"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: Sekolah
Setelah menerima telepon dari pihak sekolah tempat Yoora belajar, Seonho segera meninggalkan bar dengan langkah cepat, hatinya dipenuhi kemarahan dan frustrasi. Dia merasa jengkel mendengar bahwa Yoora, sekali lagi, terlibat dalam masalah. Dia tak ingin berpikir tentang apa yang mungkin telah dilakukannya kali ini, tetapi satu hal yang pasti dia merasa kesal dengan sikap sembrono adiknya.
Mobil Seonho melaju cepat di jalanan, pikirannya dipenuhi dengan gambaran tentang apa yang mungkin terjadi pada Yoora. Setelah beberapa saat yang terasa tak berujung, akhirnya dia sampai di sekolah Lee Yoora. Begitu mobilnya berhenti, Seonho melangkah keluar dengan penuh percaya diri, langsung menarik perhatian banyak siswa, terutama para siswi yang tak bisa menahan tatapan mereka. Penampilannya yang rapi dan menawan, dengan jas hitam yang pas di badan, membuatnya tampak seperti sosok yang tidak bisa disentuh.
Dengan langkah tegas, Seonho berjalan menuju ruang guru, mengabaikan tatapan ingin tahu dari siswa-siswa lain. Pikirannya dipenuhi dengan rasa kesal terhadap Yoora. Dia merasa bahwa adiknya itu terus-menerus membawa masalah dan mencoreng nama baik keluarganya.
Setibanya di depan ruang guru, dia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Begitu memasuki ruangan, Seonho mendapati beberapa guru berkumpul, tampak serius membicarakan sesuatu. Suara bisikan mereka langsung terhenti saat Seonho muncul, menciptakan suasana yang canggung.
"Permisi..." Ujar Seonho saat tiba di depan ruang guru, membuka pintu dengan sedikit kasar. Dia segera melihat Yoora duduk di sudut ruangan, wajahnya terlihat cemas.
"Silakan masuk, Anda wali dari Lee Yoora?" Tanya seorang guru yang duduk di depan meja, mengamati Seonho dengan serius. Seonho hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun, matanya tetap terfokus pada Yoora.
"Apa yang terjadi sebenarnya? " Tanya Seonho sembari menatap sekilas wajah yoora yang kini hanya menunduk. Salah satu guru, dengan wajah tampak lelah, ber-dehem sebelum menjelaskan.
"Tuan Seonho, kami sangat menyesal harus memberitahukan Anda tentang insiden ini. Yoora dituduh melakukan pencurian di sekolah dan pembullyan di sekolah" ujar nya lagi . Darah Seonho seakan mendidih mendengar ucapan tersebut.
"Curi? Dia mencuri dan merundung murid lain ? " Tanya Seonho, suaranya tegas saat dia duduk di samping Yoora. Dia berusaha menjaga nada bicaranya agar tidak menunjukkan kekesalannya, tetapi nada dingin itu tetap tidak bisa dihindari.
"Itu benar, Tuan. Ada tiga siswa yang dia rundung, dan seorang pemilik kantin yang telah dirugikan berkali-kali karena dia mengambil uangnya," jawab sang guru, wajahnya tampak lelah tetapi tegas. Dia merasa berat untuk mengungkapkan berita buruk ini, tetapi itu adalah tanggung jawabnya.
Seonho merasa kepalanya berdenyut, tidak bisa menahan emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Di satu sisi, ada perasaan marah, dan di sisi lain dia malu.
"Keterlaluan, apakah aku menyuruh mu sekolah agar kau menjadi seorang berandalan seperti ini " bentaknya, suara tegasnya memantul di ruangan, menciptakan suasana yang semakin tegang.
"Aku tidak melakukan itu!. Tolong, percayalah padaku.." Ucap Yoora dengan nada lirih, suaranya hampir tak terdengar. Dia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya selanjutnya, dan rasa takut menyelimuti hatinya
"Semua bukti mengarah padamu. Berhentilah berbohong dan katakanlah yang sejujurnya di hadapan keluargamu!" Suara keras pemilik kantin terdengar dari pintu, sosoknya yang besar dan garang tampak mengancam saat dia masuk tanpa permisi. Wajahnya merah, jelas marah dengan situasi yang terjadi.
