"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan
Prang!
“Om?!”
Refleks, aku berlari ke atas. Langkahku semakin cepat saat melihat pintu kamarnya terbuka. Om Lino di dalam sana tampak limbung, satu tangan bertumpu di meja kerja, sementara laptopnya sudah tergeletak di lantai. Napasnya terdengar berat dan yang paling bikin aku panik, ada darah segar mengalir dari hidungnya.
“Om! Om gak papa?!” Aku langsung menghampirinya, menopang tubuhnya yang terlihat hampir ambruk.
“Tidak apa-apa,” jawabnya pelan, suaranya nyaris berbisik. Tapi aku tahu, dia bohong.
Aku memapahnya ke ranjang, menuntunnya duduk dengan hati-hati. Tanganku bergerak cepat mengambil tisu dari meja kerja. Dia diam saja, wajahnya terlihat pucat dan berkeringat.
“Om, duduk tegak ya,” kataku sambil membantunya memperbaiki posisi. “Jangan mendongak. Darahnya bisa masuk ke tenggorokan.”
Dia hanya mengangguk lemah, mengikuti arahanku. Aku memiringkan tubuhnya sedikit ke depan. “Condong ke depan aja, Om. Jangan ke belakang.”
Tangan kecilku berusaha menghentikan darah yang terus mengalir dari hidungnya. Aku bisa melihat dia meringis, jelas sekali dia lagi pusing berat.
“Om kenapa?” tanyaku pelan. Tapi dia cuma menggeleng.
Dalam hati, aku benar-benar cemas. Sepertinya Om Lino sudah terlalu lelah. Jadwalnya padat banget dan aku tahu dia jarang istirahat. Sekarang aku cuma bisa berharap dia segera pulih.
Aku duduk di samping Om Lino, memegangi hidungnya yang masih berdarah. Tanganku bergerak hati-hati, menjepit bagian bawah jembatan hidungnya. Dia memejamkan mata, wajahnya kelihatan lemas.
“Om, gak papa?” tanyaku sambil menyodorkan tisu ke hidungnya. Dia menghembuskan napas lewat mulut, tapi tetap tidak membuka mata.
“Iya, saya baik-baik saja,” jawabnya pelan.
“Udah, jangan mendongak lagi!” sergahku cepat saat dia mencoba mengangkat kepalanya. Tanganku refleks memegang lehernya, memastikan posisinya tetap condong ke depan. “Bahaya tau. Darahnya bisa masuk ke tenggorokan dan bikin napas tersumbat. Kalau masuk ke perut, bisa iritasi, terus muntah-muntah. Mau gitu?”
Dia hanya diam, wajahnya agak meringis.
Aku menghela napas. “Om capek banget, ya? Sampai mimisan begini,” gumamku sambil terus mengusap darah di hidungnya dengan tisu. Tapi dia malah tetap memejamkan mata.
“Om takut darah, ya?” tanyaku dengan nada setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Dia mendesah. “Kurang suka,” jawabnya. “Dan ini pertama kali saya mimisan.”
Aku tersenyum kecil. Jadi itu alasannya dia dari tadi gak buka mata. “Wajar kok, Om. Kalau tubuh terlalu capek, pembuluh darah kecil di hidung bisa gampang pecah. Makanya mimisan. Tapi jangan khawatir, nanti juga berhenti sendiri.”
Aku mengganti tisunya dengan yang baru, lalu kembali menekan hidungnya perlahan. “Saya jepit hidung Om, ya? Biar cepat berhenti.”
Dia mengangguk lemah. “Lakukan apa pun supaya cepat selesai.”
Tanganku bergerak telaten, menjepit hidungnya di area tulang dan jaringan lunaknya. Om Lino sebenarnya masih bisa bernapas lewat hidung, tapi ia lebih memilih bernapas lewat mulut, kadang terlihat sedikit terengah, tapi dia tetap tenang.
“Kalau gak nyaman bilang, ya, Om. Nanti saya ambilin es batu,” tawarku.
“Tidak, seperti ini saja sudah cukup.”
Tiba-tiba dia memegang tanganku. Refleks aku melirik ke wajahnya. Mata Om Lino masih terpejam, tapi dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat jelas wajahnya. Kulitnya bersih, hidungnya mancung, dan bulu matanya ... panjang banget. Kayaknya lebih panjang dari bulu mata aku.
Lalu, perlahan, dia membuka mata.
