvina duduk bersama di sisi tempat tidur. Keduanya terdiam, menikmati kehangatan satu sama lain setelah hari yang panjang. Selvina menatap Zen, melihat guratan lelah di wajahnya, tetapi juga keteguhan yang tidak pernah luntur.
"Kau terlalu keras pada dirimu sendiri," kata Selvina, menyentuh pipi Zen dengan lembut.
Zen tersenyum tipis. "Aku hanya ingin memastikan semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak ingin mengecewakan mereka... atau dirimu."
Selvina menggeleng pelan, mendekatkan dirinya lebih dekat kepada Zen. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup. Yang terpenting, kau tetap menjadi dirimu sendiri. Itu yang aku kagumi darimu."
Dalam keheningan itu, Selvina memeluk Zen dengan lembut, memberikan rasa nyaman yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ketika ia memberinya ciuman singkat di pipi, Zen merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya.
Malam itu, keintiman di antara mereka tumbuh dengan cara yang alami. Rasa cinta yang selama ini terpendam akhirnya mencapai puncaknya. Dalam keheningan malam, mereka saling mendekat, membiarkan emosi dan kasih sayang yang telah lama tersimpan mengalir dengan bebas.
Itu adalah malam pertama mereka benar-benar menyatukan diri, tidak hanya sebagai sepasang kekasih tetapi sebagai dua jiwa yang telah menemukan pelengkap satu sama lain. Sebuah momen yang tidak hanya memperkuat hubungan mereka tetapi juga keyakinan mereka untuk menghadapi segala tantangan yang ada di depan.
Keesokan paginya, sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, diiringi kicauan burung-burung kecil yang membawa kedamaian pagi. Selvina membuka matanya perlahan, merasa kehangatan dari seseorang di sampingnya. Ketika kesadarannya kembali, ia terkejut menyadari bahwa dirinya tidak mengenakan apa-apa. Pipinya langsung memerah, dan ia buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Di sisi lain, Zen yang sudah terbangun lebih dulu, merasa canggung saat menyadari situasi itu. Ia memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rasa malunya. "Aku... aku akan keluar dulu," katanya gugup sambil dengan cepat mengenakan pakaiannya.
Selvina hanya tersenyum tipis, meskipun pipinya masih merona. Ia tidak bisa melupakan keintiman yang mereka alami malam sebelumnya. Ada rasa hangat yang mengisi hatinya, meskipun rasa malu masih menyelimuti.
Setelah Zen keluar dari kamar, Selvina bergegas mengenakan pakaiannya. Ia menatap cermin sebentar, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Dengan hati yang masih penuh dengan kenangan semalam, ia akhirnya keluar dari kamar, bergabung dengan Zen di ruang makan.
Di meja makan, suasana sedikit canggung pada awalnya, tapi tatapan lembut di antara mereka menceritakan banyak hal. Para pelayan yang sudah menyiapkan hidangan pagi hanya tersenyum sopan, seolah memahami ada sesuatu yang berbeda antara raja dan ratu mereka pagi itu.
Ketika Zen dan Selvina sedang menikmati sarapan dengan suasana yang sedikit canggung, Eryon tiba-tiba muncul di ruang makan dengan langkah santai. "Pagi yang indah, bukan?" ujarnya sambil duduk di kursinya, menatap keduanya dengan pandangan penuh selidik.
Zen mencoba menghindari tatapan Eryon, fokus pada makanannya, sementara Selvina sibuk menyusun kata-kata di benaknya untuk memulai percakapan. Namun, diamnya mereka justru membuat Eryon semakin curiga.
Ia menyipitkan matanya, mendekatkan wajahnya ke arah Zen, dan dengan nada penuh godaan berbisik, "Jadi... apa yang terjadi semalam? Kamu terlihat agak berbeda pagi ini."
Zen tersedak mendengar pertanyaan itu. Wajahnya langsung memerah seperti tomat matang, dan ia segera mengambil gelas air untuk menutupi kegugupannya. Ia menatap Eryon dengan pandangan protes, tetapi tak bisa menyembunyikan rasa malunya.
Melihat reaksi Zen, Eryon hanya tertawa kecil, menepuk punggungnya. "Ah, aku hanya bercanda. Tapi kalau benar, kau tak perlu malu. Hubungan seperti itu adalah hal yang wajar, apalagi kalian adalah pasangan baru kerajaan," katanya, kali ini dengan nada serius namun tetap diiringi senyum usil.
Selvina yang duduk di sebelah Zen juga tidak luput dari perhatian Eryon. Melihat pipinya yang merah, Eryon hanya tersenyum puas. "Baiklah, kalian tidak perlu menjelaskan apa-apa. Aku cukup paham," ujarnya sambil melanjutkan makanannya dengan tenang, meninggalkan pasangan itu yang kini sama-sama makan dengan terburu-buru, berusaha mengalihkan perhatian dari rasa malu mereka.
Setelah selesai dengan sarapan yang penuh kejadian canggung, Zen memutuskan untuk mengalihkan fokusnya pada pelatihan sihir dan pertahanan. Ia mengenakan pakaian latihannya, mengambil tongkat sihir, lalu berpamitan kepada Selvina dengan senyuman kecil.
