Karenina, gadis cantik yang periang dan supel. Dia hidup sebatang kara setelah kehilangan seluruh keluarganya saat musibah tsunami Aceh. Setelah berpindah dari satu rumah singgah ke rumah singgah lainnya. Karenina diboyong ke Bandung dan kemudian tinggal di panti asuhan.
Setelah dewasa, dia memutuskan keluar dan hidup mandiri, bekerja sebagai perawat khusus home care. Dia membantu pasien yang mengalami kelumpuhan atau penderita stroke dengan kemampuan terapinya.
Abimanyu, pria berusia 28 tahun yang memiliki temperamen keras. Dia memiliki masa lalu kelam, dikhianati oleh orang yang begitu dicintainya.
Demi membangkitkan semangat Abimanyu yang terpuruk akibat kecelakaan dan kelumpuhan yang dialaminya. Keluarganya menyewa tenaga Karenina sebagai perawat sekaligus therapist Abimanyu.
Sanggupkah Karenina menjalankan tugasnya di tengah perangai Abimanyu yang menyebalkan? Apakah akan ada kisah cinta perawat dengan pasien?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Musang Berbulu Domba
Setelah berpisah dengan Juna dan Nadia di mall, Nina memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Seperti biasa Abi sudah mewanti-wanti agar Nina sudah sampai di rumah sebelum dirinya pulang kerja. Nina antara senang dan kesal, senang karena diperlakukan seperti istri saja oleh Abi. Tapi juga kesal dengan sikap otoriter plus nyebelin lelaki tersebut.
Nina menunggu ojek pesanannya tiba di depan lobi mall. Terdengar notifikasi di ponselnya. Sang pengemudi mengabarkan sudah ada di dekat pintu masuk. Dia tak bersedia masuk karena tak ingin membayar biaya parkir. Nina terpaksa harus berjalan kaki menuju gerbang pintu masuk.
Terlihat seorang pria berjaket hijau melambai padanya. Nina bergegas menghampiri pengojek tersebut. Gadis itu menerima helm yang disodorkan padanya kemudian naik ke jok belakang seraya memakai helm. Suara mesin berbunyi dan tak lama kendaraan roda dua itu meluncur membelah jalanan kota Bandung.
Cuaca masih cukup terang karena waktu baru menunjukkan pukul empat sore. Jalanan yang diambil sang pengojek cukup padat, sudah hampir waktunya jam pulang kerja. Ojek yang dikendarai Nina terus saja melaju, tanpa mereka sadari sebuah sedan berwarna hitam mengikuti mereka sejak keluar dari mall.
Ketika melintasi jalan yang tak begitu ramai lalu lalang kendaraan, mata Nina melihat sosok yang tak asing. Dia menepuk pundak sang driver untuk melambatkan laju motornya. Saat semakin mendekati sosok yang dikenalnya, Nina meminta driver untuk berhenti. Nina turun dari motor. Mobil yang mengikutinya juga ikut berhenti.
Nina terdiam di tempatnya menatap pada seseorang di sebrang sana. Abi sedang duduk di atas kap mobil bersama seorang pria. Mereka tampak berbicara serius. Kemudian Abi mulai berjalan menemui orang yang baru datang. Mereka kembali berbicara.
“Mas Abiiii...” geram Nina.
“Ternyata mas Abi udah bisa jalan dan selama ini dia nipu gue! Awas aja ya mas.. tercyduk kamu sekarang.”
“Neng, mau jalan lagi ngga?” tanya sang driver.
“Saya berhenti di sini aja pak.”
“Ya udah atuh neng.”
Sang driver segera meninggalkan Nina. Sedangkan Nina masih mengawasi Abi. Dia menunggu kedua pria yang berbicara dengan Abi pergi. Tak lama mereka membubarkan diri. Saat Abi melangkah menuju mobil,
“Mas Abi!!!”
Abi terkejut mendengar suara Nina, sontak dia menoleh ke arah sebrang. Nampak Nina sedang berkacak pinggang dengan mata menatap tajam ke arahnya.
“Mamvus gue.. kepergok Nina nih.”
Nina melangkahkan kakinya menuju Abi. Mobil yang sedari tadi mengikuti Nina mulai tancap gas. Ketika posisi Nina berada di tengah jalan, kecepatan mobil bertambah. Abi menengok ke arah kirinya.
