Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 - Tertangkap (Basah)
Sayang, telinga Nadin agaknya tidak mungkin salah dengar. Begitu jelas Zain memanggilnya dengan panggilan sayang, tapi ya hanya sekali, tepat di mobil. Setelahnya dia kembali seperti biasa, tidak terlalu manis, tapi tidak pula terlihat amat kasar seperti di kampus.
Entah karena kasihan atau bagaimana, tapi Nadin sangat merasakan perbedaan sikap Zain. Bak dipertemukan dengan dua orang yang berbeda, dan dia tidak tahu watak asli Zain yang mana.
Makannya tidak lagi fokus, padahal sudah sangat lama. Nadin masih terus terbayang akan ucapan Zain yang tadi hingga detik ini, panggilan sayang dari pria sekaku Zain terdengar bak keajaiban dunia.
"Makan, ketampananku tidak akan membuat perutmu kenyang," celetuk Zain yang seketika membuat Nadin menunduk dalam-dalam.
Dia lupa jika sang suami memiliki mata ghaib yang mampu melihat keadaan sekitar walau tidak terarah. Nadin yang lagi-lagi tertangkap basah tengah memandang sang suami yang duduk di sisinya kini memerah dan bingung hendak bersikap bagaimana.
Terlebih lagi, Zain yang mendadak narsis itu juga berhasil membuatnya salah tingkah. Percaya diri sekali dia mengaku tampan, padahal memang.
Sementara di sisi lain, Zain yang melihat gelagat sang istri jelas saja tertawa geli. Tidak hanya sekadar tubuh, tapi kakinya juga tak bisa diam hingga Zain mendaratkan tangan tepat di paha Nadin, jelas hal itu membuat sang istri mendongak usai menepis tangan sang suami sebegitu cepatnya.
"Maaf, Mas, a-aku kaget."
Bukan sengaja, Nadin terperanjat kaget hingga refleks menepis tangan Zain. Sungguh dia tidak berbohong, tapi memang benar-benar terkejut, itu saja.
Beruntungnya, Zain bukanlah pria yang mudah tersinggung. Dia memahami hal itu, mungkin tindakannya terlalu lancang kala menyadarkan lamunan sang istri hingga membuat Nadin ketakutan.
"Mikirin apa? Katanya mau sushi, dari tadi kamu cuma melihatku, kenyang memang?" Seakan sengaja membuat Nadin salah tingkah, Zain kini bertopang dagu seraya terus menatapnya.
Zain tidak sedang mengada-ngada ataupun memperbesar masalah, tapi memang benar adanya sejak tadi yang makan hanya dia, padahal Nadin sendiri yang memilih hendak makan apa.
"Geer, dari tadi aku makan kok." Nadin mencebik, malas dituduh terus memandangi wajah sang suami, dia sampai menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
Sekuat hati dia berusaha menghindari tatapan Zain, sampai-sampai duduk membelakangi sang suami hanya karena pria itu tak berhenti menatapnya. "Dasar aneh," gumam Zain tersenyum simpul.
Dia pikir dengan cara seperti itu Zain akan berhenti memandanginya, tanpa dia ketahui dengan posisi seperti itu justru semakin terkesan lucu di matanya.
"Kecil banget, pinggang kamu hampir sejengkal ter_"
"Ih apasih?!!"
Dia marah, setelah tadi sempat diam membelakangi Zain, saat ini Nadin kembali berbalik usai sang suami berani mengukur pinggangnya. Tak hanya sekadar ucapan, tapi benar-benar disentuh hingga Nadin mencubit punggung tangannya.
Matanya mendelik, wajahnya cemberut hingga Zain menggigit bibirnya demi menahan gelak tawa. Jika saja bukan sedang di tempat umum, besar kemungkinan dia akan terbahak lantaran tak kuasa melihat raut wajah sang istri.
Cukup lama mereka menghabiskan waktu untuk menyelesaikan makan malam. Sudah pasti karena istrinya salah tingkah tiada habisnya. Mengaku kenyang, tapi masih terus disuap dengan alasan mubazir.
"Langsung pulang?"
"Iya pulang," jawab Nadin singkat dan seketika membuat Zain kecewa, dia masih ingin lebih lama dan belum bersedia jika harus pulang secepatnya, sungguh.
"Yakin? Apa tidak ada tempat yang ingin kamu datangi lebih dulu?"
