Figo derlangga tidak pernah tertarik dengan wanita manapun, laki laki itu hanya tertarik dengan James, asisten laki laki pribadinya.
Keadaan seketika berubah drastis ketika Figo bertemu dengan maid baru dirumah miliknya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xxkntng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. gila
08.30
John membuka pintu kamar Figo, tapi ruangan itu kosong. Ia mengerutkan kening, sedikit bingung. Figo jarang meninggalkan kamarnya sepagi ini. Setelah memastikan, ia menutup pintu perlahan dan turun ke lantai bawah.
"Kenapa kau terburu-buru begitu?" tanya Mona dengan nada penasaran.
"Apakah kau melihat Figo pagi ini?" tanya John.
Mona menggeleng. "Tidak. Bukankah dia biasanya masih tidur pagi-pagi begini?"
"Kamarnya kosong," sahut John pendek, nada suaranya mulai cemas.
Mona hanya mengangkat bahu santai. "Mungkin dia ke kantor lebih awal."
John menarik napas panjang. "Aku akan mencarinya," ucapnya sebelum melangkah keluar.
Di halaman depan, John mendekati para penjaga. "Pagi. Apa kalian melihat Tuan Figo tadi malam atau pagi ini?" tanyanya.
Salah satu penjaga mengangguk. "Tadi malam sekitar jam dua. Tuan Figo keluar rumah tanpa bicara apa-apa. Saya sempat bertanya, tapi tuan tidak menjawab."
"Jam dua pagi?" gumam John pelan. Ia berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk pergi mencarinya. "Buka gerbang," pintanya sambil masuk ke mobil.
Dalam perjalanan, ponselnya berbunyi. Ada telfon masuk dari nomor Figo.
Halo.
Kau siapa? Kenapa ponsel Tuan ada di tanganmu?
Datanglah ke bar dekat Ziwalk. Tuan Figo ada di sini.
Apa yang terjadi?
Dia terlalu banyak minum. Bisakah kau menjemputnya? Bar ini akan tutup.
John langsung mempercepat mobilnya.
Sesampainya di bar, ia memasuki ruangan yang remang-remang dengan lampu disko yang masih menyala samar. Seorang wanita menyapanya.
"Anda mencari seseorang?"
"Figo. Di mana dia?"
Wanita itu mengangguk dan memimpin John ke ruang VIP. Di sana, Figo terbaring di sofa, botol-botol minuman berserakan di sekitarnya.
John menghela napas panjang, lalu menepuk pipi Figo pelan. "Bangun!" panggilnya tegas.
Figo bergumam lemah, "Shearen..."
"Dia terus menyebut nama itu sejak tadi malam," jelas wanita di sebelah John.
John memapah Figo keluar dengan susah payah. Dalam perjalanan pulang, ia mengomel. "Satu malam tanpa Shearen, dan kau sudah kacau begini? Konyol.".
-
10.00
Axel duduk di sofa ruang tamu, matanya tak henti-hentinya melirik pintu kamar di seberang. Sudah lewat jam 10 pagi, tetapi Shearen belum juga keluar.
Ia menghela napas panjang, perasaan khawatir mulai menguasai pikirannya. Akhirnya, Axel berdiri dan memberanikan diri mengetuk pintu kamar Shearen.
"Shearen?" panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban. Axel mengetuk sekali lagi, kali ini lebih keras. Tetap saja, sunyi. Ia merasa panik. Dengan ragu, ia memutar gagang pintu dan mendapati pintu tidak terkunci.
Saat masuk, kamar itu masih gelap. Gorden jendela tertutup rapat, dan Shearen terbaring di atas ranjang, tubuhnya tertutup selimut.
Axel mendekati jendela, menarik gorden hingga sinar matahari menyeruak masuk ke dalam ruangan.
Shearen menggeliat, kemudian membuka matanya perlahan. Wajahnya terlihat lelah, dan nada suaranya serak saat ia bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Kau tidak apa-apa? Kau terlihat sakit," Axel menjawab sambil mendekatinya.
"Tidak ada yang salah denganku. Keluar dari kamar ini," ucap Shearen pelan, suaranya terdengar lemah.
Axel mengabaikan permintaannya. Ia menempelkan punggung tangannya ke kening Shearen, memeriksa suhu tubuh wanita itu.
"Kau demam," ucapnya dengan nada tegas. "Kau harus makan. Dari semalam kau belum makan, bukan? Aku sudah membeli makanan untukmu."
"Aku tidak lapar," jawab Shearen datar, memalingkan wajahnya ke arah lain.
Axel memandangnya penuh perhatian. "Kau pucat," ujarnya lagi, rasa khawatirnya semakin besar.
Tiba-tiba, Shearen menutup mulutnya dengan tangan dan berlari ke kamar mandi. Axel segera mengikuti.
Di depan wastafel, Shearen memuntahkan cairan bening. Axel berdiri di belakangnya, tangannya dengan lembut memijat tengkuk Shearen untuk membantunya merasa lebih nyaman.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya lembut.
"Menjauhlah," ucap Shearen lemah sambil mendorong bahunya.
Namun, Axel tetap di tempat. "Perutmu kosong. Kau harus makan. Kalau tidak, tubuhmu akan semakin lemah," desaknya dengan nada serius.
Shearen berbalik, menatap Axel dengan tatapan tajam. "Kenapa kau begitu peduli? Aku bukan siapa-siapamu. Jangan sok perhatian," ucapnya dingin.
Axel menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Kau memang bukan siapa-siapaku, Shearen. Tapi kau manusia. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh sakit seperti ini."
Shearen tidak menjawab, hanya menundukkan kepala.
"Aku akan memanggil dokter," ujar Axel, mengeluarkan ponselnya.
"Jangan!" potong Shearen cepat. "Aku hanya masuk angin. Kau terlalu berlebihan."
Axel menurunkan ponselnya perlahan. "Kalau begitu, setidaknya makanlah. Itu bukan permintaan, tapi keharusan."
Shearen mendesah, menyerah pada desakan Axel. "Baiklah. Aku akan makan di dapur."
Axel tersenyum tipis. "Aku akan menemanimu."
"Tidak perlu," balas Shearen datar. "Aku bisa berjalan sendiri."
Axel mengangkat bahu. "Baiklah, aku akan menunggu di sana."
Ia berbalik dan keluar dari kamar, memberikan Shearen ruang untuk menenangkan diri. Meski begitu, pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran.