Deg!
Aku gak sempat mengalihkan pandangan. Tatapannya langsung mengunci mataku. Mata Om Lino itu memang lain dari yang lain. Dalam, karismatik, seperti menghipnotis siapa saja yang melihat.
“Kenapa menatap saya seperti itu?” tanyanya pelan, suaranya serak tapi tetap terdengar tenang.
Gak perlu ditanya dua kali. Aku langsung melepas hidungnya dan berdiri buru-buru.
“O-om, kayaknya darahnya udah berhenti deh,” sahutku cepat.
Dia menyentuh hidungnya, ragu-ragu. Tapi tangannya terhenti di udara.
Aku menghela napas. “Udah, sini saya cek lagi.”
Dengan cepat aku mengambil tisu baru dan mengusap sisa darah yang masih ada di sekitar hidungnya. Om Lino diam saja, membiarkanku melakukannya.
“Terima kasih. Maaf merepotkan,” katanya lirih.
“Ah, santai aja, Om. Gak usah merasa gak enak segala,” jawabku sambil tersenyum kecil. Tapi dalam hati, aku cuma bisa berharap dia benar-benar baik-baik saja.
“Om, mending cuci muka aja deh sekarang. Gak usah mandi dulu. Sakit kepala, kan?” Aku menyarankan, sambil melirik wajah Om Lino yang kelihatan lelah. “Badan Om juga rada panas, takutnya nanti demam. Setelah itu langsung turun buat makan. Baru tidur, istirahat. Eh, tapi sebelum itu harus minum obat dulu, ya? Oke?”
Om Lino mendengus pelan, seolah meremehkan. “Saya mengerti. Tenang saja, saya tidak seperti anak kecil.”
Aku mendengus pelan, menahan tawa. “Bagus deh kalau gitu. Ya udah, saya turun lagi, ya? Mau nyiapin makanan Om.”
“Sekali lagi terima kasih,” jawabnya, dengan suara pelan, penuh rasa hormat.
Sopan banget, deh. Om Lino ini kayaknya lebih sering bergaul sama kamus daripada orang biasa.
Aku keluar dari kamar Om Lino, berencana turun ke bawah untuk menyiapkan makanannya. Tapi sebelum aku sempat melangkah lebih jauh, aku merasakan getaran di saku piyamaku. Aku mengambil ponsel dan melihat panggilan dari Ayyara, sahabatku yang pasti punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan jika sudah menelepon.
“Han, lo kenapa gak bilang-bilang ke gue dari awal?”
Aku mengerutkan kening, sedikit bingung. Apa sih?
“Maksudnya? Main tiba-tiba nanya gitu. Gak ngerti gue. Emangnya apa yang gak gue bilang ke lo? Gue mah selalu cerita-cerita sama lo kan biasanya.”
“Jawab jujur. Apa hubungan lo sama Pak Lino?”
Aku membeku, jari-jariku hampir melepaskan handphoneku.
Kok dia bisa tiba-tiba nanya gini?!
“Jawab jujur aja, Han. Jangan bohong. Gue liat postingan Pak Lino.”
Hatiku mulai berdetak lebih cepat. Postingan apa? Yang mana? Di mana? Ah, panik!
“Gue udah ngirim buktinya di-chat. Kenapa dia posting foto lo?” lanjut Yara. Masih mendesakku menjawab.
Aku langsung nyaris terjatuh. Aku buru-buru melirik kembali ke layar, melihat foto yang dimaksud. Ternyata benar. Aku lihat screenshot postingan Om Lino di Instagram, lengkap dengan fotoku yang sepertinya diambil tadi saat kami makan siang.
Aku langsung merasakan perutku mual karena kelabakan. Aku memandangi fotoku yang ada di sana. Aduh, mana fotonya kek ginian! Om Lino kenapa ngefoto pas aku lagi nyeruput mie gini sih?
Aku teringat kembali obrolan siang tadi di restoran. Om Lino sempat bilang, “Tadi saya bertemu Hans. Dia bilang, kenapa saya tidak pernah memposting foto kamu seperti pasangan-pasangan pada umumnya. Jadi, boleh saya memposting foto kamu agar dia tidak banyak tanya lagi?”
Dan aku, dengan bodohnya, malah mengiayakan tanpa pikir panjang, bahkan lupa kalau Ayyara juga salah satu followers-nya Om Lino!
Mampus! Sekarang aku harus gimana?!