NovelToon NovelToon
LOVE ISN'T LIKE A JOKE

LOVE ISN'T LIKE A JOKE

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:832
Nilai: 5
Nama Author: Yhunie Arthi

Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.

Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.

Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.

Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20. BERTANYA

...“Saat hatiku terjatuh semakin dalam....

...Seperti orang bodoh,...

...kutunggu kau mengulurkan tanganmu....

...Hingga aku sadar kalau aku sudah terjatuh,...

...Di tempat yang tidak seharusnya....

...Di tempat yang kau buat hanya untukku....

...Tempat dimana tidak ada kau di dalamnya.”...

Begitu sampai di tempat yang telah dijanjikan—sebuah restoran bintang lima—dengan ruang privasi yang hanya diisi oleh orang-orang yang bersangkutan, rasa gugup menggerayangiku. Rasanya aku seperti berada di salah satu Drama Korea kesukaanku, berada di antara para orang-orang penting dalam ruangan yang di pesan khusus dan jauh dari kata bising. Aku baru tahu kalau dunia bisnis ternyata tidak main-main, dan hal seperti ini pun ada di negaraku yang kukira tertinggal oleh negara lain. Kutarik kembali ucapanku itu.

Bos Juna mengurus semuanya dengan para investor, sedangkan aku tidak banyak melakukan hal berarti. Hanya menyiapkan berkas yang akan digunakan oleh Bos Juna sebagai media pembuktian akan pendapatan dan juga tingkat penjualan selama sebulan dalam laporan yang disampaikan.

Kurasa aku mengerti kenapa Bos Juna bisa berada di jabatan penting dalam Queen Magazine di usianya yang masih dibilang muda. Caranya bicara dan tata bahasa yang ia gunakan benar-benar sempurna dan tanpa celah, tidak terlihat ada kegugupan di wajahnya saat ia bicara. Senyum terus terpasang, berbagai kalimat dalam argumennya tidak bisa dibilang sembarangan. Aku benar-benar merasa bukan siapa-siapa jika melihat bagaimana Bos Juna sebenarnya. Ia terlihat seperti orang asing di mataku saat ini, tidak nampak seperti orang yang sering mengantarku nyaris tiap malam setelah pulang bekerja. Dan itu membuatku sedikit canggung, seolah kami berada di dunia yang berbeda.

Seperti dugaanku, para investor tersebut menanggapi laporan dan juga keuntungan yang mereka dapat dengan senang hati. Di akhir pertemuan mereka semua berharap bisa bekerja sama lebih jauh lagi dengan Bos Juna, isyarat kalau-kalau mereka menginginkan Bos Juna di perusahaan mereka. Harta karun seperti itu sudah pasti akan menjadi rebutan banyak orang, kan. Tidak diragukan lagi.

“Ada apa? Apa kamu masih sakit?” tanya Bos Juna ketika tak ada lagi orang di ruangan besar yang sebelumnya penuh akan argumen yang tidak sepenuhnya kumengerti.

“Eh?” Rasanya aku terlalu tenggelam akan pikiranku. “Nggak, saya udah sehat sepenuhnya. Memangnya kenapa, Mas?” tanyaku.

“Dari tadi Mas perhatiin kamu diem aja, apa ada yang ganggu pikiran kamu?” tanyanya lagi, pandangannya semakin lekat seolah mencoba mencari jawaban dalam mataku.

“Ng-nggak juga,” jawabku ragu.

Bos Juna yang memang duduk di sampingku selama pertemuan, kini semakin mendekatkan dirinya ke arahku ketika mendengar nada meragukan dari suaraku barusan. Pandangannya serius, namun tetap terlihat lembut.

“Mas yakin kalau ada yang nggak beres. Dari pagi tadi kamu keliatan gelisah. Kalau ada masalah kasih tahu aja, siapa tahu Mas bisa bantu,” katanya.

Sebenarnya aku memang ingin menanyakan sesuatu kepadanya, hal yang sudah dua hari kupikirkan dan berusaha keras agar aku tidak sampai meneleponnya hanya untuk menanyakan hal yang takut untuk kutanyakan.