“Nina awas!!!”
Melihat mobil yang melaju kencang ke arahnya, Nina terkesiap, dia mematung di tempatnya. Abi berlari kencang ke arah Nina. Tangan Abi menarik Nina tepat saat mobil tersebut hampir menabraknya. Nina menabrak tubuh Abi hingga pria tersebut terhuyung ke belakang. Punggungnya membentur bodi mobil.
Untuk sesaat mereka masih terdiam di posisi saling memeluk. Nina memejamkan matanya, jantungnya berdebar kencang akibat peristiwa tadi. Abi memeluk punggung Nina erat. Perlahan dia melepaskan pelukannya.
“Kamu ngga apa-apa Nin?”
“Iya mas.. makasih.”
Abi mengambil ponselnya lalu menghubungi Cakra. Dia meminta sahabatnya itu menyelediki orang yang berusaha menabrak Nina. Abi menjelaskan secara rinci nama jalan, waktu kejadian dan jenis kendaraan yang digunakan. Abi memerintahkan Cakra memeriksa cctv yang terpasang di toko yang ada di sekitar jalan tersebut.
“Kamu kenapa ada di sini?” tanya Abi setelah mengakhiri panggilan dengan Cakra.
Tapi bukan jawaban yang didapatnya melainkan pukulan bertubi yang didaratkan Nina di lengan juga dadanya.
“Aduh.. sakit Nin!”
“Mas Abi jahat.. jahat.. jahat.. selama ini mas Abi pura-pura! Jahat.. jahat..”
Nina terus saja memukuli lelaki di hadapannya ini. Abi menangkap kedua tangan Nina. Tak menyerah, Nina menggigit tangan Abi hingga pria itu melepaskan pegangannya. Gadis itu kembali memukuli Abi. Dengan cepat Abi menarik Nina dalam pelukannya.
“Mas Abi jahat... mas Abi curang... aku sebel sama mas Abi.”
“Seneng betul maksudnya?”
“Aku benci mas Abi!”
“Benar-benar cinta sama aku?”
“Mas Abi!!!!”
Abi melepaskan pelukannya karena Nina berteriak tepat di dekat telinganya. Dia mengusap telinganya yang berdengung.
“Sejak kapan mas Abi bisa jalan?”
“Baru tadi kok.”
“Jangan bohong!!”
“Iya.. iya.. aku udah bisa jalan waktu terapi kita jalan dua bulan.”
“WHAT???!!!”
Abi kembali mengusap telinganya. Suara Nina naik hingga tujuh oktaf, menyaingi Mariah Carey. Di telinga Abi, suara Nina terdengar persis toa masjid yang ada kresek-kreseknya kalau muadzin sedang memanggil umat muslim untuk shalat.
“Udah jangan marah mulu. Ayo ikut aku.”
“Ngga mau!! Aku mau pulang terus pergi. Tugasku udah selesai, mas Abi udah sembuh, udah bisa jalan lagi. Aku mau minta pasien baru sama bu Nining.”
Abi menarik pinggang Nina, membuat tubuh mereka tak berjarak. Wajah Abi berada dekat dengan wajah Nina. Gadis itu bisa merasakan hembusan nafas Abi di kulit wajahnya.
“Kamu ngga akan kemana-mana. Kamu memang menang taruhan soal terapi tapi ingat, kita punya taruhan yang lain. Dan aku adalah pemenangnya. Aku belum menyebutkan apa keinginanku, jadi kamu belum bisa pergi ke mana pun. Mengerti?”
Abi menatap dalam netra Nina. Gadis itu melihat iris Abi tanpa berkedip. Jantungnya mulai berdendang tak karuan.
“Sekarang ikut aku.”
“Ngga mau!”
“Ikut atau aku cium kamu di sini. Lihatlah orang-orang di sana sedang memperhatikan kita. Memberi mereka sedikit pertunjukan bukan masalah buatku.”
Nina melirik sekumpulan orang yang tengah memperhatikan mereka. Sepertinya Abi serius dengan ucapannya. Mau tak mau Nina mengangguk. Abi melepas pelukannya lalu membukakan pintu untuk Nina. Abi juga masuk ke dalam mobil, dia duduk di belakang kemudi. Pak Kamal sengaja diminta menunggu di kantor.
