aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sebuah kejutan
Di ruang kepala sekolah
Alda mulai mengutarakan niatnya di depan kepala sekolah untuk izin cuti mendadak karena pernikahannya yang terjadi begitu cepat. Kepala sekolah, meskipun terkejut, akhirnya menyetujuinya dengan harapan Alda bisa segera kembali untuk melanjutkan tugasnya.
"saya harap kamu bisa segera menyelesaikan urusan pribadimu, Alda. jangan khawatir, pekerjaan ini bisa ditunda," kata Kepala sekolah dengan nada bijak.
"terimakasih pak, saya usahakan untuk lekas kembali mengemban tugas saya disini" Alda bangkit dan sedikit membungkuk kan tubuh nya
"sampaikan salam ku pada suami mu"
"baik pak, saya permisi"
setelah menerima surat izin cutinya, Alda meninggalkan ruang Kepala sekolah dan berjalan ke arah ruang guru.
dengan langkah pelan, Alda menuju mejanya. di sana, seperti biasa, suasana masih sibuk dengan kegiatan para guru yang sedang mempersiapkan materi untuk minggu depan.
perlahan Alda duduk di tempat nya, mencoba menenangkan diri sejenak. ketika teman-temannya mulai berkumpul, Alda menarik napas dalam-dalam dan mulai membuka pembicaraan.
"selamat pagi, semuanya," ucap Alda dengan suara yang tenang namun jelas, sambil meletakkan surat izin itu di atas meja.
beberapa guru yang duduk di sekitar meja menoleh dan membalas sapaan Alda. Bu Ratih, guru senior yang paling dekat dengannya dan kebetulan juga duduk disamping Alda, kini dia tersenyum lebar. "selamat pagi, Alda. apa kabar? 1 hari kemarin kamu kemana Al?, kok Ibu tidak melihat kamu? yang lain juga sama tidak tau kemana kamu perginya,"
"saya baik-baik saja buk, saya berhalangan hadir karena baru saja kembali dari acara yang cukup mendadak, dan hari ini saya datang untuk meminta izin cuti kepada kepala sekolah" jawab Alda dengan anggun, kemudian menundukkan kepala sedikit.
Ibu Ratih mengangkat alis, penasaran. "cuti mendadak? apa yang terjadi, Alda? kamu sakit?" suara Bu Ratih terlihat khawatir
Alda menghela napas ringan, mencoba menjaga ketenangan. "tidak Bu Ratih, saya akan mengambil cuti untuk mengurus administrasi pernikahan dan beberapa urusan pribadi. saya berharap dapat segera kembali mengajar setelah semuanya selesai."
suasana di ruangan itu langsung berubah hening selama beberapa detik, sebelum akhirnya pecah oleh reaksi kaget para guru.
"menikah?!" Bu Ratih hampir menjatuhkan buku di tangannya.
"serius, Alda? kok nggak ada kabar apa-apa sebelumnya?" Pak Arman, salah satu guru matematika di sekolah ini, menatap Alda dengan mata membelalak.
"baru kemarin kamu masih cerita soal rencana ngajarin drama ke anak-anak, eh tahu-tahu nikah? gimana ceritanya?" timpal Bu Siska, guru Biologi, yang duduk di sudut ruangan.
Alda tersenyum canggung, merasa malu menjadi pusat perhatian. "maaf kalau saya tidak sempat memberi tahu sebelumnya. pernikahannya memang sangat mendadak, jadi saya juga belum sempat mempersiapkan banyak hal."
"mendadak? kamu nggak dijodohin kan?" tanya Pak Arman dengan nada setengah bercanda, tapi matanya penuh rasa ingin tahu.
Alda menggeleng. "bukan begitu, Pak. hanya saja, keadaannya memang tidak seperti rencana awal."
"Alda, ini serius? Aku bahkan nggak lihat kamu kasih kode di media sosial atau apa," ujar Bu Siska dengan nada heran.
"betul, Bu. saya serius. ini bukti cincin pernikahan kami" jawab Alda dengan sopan seraya menunjukan jari manisnya yang sudah tersemat cincin berwarna silver. "saya paham ini mengejutkan, tapi saya harap kalian bisa mengerti,"
mendengar jawaban itu, semua guru akhirnya mulai menerima kenyataan meski wajah mereka masih menyiratkan rasa tak percaya.
"ya sudah, kalau begitu selamat ya, Alda," kata Bu Ratih dengan senyum tulus. "tapi, lain kali, kalau ada acara besar seperti ini, jangan lupa kasih tahu lebih awal, biar kami bisa ikut bahagia bareng."