" Kau sudah membuat masalah besar, Yoora. Ini sudah lebih dari sekadar kesalahan kecil. Apa yang harus aku katakan kepada yang lain nya nanti ?" tanyanya dengan nada kesal .
" Aku sungguh tidak melakukan nya oppa, aku di fitnah mereka semua memfitnah ku " lirih yoora yang berharap jika Seonho akan mendengar penjelasan nya .
Seonho merasa tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama di tempat itu. Seonho tidak peduli dengan masalah yang dihadapi Yoora; yang dia tahu hanyalah dia ingin mengekspresikan ketidaksukaannya pada adiknya yang selalu merepotkannya. Dia bersumpah akan menyelesaikan masalah ini dengan cara yang membuatnya merasa lebih baik.
"Saya akan mengganti semua kerugiannya, dan untuk semua siswa yang mengalami perundungan dari dia, biaya pengobatan juga bisa ditanggung oleh saya," ujar Seonho dengan tegas, matanya berkilat penuh determinasi. Dia ingin segera membawa Yoora pulang agar bisa memberinya pelajaran yang layak.
"Seharusnya Anda mendidik dia dengan baik, Tuan. Bagaimana bisa seorang wanita yang terlihat polos seperti ini memiliki otak kriminal?" sergah sang pemilik kantin dengan nada menghina, wajahnya merah padam menahan kemarahan. Seonho mengabaikan provokasi tersebut, menahan napas untuk tidak terpancing emosi.
"Berapa nominalnya?" tanyanya langsung, suaranya tetap tenang meskipun hatinya sedang mendidih.
"Anda sangat tidak beruntung memiliki orang seperti dia di keluarga Anda," ucap pemilik kantin sambil melipat tangannya, senyumnya menyiratkan kepuasan melihat Yoora terpojok.
"Katakan saja nomor rekening Anda berapa!?," Seonho menjawab dengan dingin, sama sekali tidak memperdulikan ucapan pemilik kantin itu. Dia hanya ingin menuntaskan masalah ini secepat mungkin.
"Baiklah... Tapi setelah ini, tolong didik keluarga Anda dengan baik, Tuan. Anda tahu perilakunya ini merugikan banyak orang di sekitarnya," sang pemilik kantin berkata sambil menatap Yoora dengan sinis, lalu pergi setelah Seonho mengirimkan uang ganti rugi sesuai dengan yang diminta.
"Kalau begitu, saya harus mengganti pada siapa tentang siswa yang mengalami perundungan dari dia?" tanya Seonho, suaranya datar, tanpa sedikitpun menunjukkan keinginan untuk membela adiknya. Dia sama sekali tidak berpikir untuk mencari bukti lain sebelum mempercayai tuduhan tersebut.
"Kami akan mengadakan rapat orang tua, Tuan. Anda bisa datang lagi setelah hari ini, dan kita akan bahas bagaimana baiknya," ujar sang guru dengan nada profesional, hanya mengangguk saat Seonho menyetujui.
"Memalukan," desis Seonho dengan suara rendah, menghela napas panjang sambil berusaha menahan kemarahan yang membara.
"Terima kasih sudah menyelesaikan semuanya dengan cepat, Tuan. Tapi tolong maafkan saya karena Yoora telah melakukan kesalahan yang tidak bisa ditoleransi lagi. Saya harus menskorsing nya untuk memberikan efek jera padanya. Apa yang telah dia lakukan kali ini bisa saja membuat nama sekolah kami tercoreng. Kami menghormati Anda, Tuan, oleh sebab itu kami tidak sampai mengeluarkannya dari sekolah," ujar sang guru lagi, menatap Seonho dengan penuh harap.