Suasana sepi mengiringi perjalanan Abi dan Nina. Gadis itu masih enggan membuka mulutnya. rasa dongkol dibohongi Abi hampir dua bulan lamanya masih bersemayam di hatinya. Dia meyakinkan diri untuk tetap melakukan aksi mogok bicara sampai pria itu meminta maaf padanya, kalau perlu sambil berlutut. Walaupun rasanya mustahil.
Nina melirik ke arah Abi. bukannya meminta maaf atau membujuk, pria itu malah ikutan diam. Nina semakin keki dibuatnya. Namun diam-diam gadis ini memuji penampilan Abi. Kemeja lengan panjang yang dilipat hingga ke siku, memperlihatkan otot-otot tangannya yang kekar. Ditambah gayanya di belakang kemudian, dengan satu tangan di atas setir dan satunya disandarkan ke jendela mobil dengan posisi ditekuk membuatnya terlihat semakin tampan dan seksi. Nina menggeleng-gelengkan kepalanya, menghalau pikiran nakalnya.
Sadar Nin sadar... inget kamu harus jual mahal. Jangan mau luluh, dia udah bohongin kamu. Inget!! Dia harus dapet balasan yang setimpal. Jangan tertipu muslihatnya. Mas Abi itu licik, dia musang berbulu domba.
Nina terus memantapkan hatinya untuk tidak mudah memaafkan Abi seperti membalikkan tangan. Pria itu harus mendapatkan balasan yang setimpal. Nina berpikir keras azab apa yang akan dia berikan pada lelaki di sebelahnya ini.
Mobil terus melaju memasuki jalan Gatot Subroto. Sebenarnya Nina penasaran kemana Abi akan membawanya pergi, tapi terlalu gengsi. Audi R8 yang dikendarai Abi memasuki pekarangan sebuah wisma. Abi mengajak Nina turun setelah mematikan mesin mobil.
Mata Nina menatap bangunan di depannya, sebuah bangunan berlantai tiga yang terbalut cat berwarna biru langit. Bagian sisi gedung terlihat seni mural tiga dimensi menghiasi dinding. Lalu di depan gedung terdapat sebuah taman bermain yang dilengkapi dengan perosotan, ayunan, jungkat-jungkit dan kubus ketangkasan. Nina mengenali anak-anak yang tengah bermain di taman. Mereka adalah anak-anak di panti asuhan ibu Lidya. Nina melihat ke arah Abi.
“Mas.. ini...”
“Iya, ini panti asuhan Meniti Harapan. Aku sengaja memindahkan panti ke sini karena rumah yang kemarin sudah tidak layak huni. Apa kamu suka?”
“Ya ampun mas.. suka banget. Anak-anak pasti senang tinggal di sini.”
Melihat bagusnya bangunan yang ditinggali anak-anak panti serta kebahagiaan mereka, membuat Nina melupakan rasa dongkolnya. Abi mengajak Nina masuk ke dalam. Lagi-lagi Nina dibuat terpana dengan interior ruangan. Lidya menyambut kedatangan mereka dengan senyum sumringah.
“Selamat datang Nina.”
“Ibu..” Nina mencium punggung tangan Lidya.
“Bu.. tempatnya bagus ya sekarang.”
“Alhamdulillah, semua berkat nak Abi. Sekarang ibu juga dibantu tenaga profesional, ada perawat bayi, ada guru buat anak balita, koki dan petugas kebersihan. Ibu juga dibantu beberapa staf untuk mengatur administrasi dan keuangan.”
“Alhamdulillah ya bu. Jadi sekarang ibu hanya tinggal mengawasi saja.”
“Ayo kita berkeliling.”
Lidya mengajak Nina berkeliling. Di lantai dasar terdapat kantor bu Lidya, kamar tidur Lidya dan beberapa staf yang menetap, dapur serta ruang kelas. Di lantai dua dan tiga terdapat kamar anak-anak. Di lantai tiga juga terdapat aula untuk berkumpul. Sedang di rooftop dibuatkan kolam renang serta area bersantai untuk anak-anak. Sekeliling rooftop dipasangi pagar setinggi satu setengah meter untuk menjaga keamanan anak-anak.