"iya, Bu. maafkan saya," jawab Alda sambil tersenyum kecil.
"aku penasaran banget, Alda. Siapa suaminya? Guru di sini juga, atau orang di luar sekolah?" Bu Siska bertanya lagi dengan semangat.
Alda tersenyum kaku. "orang luar, Bu. bukan dari sini. rapi... nanti mungkin saya akan kenalkan kalau ada kesempatan."
Pak Arman menepuk meja sambil tertawa. "wah, berarti misterius dong ya! aduh, jadi makin penasaran. jangan lupa traktir, lho!"
"iya, pak, pasti," jawab Alda, meski dalam hati dia tahu situasinya tidak sesederhana itu.
"pokoknya jangan lupa bawa kabar baik, ya, setelah cuti. dan jangan buru-buru punya anak, lho, Alda," gurau Pak Arman, yang langsung disambut tawa dari guru-guru lainnya.
Alda hanya tersenyum sambil menunduk malu. meski semuanya berjalan lancar, dia tahu ini hanyalah permulaan dari tantangan yang lebih besar di depannya.
Alda pun berpamitan satu per satu. "terima kasih semuanya, sudah mengerti dan memaklumi keadaan ini, semoga setelah saya kembali, bisa lebih banyak waktu ngobrol lagi, saya permisi dulu" ucap Alda begitu sopan dan mulai beranjak dari kursinya.
tapi saat Alda berbalik untuk menuju pintu, dia terhenti ketika melihat seorang pria yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang tidak bisa ia tafsirkan. pria itu adalah RENDRA, salah satu guru bahasa Inggris di sekolah mereka.
"oh, jadi kamu akan keluar untuk beberapa waktu?" katanya, menatap Alda tanpa emosi. "hmm... saya pikir, menikah itu bukan hanya soal cuti."
semua orang terdiam sejenak, terkejut dengan nada Rendra yang tidak biasa. Alda yang tidak terlalu peka terhadap perubahan ini hanya tersenyum kecil dan mengangguk. "saya paham, Rendra. ini memang keputusan yang mendadak, dan saya akan segera kembali setelah urusan saya selesai."
"apa kamu tidak merasa aneh? tiba-tiba ada kabar seperti ini, aku... aku kira..." Rendra memulai kalimatnya, namun suaranya terdengar tersekat.
Alda bisa merasakan ketegangan yang muncul di antara mereka. dia merasa tidak nyaman dengan percakapan ini, tapi dia tahu harus menjelaskan.
"Rendra, saya tahu ini pasti mengejutkan. tapi saya harap kamu mengerti, pernikahan ini bukan karena saya ingin mengecewakan siapa pun. ini adalah keputusan yang diambil dengan alasan yang cukup pribadi," jawab Alda, berusaha menjaga jarak emosional agar tidak terbawa perasaan.
"aku mengerti, Alda. tapi aku harus jujur... aku agak sulit menerima ini," kata Rendra, matanya sedikit menunduk.
Alda menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit bersalah meskipun dia tahu dia tidak berhutang apa pun pada Rendra. "Rendra, kamu adalah teman yang baik, saya menghargai itu, tapi saya juga harus mengikuti jalanku sendiri. ini bukan sesuatu yang bisa diubah."
Rendra tersenyum pahit. "aku tahu. aku hanya... aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku selalu menyukai kamu."
Alda merasa canggung mendengar pengakuan itu. dia tidak pernah menyangka Rendra menyimpan perasaan padanya, dan kini saat mendengar itu, Alda merasa sedikit terhimpit. "Rendra, aku... aku tidak tahu harus berkata apa. aku minta maaf kalau kamu merasa terluka."
Rendra mengangguk pelan, mencoba menerima kenyataan. "tidak apa-apa, Alda. aku hanya berharap kamu bahagia."
Alda menundukkan kepala, merasa tak enak karena situasi yang tercipta. "terima kasih, Rendra. aku harap kamu juga bahagia."
akhirnya Alda benar-benar melangkah untuk meninggalkan ruang guru ini.
Alda melangkah keluar dari gedung sekolah dengan perasaan campur aduk. setelah percakapan yang intens di ruang guru, dia merasa lega telah menyampaikan semuanya, tapi rasa canggung dengan Rendra masih terasa membekas di pikirannya.
dari kejauhan, Alda melihat Rama berdiri di dekat mobil, saat Alda mendekat, Rama tersenyum tipis, mencoba membaca ekspresi di wajah gadis itu.