"Saya yang akan mendidiknya selama dia tidak masuk sekolah," ucap Seonho, nada suaranya tegas dan mantap. Namun, di dalam hati Yoora, ketakutan merayapi setiap sudut pikirannya. Rasa cemas menghimpit dadanya, membuatnya merasa terjebak dalam kegelapan yang tak berujung.
"Baiklah, Tuan. Sekali lagi, terima kasih atas pengertiannya. Saya harap Anda bisa memberikan penjelasan kepada Yoora Anda jika yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan," ujar sang guru dengan nada lembut, berusaha menasihati Seonho agar dia tidak menyakiti Yoora dalam situasi sulit ini.
"Saat di rumah, urusannya adalah saya. Saya akan pastikan semuanya," jawab Seonho, suaranya dingin dan tegas.
Hati Yoora berdebar kencang saat mendengar nada bersikeras dari kakaknya. Gambaran apa yang akan dilakukan Seonho padanya terus berputar dalam pikirannya, dan ia tak bisa menahan diri untuk terus menunduk, merasakan ketidakberdayaan yang semakin menggerogoti jiwanya.
Begitu Seonho mengakhiri pembicaraan, dia bangkit dan menarik tangan Yoora dengan kasar, mengabaikan kerumunan yang menyaksikan. Seonho berjalan setengah menyeret langkah Yoora, meninggalkan ruangan dengan aura menakutkan di sekelilingnya. Semua murid di koridor memandang dengan rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan, banyak yang membisikan komentar di antara mereka.
Di antara kerumunan itu, Rea hanya bisa berdiri mematung, menatap sahabatnya dengan rasa cemas yang mendalam. Raut wajah Yoora terlihat jelas, seolah dia adalah sosok yang tersesat di lautan ketidakpastian, dan Rea merasa tak berdaya melihat situasi itu. Keberanian untuk membantu sahabatnya lenyap seketika, tergantikan oleh rasa takut akan konsekuensi yang bisa mereka hadapi.
" Tuhan tolong lindungi sahabat ku, semoga kakak nya tidak melakukan apapun pada yoora " lirih Rea saat menatap yoora yang di seret oleh seonho untuk masuk ke dalam mobil nya.
••••
Setelah menempuh waktu beberapa lama, akhirnya Yoora dan Seonho sampai di kediaman mereka. Kedatangan mereka langsung menarik perhatian semua adik-adik Nya, terutama Jungsoo, yang terlihat heran melihat Seonho kembali setelah beberapa hari menghilang dan kini datang bersama Yoora. Apalagi, tindakan Seonho yang menyeret Yoora membuat suasana semakin tegang dan membuat semua orang di sekitarnya merasakan ketidaknyamanan.
"Hyung... Ada apa?" tanya Jungsoo dengan nada penasaran, matanya bergantian menatap Seonho dan Yoora, mencoba menangkap sinyal dari situasi yang tidak biasa ini.
"Kenapa kamu tidak berangkat kuliah?" Seonho mengalihkan pembicaraan, suaranya tegas namun penuh tekanan, seolah mencari cara untuk mengalihkan fokus dari Yoora.
"Aku masuk kelas siang, Hyung. Ada apa dengan dia?" Jungsoo bertanya lagi, tidak puas dengan jawaban singkat kakaknya.
"Jungsoo, biarkan Seon Hyung pergi," ujar Jihwan, kakak yang lebih tua, menyadari bahwa Seonho sedang berjuang menahan emosinya. Jihwan tahu betapa berbahayanya situasi ini dan lebih baik untuk tidak memperkeruh keadaan.
Mendengar pernyataan Jihwan, Jungsoo pun melepaskan genggaman tangannya di lengan Seonho. Setelah mendapat persetujuan dari Jungsoo, Seonho kembali menyeret Yoora mengikuti langkahnya, langkah yang penuh dominasi dan tekanan. Dia mengajak Yoora masuk ke kamar pribadinya, dan pintu dibanting dengan keras, seolah mengundang badai emosi yang tak terduga di dalam ruangan itu.
