Asmaralda, seorang gadis buta yang penuh harapan menikah dengan seorang dokter. Suaminya berjanji kembali setelah bertemu dengan orang tua, tapi tidak kunjung datang. Penantian panjang membuat Asmaralda menghadapi kesulitan hidup, kekecewaan dan keraguan akan cinta sejati. Akankah Asmaralda menemukan kebahagiaan atau terjebak dalam kesepian ???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meindah88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.13
Di dalam mobil yang melaju menuju rumah, Ralda hanya terdiam tanpa suara. Tak ada yang tahu apa yang sedang melintas di benak wanita malang itu. Dari wajahnya, Ralda nampak sangat lelah dan terkuras. Alena, istri pamannya, juga tidak banyak bertanya karena merasa Ralda memerlukan waktu untuk istirahat sejenak.
"Entah mengapa hari ini rasanya begitu berat," batin Ralda sambil menahan air mata yang hendak jatuh.
Suasana hati yang buruk ditambah dengan kelelahan yang ia rasakan seolah-olah menariknya ke dalam jurang keputusasaan yang dalam. Mereka memang baru saja pulang dari rumah sakit, di mana mereka harus mengantre cukup lama untuk memeriksakan kandungan Ralda. Terbayang jelas di ingatan Ralda betapa sulitnya saat itu. Akan tetapi, ia tak ingin berbicara tentang itu kepada Alena sekalipun. Ralda tak ingin membebani siapapun baiknya itu dengan persoalan yang tengah ia hadapi.
"Semoga Maha Kuasa memberikan saya kesabaran dan kekuatan untuk melewati cobaan ini," ucap Ralda dalam hati, menenangkan dirinya sendiri sambil terus terdiam dalam perjalanan pulang.
Mobil mereka berhenti perlahan di halaman rumah. Melihat Ralda yang tertidur lelap di sebelahnya, perasaan Alena campur aduk. "Bagaimana ya cara terbaik untuk membangunkannya tanpa membuatnya kaget?" gumam Alena dalam hati. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengguncang tubuh Ralda dengan lembut sambil berkata, "Kita sudah sampai, Ralda. Ayo bangun." Tubuh Ralda refleks tersentak seakan-akan terkejut, namun dalam beberapa detik, kesadarannya mulai kembali dan ia sadar di mana ia berada saat ini.
Ada rasa lega yang terlihat di wajahnya, seakan menyadari bahwa ia telah sampai di rumah dengan selamat dan tak perlu khawatir lagi. "Terima kasih, Tante, untuk menemaniku selama perjalanan ini," ucap Ralda lirih dalam hati, meskipun ia belum mampu mengungkapkannya secara langsung.
Alena memandang wajah ayu Asmaralda, ada rasa perih di dada mengenang nasib putri saudara sang suami.
Asmaralda menatap keluar dari mobil seolah ia mampu melihat, tahu bahwa dengan keterbatasan yang dimiliki membuat setiap langkah terasa sulit baginya. Namun, beruntung ada orang-orang baik yang mendukungnya, seperti Cecep, sang sopir yang telah setia menemaninya, dan Alena yang selalu memberikan bantuan dan perhatian padanya. Keduanya kemudian membantu Asmaralda keluar dari mobil, membuatnya merasa sedikit lebih mudah menghadapi keterbatasan ini.
"Hidupku memang tidak sempurna," gumam Asmaralda, "tapi setidaknya ada orang-orang yang tulus membantu dan peduli padaku." Hatinya merasa terharu dan berbicara dalam hati, "Semoga Tuhan membalas kebaikan mereka dan melindungi kita semua."
"Jangan terlalu banyak berpikir nak, ingat janin yang ada di sini," ucap Alena mengingatkan Asmaralda sembari mengusap pervtnya.
Asmaralda menapaki langkah-langkah kecil dengan perasaan optimis, berusaha untuk melihat hal-hal positif di tengah tantangan yang harus dihadapinya.
" "Tante, Ralda mau langsung ke kamar aja ya? Rasanya tubuh ini letih sekali," ucapnya dengan wajah memelas.
Di dalam hati, ia merasa seperti terbebani oleh beratnya dunia. Apa yang sebenarnya terjadi ? Mengapa hidup harus penuh dengan ujian dan cobaan?" Pikirnya.
Ia ingin beristirahat dan melupakan semua masalah untuk sementara waktu. Wanita itu berharap dengan berbaring di ranjang, ia bisa menemukan kedamaian yang hilang dalam hidup. Tapi, apakah kedamaian itu akan benar-benar kembali? Atau mungkin, ini hanya sementara dan akan segera tergantikan oleh masalah baru yang belum dikenal?