"sudah selesai?" tanya Rama sambil menunjukan senyum sekilas.
Alda mengangguk pelan. "sudah. tadi saya juga sempat pamit ke teman-teman di ruang guru."
Rama membuka pintu mobil untuk Alda. "bagaimana? semua berjalan lancar?"
Alda tersenyum kecil, meskipun dia merasa sedikit lelah. "ya, meski ada beberapa hal yang... tidak terduga."
Rama menaikkan alis, jelas penasaran. "tidak terduga seperti apa?"
Alda menggeleng pelan, memilih untuk tidak membahas soal Rendra. "bukan hal besar. hanya saja, mereka semua terkejut karena pernikahan ini mendadak. tapi mereka menerima alasan ku."
Rama mengangguk, tidak ingin memaksa Alda untuk bercerita lebih jauh. dia tahu, keputusan mereka menikah memang tidak mudah bagi Alda, yang harus menghadapi banyak pertanyaan dari lingkungan kerjanya.
"kalau begitu, kita pulang sekarang?" tanya Rama sambil menutup pintu mobil setelah Alda masuk.
"ya, saya butuh istirahat. hari ini cukup melelahkan," jawab Alda sambil menghela napas.
Rama masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. saat mereka meninggalkan halaman sekolah, Alda memandang keluar jendela, mencoba melupakan momen yang membuatnya merasa sedikit terbebani tadi.
setelah beberapa saat hening, Alda akhirnya memberanikan diri untuk bicara. "Rama,," panggilnya dengan nada tenang.
Rama melirik sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. "ya, ada apa?"
Alda menggigit bibir bawahnya, seolah sedang berpikir keras. "menurut kamu... jika ada laki-laki yang menyukai istri orang lain, itu gimana? maksudku, menurutmu apa yang seharusnya dilakukan?"
Rama mengerutkan alis, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "hmm... pertanyaan yang menarik," jawabnya, mencoba memproses maksud di balik pertanyaan alda. "kalau menurutku, laki-laki itu harus tahu batas. apalagi kalau dia tahu perempuan itu sudah menikah, dia seharusnya menghormati."
Alda mengangguk pelan, tetapi tidak langsung menanggapi.
kemudian Rama meliriknya lagi. "kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu? apa kamu dengar cerita dari teman kamu di sekolah?" tanyanya, berusaha menghubungkan pertanyaan Alda dengan sesuatu yang masuk akal.
Alda tersenyum tipis, mencoba terlihat santai. "iya, tadi di ruang guru ada salah satu teman menceritakan hal itu. lalu aku penasaran, kenapa itu bisa terjadi?"
Rama mengangguk kecil, terlihat memikirkan jawaban yang tepat. "kadang, perasaan itu datang tanpa diminta, Alda. tapi yang membedakan adalah bagaimana orang itu bertindak setelahnya."
Alda menatap Rama dengan pandangan lembut. "menurutmu, apa perempuan itu harus menjauh sepenuhnya dari laki-laki itu, meskipun mereka kenal baik sebelumnya?"
Rama menarik napas panjang, mencoba memberi jawaban yang seimbang. "kalau aku jadi perempuan itu, mungkin aku akan menjaga jarak. tapi bukan berarti memutus hubungan sepenuhnya, namun tetap harus ada batasan yang jelas"
Alda mengangguk kecil, merasa lega dengan jawaban Rama. "kamu benar. aku juga bilang begitu tadi ke teman-teman di sekolah."
Rama tersenyum tipis, menoleh ke arah Alda sebentar. "intinya, menjaga batasan itu penting. lagipula, laki-laki yang baik tidak akan menyukai istri orang lain."
Alda tersenyum kecil, meskipun ada sedikit rasa bersalah yang ia tahan. setidaknya ia lega karena Rama tidak mencurigai apa pun. "terimakasih, Rama. jawaban dari mu membuatku yakin" ujar Alda sambil tersenyum.
"yakin soal apa?" Rama menoleh sebentar kearah Alda.
"soal prinsip hidup yang baik," jawab Alda sambil tersenyum lebar, mencoba menutup pembicaraan dengan nada ringan.
akhirnya percakapan pun terhenti, dan suasana dalam mobil kembali tenang. meski begitu, Alda tahu, di dalam hatinya, masih ada banyak hal yang belum sepenuhnya selesai ia pikirkan.