Di dalam kamar, suasana terasa tegang. Yoora menahan napas, berusaha tidak menunjukkan rasa ketakutannya, sementara Seonho berdiri dengan tegas, menatap adiknya seolah mempersiapkan sebuah peringatan yang tak bisa dihindari.
“Jelaskan padaku, kenapa kau mencuri dan merundung siswa lain di sekolah?” tanya Seonho, suaranya rendah namun mengandung ancaman yang tak terucapkan, seolah menyembunyikan badai emosi di dalam dirinya.
“Aku tidak melakukan semua itu, oppa! Aku mohon, percayalah padaku!” lirih Yoora, matanya berkaca-kaca memohon agar kakaknya memberi sedikit ruang untuk membela diri.
“Bodoh... kau pikir aku akan percaya?” Seonho menggeram, dan dalam sekejap, satu tamparan mendarat sempurna di pipi Yoora, membuat sang adik terhuyung ke belakang. Rasa sakit itu tidak hanya fisik, tetapi juga emosional.
“Kau tahu berapa uang yang aku habiskan untuk membereskan semua masalahmu? Baru kemarin kau menyebabkan perang dingin antara Jungsoo dan Namjin. Sekarang, apa lagi yang kau lakukan, huh?” tutur nya lagi.
“Aku tidak bermaksud membuat Namjin dan Jungsoo oppa bertengkar, oppa!” Yoora berusaha menjelaskan, suara gemetar penuh ketakutan.
“Alasanmu itu semua hanya omong kosong! Kau memang tidak bisa diberi hati, Yoora, Aku akan membuatmu sadar atas apa yang kau lakukan selama ini! ” bentak Seonho, suaranya meninggi, penuh kemarahan.
Ketegangan di ruangan semakin meningkat. Yoora, berusaha berdiri tegak meski wajahnya terasa panas, menatap kakaknya dengan mata penuh harapan.
" Sekali saja oppa, hanya sekali ... Tolong percaya padaku , aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu " ujar yoora sembari berlutut dihadapan sang Kakak, berharap seonho akan iba pada nya .
“Tidak ada tempat untuk kelemahan dalam hidup ini. Kamu harus belajar bahwa setiap tindakan yang kamu lakukan, memiliki konsekuensi yang harus kamu pertanggungjawabkan.” Seonho mendengus, tidak terpengaruh oleh penjelasan emosional adiknya.
Seonho menyeret tubuh Yoora menuju kamar mandi, langkahnya berat dengan kemarahan yang belum mereda. Suara teriakan dan rintihan penuh iba dari Yoora seolah tak terdengar oleh Seonho, yang sudah terbutakan oleh api amarahnya.
“ Aku akan membuat mu sadar atas apa yang telah kau lakukan " ujar Seonho.
" Oppa " rintih Yoora memohon.
••••
Jihwan dan Jungsoo menatap ke arah yang sama yaitu pintu kamar kakak tertua yang kini sudah tertutup rapat, kedua nya kembali duduk dan menunggu dengan sabar tentang semua rasa penasaran yang ada dalam benak mereka.
" Kira - kira apa yang yoora lakukan hingga Seon Hyung semarah itu padanya? " Tanya Jihwan bergumam pada dirinya sendiri.
" Bukankah dia selalu melakukan itu Hyung, memang kapan dia tidak membuat kita semua emosi ? " Tanya Jungsoo.
" Kamu benar, tapi melihat dari sorot mata Seon Hyung aku rasa kesalahan yang dia lakukan kali ini lebih besar dari yang aku bayangkan . Seon Hyung tidak pernah mengijinkan siapapun untuk masuk ke kamar nya tanpa izin, tapi kali ini dia sendiri yang mengajak yoora masuk , aku berharap dia tidak mati dengan cepat " ujar Jihwan yang di tanggapi kekehan oleh Jungsoo.
" Jika pun itu terjadi biarkan saja, apa hubungannya dengan kita toh mau dia ada ataupun tidak kehadiran nya tidak pernah di anggap oleh siapapun " jawab nya lagi dengan santai.