"Aku benar-benar merasa kehilangan arah, bagai kapal yang terombang-ambing di tengah badai, tak tahu harus berlabuh kemana." batinnya bergelut.
Di kasur yang empuk sembari mengistirahatkan tubuh, Ralda masih mengingat-ingat suara pria tersebut. Terkadang ingin percaya namun selalu ditepis seolah-olah hanya angin lalu.
" Mungkin suara pria tadi hanya mirip dengan suara Mas Abrisam. Ralda terlalu merindukannya, sehingga suaranya terdengar di mana-mana." gumamnya.
Berusaha menghilangkan suara yang masih terngiang-ngiang di telinga, Ralda memejamkan mata hingga ia tertidur dengan lelapnya.
***
Di tengah malam yang pekat, seorang pria tengah menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit. Malam ini hatinya diliputi kegalauan yang sangat mendalam, dan pikirannya melayang ke suatu tempat, tertuju pada seseorang yang selama ini tak bisa lepas dari ingatannya, yang terus membuat rasa bersalah menyelimuti hatinya.
"Mengapa selama ini aku tak mampu menghapus perasaan bersalah ini?" gumamnya dalam hati.
Dia merasa seperti seorang pengkhianat yang telah melakukan kesalahan fatal, bahkan saat ia hanya memikirkan orang tersebut. Rasa penyesalan membuat jantungnya sesak dan sesak napas menjadi bagian yang hampir tak bisa dipisahkan dari kehidupannya sekarang. Sejenak, pria tersebut berharap bintang-bintang di langit mampu menjadi saksi bisu dalam pencarian jawaban atas pertanyaan yang tak pernah berhenti menghantuinya. Dia ingin menemukan cara untuk melepaskan rasa bersalah itu, untuk bisa memperbaiki hidupnya dan menghadapi kenyataan tentang perasaan yang terlarang tersebut.
"Apakah aku harus tetap melawan perasaan ini dan menjauhkan diri dari seseorang yang tak mungkin bisa kutemui, atau malah menerima kenyataan dan mengikuti hatiku? Kenapa sampai saat ini saya masih belum percaya kalau Ralda sudah ti4da ?" tanya pria itu kepada dirinya sendiri, mencoba menggali lebih dalam ke perasaan dan keyakinannya.
" "Saya sadar, betapa perihnya hatimu dengan kepergianku waktu itu. Tapi percayalah, sampai saat ini saya masih berharap bahwa kamu masih hidup." lirihnya.
Terdiam dalam lamunan yang sunyi, Abrisam terkejut ketika derap ketukan yang mendesak bergema di pintu rumahnya. Kekesalan mencuat di dada, mengganggu ketenangan yang telah dia tebar dalam kesendirian. Di balik pintu, suara ketukan itu berderap bagai guntur, membawa badai yang belum jelas asal-usulnya..
" Abi, bukain pintu! Mama mau masuk." teriak wanita paruh mengkhawatirkan kondisi sang putra.
Sejak tadi ia mengetuk pintu tersebut namun tidak ada pergerakan seseorang dari dalam.
Dengan langkah berat pria itu melangkah membuka pintu.
" Ada apa, Ma?" tanyanya dengan perasaan malas setelah membuka pintu.
" Mama dari tadi berteriak manggilin kamu, tapi..?
" Ma... tolong! Abi capek banget pengen istirahat." Abi memotong ucapan sang mama lantaran bosan mendengar ocehan yang setiap hari karena persoalan Hana tunangannya.
" Mama tahu kamu berusaha menghindari mama, iya kan? Kamu selalu beralasan tidak punya waktu membicarakan pernikahan kalian, kamu pikir mama tidak tahu ?" ucap Rani menunjuk wajah putranya.
Pria itu menarik napas dalam-dalam menenangkan diri dan tidak ingin terpancing emosi menghadapi kemarahan sang mama. Sejenak ia terdiam menatap ke arah yang lain . Ia tahu saat ini wanita tercintanya hanya tersulut emosi sesaat.
" Tatap mata mama, beritahu kami kapan kamu memberi kepastian pada Hana." ucapnya menuntut.
" Kepastian apa sih, Ma ? Abi sama Hana sudah bertunangan, itu sudah lebih dan cukup." ucapnya terdengar lembut di depan Rani, namun siapa sangka hatinya saat ini memberontak.
" Mama tidak ingin tahu, kamu harus menikah secepatnya dengan Hana. Sudah berkali-kali kamu menunda pernikahanmu dengan Hana, sedangkan Hana tidak bisa menunggu terlalu lama." tegasnya lalu meninggalkan sang putra sendirian.