Haruskah kutanyakan?

Haruskah kutunjukan foto yang kutemukan di mejanya?

“Bilang aja, kalau bisa Mas bantu pasti bakal Mas bantu,” katanya lagi. Terus meyakinkanku agar aku mengatakan apa yang mengganjal pikiranku.

Terkadang aku merutuk diriku sendiri karena terlalu mudah dibaca orang lain jika sedang memikirkan sesuatu, sehingga sulit untukku mengatakan kalau tidak ada masalah.

Kutengguk ludahku, menarik napas dalam-dalam dan kurogoh tasku.

Kukeluarkan dua lembar foto yang menjadi bahan pikiran dan ketidaktenanganku, kemudian menunjukannya pada Bos Juna.

Terlihat jelas sekali kalau ekspresi wajah Bos Juna berubah drastis ketika ia melihat foto-foto yang ada di tanganku. Rahangnya mengeras, matanya memandang tajam, dahinya berkerut dalam menatap foto-foto itu. Bahkan ekspresinya tidak berubah saat pandangannya beralih kepadaku. Tidak ada lagi tatapan lembut yang sebelumnya kulihat, seakan ekspresinya tadi tidak pernah ada dan tidak pernah kulihat.

“Kamu dapet foto ini darimana?” tanyanya dengan nada amat sangat berbeda dari yang biasa ia keluarkan ketika bicara denganku, seolah Bos Juna dihadapanku ini bukan orang yang sama dengan yang kukenal. Dan jelas sekali kalau ia tahu tentang foto ini.

“Saya nggak sengaja ngeliatnya di meja Mas. Saya penasaran kenapa foto ini ada di meja Mas, karena itu saya ambil dan mau saya tanyakan sama Mas,” jawabku jujur. Jujur aku merasa takut sekarang dengan aura yang dikeluarkan oleh Bos Juna. “Kenapa foto saya ada di meja Mas Juna?” tanyaku akhirnya setelah dua hari kutahan.

“Sudah jelas kalau saya perlu tahu tentang karyawan saya, latar belakangnya dan bagaimana sikapnya,” jawab Bos Juna yang membuatku terkejut—ia menggunakan bahasa formal untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

Alisku bertaut, ada rasa tidak percaya dengan ucapan yang dilontarkan oleh Bos Juna. Ia berbohong. “Mas bohong.”

“Bohong? Atas dasar apa?” tuntutnya.

“Menyelidiki latar belakang karyawan memang sudah sering saya dengar khususnya untuk perusahaan besar. Tapi, foto ini diambil jauh sebelum saya melamar kerja. Foto ini diambil pas saya masih kuliah bahkan sebelum saya menulis skripsi atau memikirkan akan bekerja di Queen. Dan saya nggak pernah mengambil foto di saat-saat ini atau saya posting di media sosial pun tidak pernah, jadi nggak mungkin Mas dapetin foto ini bahkan jika Mas Juna menyewa seorang hacker sekalipun,” jelasku serinci mungkin. Karena ketidakmungkinan itulah yang menjadi alasan aku berpikir selama dua hari ini.

Bisa kulihat rahangnya mengeras, seolah apa yang kukatakan tepat sasaran dan sulit untuk dielak.

“Siapa Mas Juna sebenarnya? Kenapa Mas Juna punya foto ini, padahal kita belum saling kenal saat itu. Darimana Mas dapet foto-foto ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa Mas mengikuti saya sejak lama? Atau Mas nemuin foto ini di meja kerja saya?” tanyaku yang terkesan semakin menyudutkan hingga bertanya di luar nalar.

“Saya rasa saya nggak ingin jawab,” tukasnya.

“Apa? Mas Juna?! Jangan bercanda!” seruku kesal ketika mendengar jawabannya.

“Di dunia ini ada banyak hal yang tidak terjawab, ada banyak yang seharusnya tidak terjadi tapi terjadi. Jika ingin menghakimi saya kerena foto itu, silahkan saja," katanya acuh.

“Silahkan apa? Saya serius tanya ini.”