" Ada benarnya juga " ujar Jihwan sembari tersenyum menatap adiknya itu .
" Apa yang benar? " Tanya yongki yang baru saja tiba di rumah.
" Yongki Hyung sudah kembali ? " Tanya Jungsoo yang begitu antusias saat melihat kakak kedua nya itu pulang.
Pasalnya, Yongki termasuk orang yang jarang sekali diam di rumah. Dia terlalu fokus pada pekerjaannya hingga tak jarang dirinya tidak kembali ke rumah selama berminggu-minggu. Baginya, pekerjaan adalah hidupnya; bahkan saat ada waktu luang, pikirannya tetap tertuju pada proyek-proyek yang belum selesai. Sama halnya dengan Namjin dan Haesung, ketiga pria itu terkenal dengan pribadi yang gila kerja. Tak ayal jika gelar kesuksesan pantas untuk disandang oleh mereka bertiga.
“Iya, pekerjaanku baru saja selesai... Apa yang benar kalian terlihat bahagia?” tanya Yongki, mengulangi pertanyaannya dengan ekspresi sedikit curiga.
“Itu… Seon Hyung pulang-pulang terlihat sangat emosi, dan dia kembali bersama Yoora,” ujar Jungsoo, menjelaskan situasinya dengan santainya.
“Apa lagi yang dilakukan anak itu? Ya Tuhan, tidak henti-hentinya membuat orang lain susah,” keluh Yongki, langsung menarik kesimpulan tanpa perlu bertanya lebih lanjut.
“Aku juga tidak tahu, Hyung. Seon Hyung sama sekali tidak cerita apapun, bahkan dia mengalihkan pertanyaan Jungsoo saat ditanya ada apa,” sambung Jihwan, yang ikut menjelaskan semuanya.
“Seon Hyung baru pulang hari ini?” tanya Yongki lagi, suaranya terdengar tegas namun hati-hati.
“Iya, Seon Hyung baru kembali hari ini setelah kejadian terakhir itu,” jawab Jihwan.
“Haesung? Namjin? Taehwan, mereka di mana?” tanya Yongki, kini lebih serius ingin mengetahui kondisi saudara-saudaranya yang lain.
“Hae Hyung ada di kamarnya, sepertinya sedang sibuk sama pekerjaannya. Namjin Hyung sedang di luar negeri, menghadiri acara seni untuk seminggu ke depan. Dan Taehwan Hyung... dia sedang ada pekerjaan di luar kota,” Jungsoo menjelaskan dengan rinci, tentang keberadaan semua saudara nya yang lain.
“Emmm… Kalau kamu sendiri kenapa tidak pergi ke kampus?” tanya Yongki lagi, kali ini matanya tertuju pada Jungsoo yang duduk santai di sofa.
“Aku masuk kelas siang, Hyung,” jawab Jungsoo sambil tersenyum kecil.
"Tapi ini juga sudah siang Soo -ah '' ujar yongki lagi.
''Sebentar lagi, aku menunggu teman ku " jawab Jungsoo.
“Jihwan?” tanya Yongki sambil melirik adiknya yang lebih tua dari Jungsoo.
“Aku tidak ada acara, Hyung. Sejak konser terakhir, aku memilih untuk beristirahat dan memulihkan suara dulu,” jawab Jihwan dengan nada yang tenang, paham betul apa yang ingin ditanyakan oleh Yongki.
“Baiklah... Hyung ke kamar dulu,” ujar Yongki sembari berbalik, berjalan pelan menuju kamarnya.
Namun sebelum benar-benar naik ke lantai atas, Yongki memutuskan untuk menemui Haesung terlebih dahulu. Ada beberapa hal yang perlu ia sampaikan kepada adiknya itu.
Tok… tok… tok…
“Hae-ah…” panggil Yongki dengan suara berat, namun segera disambut oleh pintu yang terbuka dari dalam oleh Haesung.