Eryon sudah menunggunya di arena latihan dengan sikap santai namun penuh kesiapan. "Kita akan melatih kemampuan pertahananmu hari ini. Aku ingin memastikan kau benar-benar siap menghadapi apapun yang terjadi," ujar Eryon sambil mengayunkan tongkat sihirnya, menciptakan sebuah perisai bercahaya di udara sebagai contoh.
Sementara itu, Selvina memutuskan untuk memikul tanggung jawabnya sebagai ratu. Ia memanggil semua pekerja di kastil ke aula utama, memberikan pengarahan yang jelas tentang pentingnya keamanan kastil.
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam waktu dekat," kata Selvina dengan tegas. "Mulai hari ini, aku ingin kalian lebih sigap dalam menjalankan tugas. Selain itu, aku juga akan mengajarkan kalian beberapa taktik pertahanan jika sewaktu-waktu kastil diserang."
Para pekerja mendengarkan dengan penuh perhatian. Selvina memulai sesi pelatihan dengan mengajarkan cara menggunakan benda-benda sederhana di sekitar mereka sebagai alat perlindungan. Ia juga menunjukkan tempat-tempat strategis di dalam kastil yang bisa dijadikan lokasi bertahan.
Ketegasan Selvina di aula berpadu dengan dedikasi Zen di arena pelatihan. Hari itu, keduanya menunjukkan bahwa mereka adalah pemimpin yang tak hanya mengandalkan kekuatan, tetapi juga strategi dan kepedulian terhadap orang-orang di sekitar mereka.
Saat sore menjelang, Zen menyelesaikan latihan intensifnya bersama Eryon. Ia berdiri di tengah lapangan, melihat ke arah bendera Lumoria yang berkibar di kejauhan. Dalam hatinya, ia merasa bahwa tanggung jawabnya sebagai pemimpin tidak hanya melindungi Selvina dan para pekerja kastil, tetapi juga seluruh penduduk Lumoria yang kini mempercayainya sepenuhnya.
Zen lalu memanggil seluruh penghuni Lumoria ke aula utama kastil. Para penghuni Lumoria memenuhi aula dengan ekspresi serius namun penuh rasa hormat. Selvina berdiri di samping Zen, mendukungnya dengan senyuman lembut yang memberikan kekuatan.
Zen memulai pidatonya, suaranya tegas dan penuh keyakinan. "Penduduk Lumoria, kita telah lama hidup dalam kedamaian. Namun kini, ancaman dari luar semakin nyata. Ada mereka yang melihat kita sebagai musuh hanya karena keberadaan kita berbeda. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak tanah ini, rumah kita, tempat kita berbagi impian dan kebahagiaan."
Ia berhenti sejenak, menatap satu per satu wajah yang hadir, memastikan kata-katanya sampai ke hati mereka. "Mulai hari ini, aku meminta kalian untuk bersiap. Bukan untuk mencari perang, tetapi untuk melindungi tanah ini. Melindungi keluarga kita. Melindungi Lumoria."
Eryon melangkah maju, menambahkan, "Latihan akan dimulai esok hari bagi mereka yang ingin memperkuat kemampuan bertahan dan bertarung. Ingat, ini bukan soal siapa yang kuat atau lemah, tetapi soal kerja sama dan keberanian."
Aula dipenuhi suara sorakan. Penduduk Lumoria menunjukkan tekad mereka, mengangkat senjata sederhana atau tangan mereka ke udara sebagai tanda kesediaan untuk membela tanah kelahiran mereka. Selvina mengamati mereka dengan bangga, dan Zen merasa kepercayaan itu membakar semangatnya untuk terus maju.
Malam itu, Lumoria tidak hanya menjadi negeri yang indah, tetapi juga simbol kekuatan dan persatuan. Mereka tahu, apapun yang terjadi, mereka akan menghadapi segalanya bersama-sama.
Malam itu, suasana di Lumoria terasa berbeda. Para penghuni tidak lagi hanya menikmati kedamaian seperti biasa. Mereka kini disatukan oleh satu tujuan: melindungi rumah mereka. Di setiap sudut kastil, para prajurit berlatih, para pengrajin mempersiapkan peralatan, dan para tetua berdoa untuk keselamatan semua.
Di dalam kastil, suasana lebih tenang. Selvina duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan Zen yang sudah mulai merebahkan diri dengan napas teratur. Wajahnya memancarkan kelelahan sekaligus ketenangan. Selvina tersenyum tipis, memikirkan seberapa banyak beban yang harus Zen tanggung untuk melindungi mereka semua.
Dengan lembut, ia menyusul Zen di tempat tidur. "Besok akan menjadi hari yang panjang," gumam Selvina, lebih kepada dirinya sendiri. Ia memandang Zen sejenak sebelum memejamkan matanya.
Zen, meski matanya terpejam, tahu Selvina ada di sisinya. "Aku janji, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Lumoria... atau kamu," bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Malam itu, keduanya tertidur dalam keheningan, menemukan sedikit kedamaian di tengah gelombang tantangan yang akan datang. Di luar, bintang-bintang bersinar terang, seolah memberkati perjalanan mereka menuju hari esok yang penuh harapan dan perjuangan.
Bersambung!