Nadin menggeleng, sesuai rencana mereka keluar juga untuk makan malam, dan memang sudah waktunya mereka pulang. "Lain kali saja, aku ada tugas dari pak Anggara ... deadline-nya minggu depan."
"Masih lama, kenapa buru-buru sekali? Besok bisa."
"Besok padat, Mas, aku kuliah dari pagi sampai sore ... biasanya malem aku langsung tidur, capek soalnya."
Zain menghela napas panjang, dia kehilangan cara membujuknya, tapi hendak terang-terangan mengajak Nadin juga tidak bisa, tepatnya dia tidak memiliki keberanian untuk itu.
"Baiklah, kalau begitu ayo pulang ... kebetulan aku juga banyak pekerjaan." Tak ingin kelihatan terlalu berharap, Zain jelas saja berusaha mencari kalimat yang sekiranya tidak membuatnya terpojok.
"Ehm, tapi kayaknya kita harus ke supermarket sekalian deh, boleh ya?"
"Mau apa?"
"Belanja bulanan, sejak kita tinggal berdua, sabunku cepat habis," celotehnya membuat Zain mengatupkan bibir.
Perhitungan sekali istrinya, semua dia ratapi, bahkan sampai pasta gigi yang dulu memang sudah sedikit juga Nadin ratapi. "Astaga, Nadin ... sejak awal aku datang sabunmu memang sudah hampir habis."
"Tetap saja, biasanya kalau aku sendiri sabun segitu masih cukup untuk dua minggu. Anehnya, setelah tinggal berdua malah cuma cukup beberapa hari, mas pakai sabunnya buat apasih?" Nadin sejak dulu sangatlah hemat, tak bisa dipungkiri prinsip anak kost dengan dana terbatas pasti sama.
Jadi wajar saja ketika disatukan dengan Zain yang super boros, dia mendadak hitung-hitungan. Bukan karena pelit atau semacamnya, tapi memang terakhir kali Nadin mandi botol sabun dan juga samponya sampai diisi air lagi, sudah pasti pelakunya adalah sang suami.
Zain yang dituduh sebagai penyebab semua itu cepat habis jelas saja membela diri. "Ya buat mandilah, tidak mungkin kuminum."
"Bukan begitu juga maksudnya, Mas, tapi setidaknya agak hemat gitu kan bisa ... sama satu lagi, mas tidak bawa sikat gigi, iya, 'kan?"
"Lupa."
Zain mengatupkan bibirnya, soal itu dia memang lupa dan terpaksa pakai milik sang istri. Awalnya Nadin tidak mempermasalahkan hal itu, Zain juga lupa hingga ternyata kali ini sang istri membahas hal tersebut.
Sudah terlalu banyak alasan, Nadin mengajak Zain ke supermarket sebenarnya bukan hanya membeli kebutuhan pribadinya, tapi juga kebutuhan Zain.
.
.
Tidak apa, anggap saja belanja bulanan pertama sebagai pasutri. Lagipula tidak seberapa jauh, jadi Zain tidak merasa begitu direpotkan. Tidak pernah terpikirkan oleh Zain, jika niatnya mengajak keluar demi meredam naffsu akan berakhir jadi seserius ini.
Belanja bersama seorang wanita yang dia sebut istri. Dia pernah bercita-cita melalui hal seperti ini bersama Jessica sejak lama, tapi Tuhan berkata lain dan Nadin yang menjadi pemenangnya.
"Kenapa harus dipilih-pilih dulu, Nad?"
"Cari yang diskon, kan lumayan bisa hemat, Mas."
Hemat katanya, padahal tanpa harus berhemat juga bisa, hanya saja Zain tidak ingin memperlihatkan harta di hadapan sang istri. Sejak dulu Daddy-nya selalu menekankan untuk tidak pernah membanggakan kekuasaan hanya demi dilihat orang, siapapun itu.
"Jangan lama-lama, sudah malam ... katamu ada tug_"
Brugh
Zain terkejut, ucapannya belum selesai tiba-tiba Nadin terperosok akibat seseorang mendorong tubuhnya dari belakang. Entah kapan mereka dibuntuti, tapi begitu tahu siapa pelakunya dia mendadak murka seketika.
"Jessica!!" teriak Zain sontak berlutut demi membantu Nadin untuk bangkit segera.
"Jadi karena bocah ini kamu sampai mutusin aku, Zain?"
.
.
- To Be Continued -