“Hyung sudah kembali? Ada apa, tumben sekali baru pulang langsung mencari ku?” tanya Haesung dengan nada santai, membiarkan kakaknya masuk ke dalam kamarnya yang sedikit berantakan.
“Ada yang ingin Hyung tanyakan padamu,” jawab Yongki singkat namun tegas, memasuki ruangan. Matanya berkeliling, memperhatikan setiap sudut kamar yang dipenuhi dengan kertas-kertas berserakan. Dia lalu menutup pintu secara perlahan, memastikan tidak ada yang bisa mendengar percakapan mereka.
“Apa yang terjadi?” tanya Haesung lagi, merasa sedikit aneh dengan sikap serius kakaknya.
“Tadi aku dengar dari Jihwan dan Jungsoo kalau Seon Hyung sudah pulang… dalam keadaan marah. Dia pulang bersama Yoora, Kau tahu apa yang sudah dilakukan oleh anak itu? ” ucap Yongki, sorot matanya yang tajam penuh tanda tanya.
“Akhirnya Seon Hyung kembali… { gumam Haesung, seakan mengabaikan sisi negatifnya} Tapi aku tidak tahu apa-apa soal apa yang terjadi. Kau tahu sendiri, aku baru saja pulang pagi tadi, sekitar jam tiga.” lanjut haesung.
“Dan kau bahkan tidak tahu Seon Hyung sudah kembali?” nada heran terdengar jelas dari Yongki. Tatapan mata tajamnya kini tertuju penuh pada Haesung, seperti ingin mencari tahu apakah adiknya benar-benar tidak tahu apa-apa atau hanya pura-pura.
“Hahaha, aku belum keluar dari kamar seharian ini. Jadi, ya… aku benar-benar tidak tahu,” ujar Haesung dengan kekehan kecil, mencoba meredakan ketegangan yang mulai terbangun di antara mereka.
“Kau pikir ini lucu? {Yongki memutar matanya malas , sat mendengar ucapan adik nya itu} Cepat turun dan makan. Kau ini jika sudah kerja, lupa waktu, ya? Kau pikir bagus seperti itu , ” tegur Yongki, namun ada nada khawatir terselip di balik ucapannya.
“Akh Hyung… kau perhatian sekali,” jawab Haesung dengan senyum kecil, meskipun dia tahu ucapan itu tidak sepenuhnya serius.
“Bukan perhatian, {balas Yongki dengan suara datar } Tapi kalau kau mati karena kurang istirahat, siapa yang akan membantu Hyung menanggung beban tiga bocah kematian itu, huh?” Sindiran dinginnya kali ini ditujukan jelas untuk Jihwan, Taehwan, dan Jungsoo.
Haesung hanya menggelengkan kepalanya, sedikit tersenyum pahit, namun juga merasa tidak asing dengan sikap dingin Yongki.
“Astaga, yasudah… nanti kita cari tahu soal Seon Hyung dan Yoora,” katanya akhirnya dengan nada pasrah, tahu betul bagaimana sifat dingin kakaknya.
“Emm, yasudah Hyung kira kamu tahu ” gumam Yongki lagi, menatap Haesung dengan sedikit kecewa karena adiknya ini tidak tahu apa-apa tentang keributan yang mungkin akan terjadi di rumah.
“Kita tanyakan saja nanti, kalau dia mau cerita,” ujar Haesung, mencoba menawarkan solusi yang lebih tenang.
“Hyung mau ke kamar, dan jangan terlalu keras bekerja, kau ini seperti mau mati di belakang meja kerja,” ujar Yongki seraya melirik sketsa-sketsa yang berserakan di meja Haesung.
" Aku belajar dari mu Hyung " ujar haesung sembari terkekeh.
" Menyebalkan sekali " ujar Yongki sembari melengos pergi meninggalkan kamar sang adik.
“ Aku tahu…” jawab Haesung santai, sembari menutup pintu setelah kakaknya berlalu. Terkadang dia juga masih sering, bermanja-manja pada Yongki dan seonho sama seperti adiknya yang lain.