Nina benar-benar dibuat kagum atas tindakan Abi. Pria itu tak tanggung-tanggung memberikan bantuan untuk pantinya. Ketika dia menjejakkan kakinya ke lantai dasar, tanpa sadar Nina menghambur ke arah Abi lalu memeluknya.
“Mas Abi.. makasih ya mas.. makasih banyak.”
Abi pura-pura terkejut mendapat pelukan dari Nina padahal dalam hatinya sorak sorai bergembira. Dia menahan diri untuk tidak membalas pelukan gadis itu. Nina melepaskan pelukannya. Senyum tak hilang dari wajahnya.
“Ini sebagai permohonan maaf karena udah bohongin kamu ok.”
Senyum Nina memudar. Dia ingat kalau tengah dalam mode mogok bicara pada Abi. Dia berdehem beberapa kali.
“Ok.. aku terima permintaan maafnya. Tapi ini masih belum cukup. Mas Abi bukan Cuma udah bohongin aku tapi juga udah ngerjain aku. Aku harus bikin perjanjian ulang yang sebenarnya ngga perlu. Mas Abi bohong plus curang. Ini bayaran buat bohongnya, kalau curangnya belum ya,” Nina tak mau kalah kali ini.
“Ya.. ya.. terserah kamu. Kamu mau apa sebagai gantinya.”
“Nanti aja kalau saatnya udah tepat.”
“Ya udah sekarang pulang yuk. Besok kamu bisa ke sini lagi.”
“Ok.”
Nina mencari Lidya untuk berpamitan. Wanita paruh baya yang tengah menyiapkan makan malam itu, menghentikan aktivitasnya. Nina mencium punggung tangan Lidya disusul oleh Abi. Keduanya lalu berpamitan dan meninggalkan panti untuk kembali ke rumah.
Lagi-lagi suasana hening terjadi ketika keduanya sudah berada di dalam mobil. Nina melirik Abi yang tengah serius mengemudi.
“Mas.. sepi banget sih.”
“Mau dengerin lagu?”
“Iya... tapi mas Abi aja yang nyanyi.”
Tangan Abi yang hendak menyalakan audio mobil terhenti begitu saja mendengar ucapan Nina. Dia menoleh ke arah gadis itu.
“Buat bayar kecurangan, yang pertama nyanyi.”
“Nyanyi apa?”
“Dangdut.”
“Ngga hafal.”
“Sunda.”
“Ngga bisa.”
“Lagu Didi Kempot deh.”
“Apa lagi itu.”
Nina menghembuskan nafas kesal. Seharusnya sebagai orang yang dihukum, dia pasrah saja tapi ternyata terus saja mengelak.
“Terus bisanya nyanyi apa?”
“Lagu kenangan aku aja ya.”
“Boleh.. cepetan ngga pake lama.”
Abi berdehem beberapa kali. Dia mengetes suara dengan mengucapkan huruf a kata tes beberapa kali. Nina mendelik sebal ke arahnya. Tahu gadis di sebelahnya sudah memasang wajah membunuh, Abi memulai nyanyiannya.
“Abang tukang bakso mari mari sini, Nina mau beli. Abang tukang bakso cepat dong kemari, sudah tak tahan lagi. Satu mangkok saja, lima ribu perak yang banyak baksonya. Tidak pake saos, tidak pake sambel, tidak juga pake kol. Bakso bulet seperti Karenina, kalau lewat membuat orang dongkol. Jadi cewek janganlah suka ngomel. Kalau ngomel dicium sampe dower.”
PLAK
PLAK
PLAK
Lengan Abi kembali mendapat pukulan dari Nina tapi lelaki itu justru terbahak. Sepertinya pukulan Nina terasa bagai kelitikan di tubuhnya. Nina mendengus kesal. Dia mengalihkan pandangannya ke arah jendela samping dengan tangan disilangkan di depan dada. Namun dalam hati Nina tersenyum. Abi kini jauh lebih hangat padanya, tidak seperti awal pertemuan mereka dulu.
☘️☘️☘️
**Cieee Abi udah mulai bisa ngelawak depan Nina nih. Abi bayar royalty ke Papa T. Bob, seenaknya aja ganti lirik lagu😜
Selamat Hari Guru untuk seluruh Guru di Indonesia, kalian adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Selamat Hari Guru juga buat mama² semua.. kalian adalah guru pertama untuk anak² di rumah. Semangat berkarya buat semuanya😘😘😘**