Ava Seraphina Frederick (20) memiliki segalanya kekayaan, kekuasaan, dan nama besar keluarga mafia. Namun bagi Ava, semua itu hanyalah jeruji emas yang membuatnya hampa.
Hidupnya runtuh ketika dokter memvonis usianya tinggal dua tahun. Dalam putus asa, Ava membuat keputusan nekat, ia harus punya anak sebelum mati.
Satu malam di bawah pengaruh alkohol mengubah segalanya. Ava tidur dengan Edgar, yang tanpa Ava tahu adalah suami sepupunya sendiri.
Saat mengetahui ia hamil kembar, Ava memilih pergi. Ia meninggalkan keluarganya, kehidupannya dan juga ayah dari bayinya.
Tujuh tahun berlalu, Ava hidup tenang bersama dengan kedua anaknya. Dan vonis dokter ternyata salah.
“Mama, di mana Papa?” tanya Lily.
“Papa sudah meninggal!” sahut Luca.
Ketika takdir membawanya bertemu kembali dengan Edgar dan menuntut kembali benihnya, apakah Ava akan jujur atau memilih kabur lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Suasana di lobi Kenzo Corporation berubah menjadi tontonan. Ava membeku, Kenzo terkejut, dan Edgar terasa seperti dihantam palu godam.
Lily, yang memang selalu dramatis dan cepat bertindak, tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melepaskan diri dari pelukan Ava, berlari ke arah Edgar, dan langsung memeluk erat kaki pria itu.
“Papa! Jangan pergi! Papa ini Lily, putri Papa!” isak Lily, memohon tak peduli jika kini ia menjadi tontonan para karyawan perusahaan yang mulai berkerumun.
“Papa, apa Papa tidak pernah merindukan Lily dan Luca? Apa selama ini Papa sengaja meninggalkan kami bertiga dengan Mama? Luca sakit, Papa. Luca butuh obat.” Tangisan Lily pecah, membuat hati semua yang mendengarnya tercabik.
Begitu juga dengan Ava. Ia memalingkan wajah, tak sanggup melihat Lily yang tampak rapuh dan memohon seperti itu. Air mata Ava menetes, dicampur rasa bersalah karena membiarkan anak-anaknya menderita.
Lily mendongak, matanya yang basah penuh kepolosan menatap Edgar. “Papa, lihat Lily dan Luca, Papa. Apa Papa tidak memiliki getaran apa pun saat melihat kami untuk pertama kali?”
Lily meraih tangan Edgar yang terkepal, menautkannya dengan tangan kecilnya.
“Bahkan Papa punya putri lain selain Lily,” lanjut Lily, mengacu pada Cleo. “Lily tidak masalah asalkan Papa mau mengakui Luca dan Lily sebagai putri dan putra Papa.”
Edgar mengepalkan tangannya. Ia sungguh tak bisa mendengar tangisan bocah chubby yang menggemaskan ini. Kata-kata Lily yang begitu murni dan cerdas tentang getaran itu menusuk jauh ke dalam hatinya.
Jujur, Edgae mengakui perasaan aneh yang ia rasakan saat pertama kali melihat mereka.
Akhirnya, naluri kebapakan yang selama ini ia sangkal mengambil alih. Edgar berlutut, menggendong Lily, dan mengusap air matanya dengan ibu jari.
“Kenapa kau bisa begitu yakin kalau kau putriku, hm?” tanya Edgar dengan lembut. “Kau bahkan tidak tahu kalau aku ini pria tak sempurna.”
Lily menggeleng, memeluk leher Edgar erat.
“Tidak, Papa. Papa hebat. Papa luar biasa. Papa adalah Papa paling sempurna di dunia. Lily bangga punya Papa! Iya kan, Luca?” ucapnya, menoleh pada Luca yang berdiri di samping mereka.
Luca mengangguk sekilas. Jelas saja Luca paling tidak bisa menangis; dia dingin, logis, dan itu mirip sekali dengan Edgar.
Edgar tersenyum tipis, senyum yang jarang sekali terlihat. “Baiklah. Kita bicarakan ini nanti. Paman harus bicara dengan Mamamu. Apa boleh?”
“Tentu saja, Papa! Sangat boleh!” jawab Lily antusias.
Lily turun dari gendongan Edgar dan kembali pada Ava.
“Mama, cepat bicara dengan Papa! Biar Lily bersama Om Kenzo,” ucap Lily, mendorong Ava ke arah Edgar.
Kenzo menghela napas. Hari ini adalah hari patah hati sedunia baginya.
Ya, cintanya pada Ava tidak akan pernah sampai. Kenzo tak mau bersaing dengan pamannya sendiri.
“Kalian bicaralah,” ujar Kenzo dengan suara dipaksakan ceria. “Biarkan aku yang menjaga Luca dan Lily.”
Ava mengangguk kaku. Ia menatap Kenzo dengan tatapan terima kasih sebelum mengikuti Edgar yang sudah berjalan keluar.
Mereka masuk ke mobil limosin hitam mewah milik Edgar yang sudah menunggu di depan perusahaan.
“Silakan, Tuan,” ucap Jeremy, membuka pintu mobil.
Di dalam mobil, suasana sangat dingin. Jendela partisi kaca memisahkan mereka dari Jeremy di kursi depan.
“Kau berutang penjelasan padaku, Ava,” ucap Edgar, tatapannya tajam. Ava memalingkan wajah ke jendela, mencoba mengumpulkan kekuatan.
“Apa yang harus aku jelaskan? Kenapa kau selalu mendesakku dan membuatku tidak bisa—”
“Mereka benar darah dagingku?” potong Edgar dengan penuh penekanan.
Ava menoleh, matanya berkilat marah. “Kau meragukan aku? Jelas saja mereka darah dagingmu, Ed! Kau pikir siapa yang sudah mengambil semuanya, selain dirimu!”
“Tapi aku mandul, Ava!” sahut Edgar, rahangnya mengeras. “Bagaimana bisa aku punya anak, sementara aku sendiri tak bisa memberimu anak!” Ia masih mengingat dengan jelas laporan dari lab tujuh tahun lalu.
Ava memejamkan mata. Apa-apaan ini? Apa Edgar sengaja tak ingin mengakui Luca dan Lily karena ia sudah menikah dengan Ivy?
Tapi, bukankah ini bagus? Ivy tidak akan pernah menganggu anak-anaknya. Ava tidak ingin terjadi sesuatu pada mereka, apalagi jika sudah berhubungan dengan sepupunya yang arogan itu.
“Edgar, kalau kau mandul mereka tidak akan pernah ada di dunia! Mereka adalah satu-satunya yang kau tinggalkan setelah malam itu,” jelas Ava.
Ia terpaksa mengatakan kebenarannya. Karena Ava tahu, setelah ini Edgar pasti menjauhinya karena tak mungkin Edgar akan menceraikan Ivy demi si kembar.
Edgar sangat mencintai Ivy. Jika tidak, mana mungkin Edgar menikahinya.
“Kira-kira mereka membicarakan apa?” gumam Jeremy penasaran. “Sepertinya aku harus segera mengungkapkan kebenaran pada tuan Edgar.”
udh gk ada maaf lagi dri edgar😌
klo km msh berhianat jg udh end hidupmu
lanjut kak sem gat terus💪💪💪
apa² jgn² kamu menyukai ivy...
kl iya tamat lah riwayat mu jeremy
untung edgar cocok y coba kl ava ataupun edgar tidak cocok... pastinya mereka disuruh memilik anak lagi🤔