“Jika kamu memang penasaran, kamu cari tahu sendiri. Saya nggak ingin menjelaskannya,” katanya yang kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan.

Lihatlah, mana mungkin hal itu bisa membersihkan pikiranku. Padahal ia sendiri yang mengatakan kalau ia akan membantuku jika aku memberitahunya masalah yang kuhadapi, tapi kenapa ia justru marah dan membuatku semakin pusing dengan tingkahnya yang tidak kumengerti. Apakah ia memiliki pribadi ganda?

Aku mencoba mengejarnya, menyuruhnya untuk berhenti. Namun, ia terus melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.

Hingga akhirnya ia meninggalkanku seorang diri di depan restoran sedangkan dirinya pergi dengan mobil hitam mewahnya.

Ada apa dengannya? Kenapa ia bersikap tidak masuk akal seperti ini?

Sial! Sial! Sial!

Dadaku rasanya sakit, ada sesuatu yang seperti menggumpal dan menyesakan. Mataku tidak lepas memandang kepergian Bos Juna seperti itu, memberikan seribu pertanyaan tanpa menjawab satu pertanyaan dariku.

Aku tidak suka perasaan ini, perasaan tidak nyaman yang membuatku ingin marah. Bukan ini yang kuharapkan, bukan amarah darinya yang kuinginkan. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa setelah ini. Haruskah aku kembali ke kantor karena jam kerjaku masih panjang mengingat jam masih menunjukkan jam makan siang, atau aku memilih pulang ke rumah? Aku bahkan baru sadar kalau aku tidak tahu jalan pulang ataupun jalan menuju kantor, ini pertama kalinya aku mendatangi wilayah ini.

“Ayuni?”

Mendengar namaku dipanggil, spontan aku menoleh ke sumber suara.

“Mbak Hana?” Aku tidak menyangka kalau aku akan bertemu dengannya di tempat seperti ini. “Mbak kok ada di sini?” tanyaku.

“Mbak ada urusan sama temen Mbak di sini. Kamu sendiri ngapain di sini, ini jauh dari rumah loh?” Sirat penasaran terpancar jelas di matanya, khawatir kalau-kalau aku tersesat kurasa.

“Saya ada urusan kerja tadi, cuma ... bos saya kayaknya marah dan ninggalin saya,” kataku jujur—walau tidak detail.

“Jadi, Juna bos kamu kerja?” tanyanya yang benar-benar mengejutkanku setengah mati.

Mbak Hana kenal Bos Juna? batinku.

“Mbak Hana kenal Bos Juna?”

“Tentu aja Mbak kenal, orang dia adiknya Jodi temen Mbak sama kakakmu dulu. Pantesan tadi Mbak liat Juna keliatan marah, berantem sama kamu toh,” nilainya akan kejadian yang tidak sengaja ia lihat.

Adik teman Kak Indra? Artinya Bos Juna kenal dengan kakakku?

“Mbak mau sekalian pulang, kamu bareng Mbak aja, ya,” tawarnya.

Mengingat aku tidak tahu berada dimana, dan harus kemana, mau tidak mau aku mengangguk setuju atas tawaran baik yang diberikan oleh Mbak Hana. Setidaknya Tuhan masih menyayangiku dengan tidak membuatku tersesat dan kesulitan mencari arah pulang.

Namun, ada satu hal yang bisa kusimpulkan saat bertemu dengan Mbak Hana.

Kak Indra pasti ada hubungannya dengan Bos Juna.

1
aca
lanjut donk
Yhunie Arthi: update jam 8 malam ya kak 🥰
total 1 replies
aca
lanjut
Marwa Cell
lanjut tor semangatt 💪
Lindy Studíøs
Sudah berapa lama nih thor? Aku rindu sama ceritanya
Yhunie Arthi: Baru up dua hari ini kok, up tiap malam nanti ☺️
total 1 replies
vee
Sumpah keren banget, saya udah nungguin update tiap harinya!
zucarita salada 💖
Akhirnya nemu juga cerita indonesianya yang keren kayak gini! 🤘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!