NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 : Kembali ke Ibu Kota

Ruang tamu itu kembali sunyi setelah langkah terakhir mereka lenyap dari pendengaran. Luna berdiri di tengah ruangan, matanya menatap kosong pada dokumen wasiat yang masih tergeletak di atas meja. Bayangan wajah Douglas, Claudia, dan Clara berputar di pikirannya seperti adegan buruk dalam film murahan. Kali ini, meski amarah menggelegak dalam dadanya, Luna hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.

“Jadi selama ini mereka hidup seperti lintah dari rumah sakit milik kakek dan Ibu?” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada hantu-hantu penghuni ruangan itu. Ia menatap dokumen itu lagi, seolah mencari jawaban yang lebih jelas. “Hah… Benar-benar tidak tahu malu.”

Luna juga mengetahui fakta kenapa ayahnya yang mengelola rumah sakit itu, alih-alih kakeknya.

Hal itu karena perjanjian yang dilakukan oleh Antonius dan Douglas, sesaat sebelum Douglas menikah dengan ibunya, yaitu Douglas akan mengelola rumah sakit itu sampai Luna mampu untuk mengambil alih rumah sakit. Sehingga meskipun kedua orang tua Luna bercerai, Douglas masih bisa mengelola rumah sakit itu karena perjanjian yang mereka lakukan. Namun sekarang, Antonius telah meninggal dunia, mau tak mau Douglas harus memutar otak untuk terus menguasai aset rumah sakit.

Ia mendesah, berjalan ke sofa tua di sudut ruangan dan duduk dengan lelah. Tangannya memegang kening, mencoba meredakan denyut yang tiba-tiba muncul akibat percakapan panas tadi. Tapi, alih-alih mereda, pikirannya justru terus melayang. Ingatan tentang bagaimana Douglas sering memamerkan gaya hidup mewahnya di acara keluarga kembali muncul. Claudia dengan berlian di lehernya, Clara dengan pakaian mahal yang selalu diperbarui setiap musim. Semua itu berasal dari rumah sakit ini.

Luna mendengus kecil, lalu tertawa sinis. "Kalau memang seperti itu, artinya aku harus meminta kembali apa yang sudah mereka ambil tanpa sepengetahuanku, kan?” katanya kepada dirinya sendiri, suaranya sedikit meninggi seolah ia tengah berbicara dengan orang lain di ruangan itu.

Ia berdiri lagi, berjalan bolak-balik dengan tangan terlipat di dadanya, matanya menatap kosong ke lantai kayu yang berderit setiap kali ia bergerak. “Mereka harus membayar apa yang mereka ambil… beserta bunganya,” katanya lagi, kali ini dengan nada penuh tekad.

Kepalanya mendongak, pandangannya kini penuh dengan keyakinan yang baru saja tumbuh. Ia tahu langkah berikutnya. Jika Douglas dan keluarganya berpikir ia hanya akan menyerah begitu saja, mereka jelas telah salah menilai siapa Luna Harrelson. Ia bukan gadis lemah yang bisa diatur sesuai keinginan mereka. Ia adalah cucu Antonius Harrelson, dan darah Harrelson yang mengalir di nadinya jauh lebih kuat daripada apa pun yang mereka miliki.

Luna berhenti di depan jendela, menatap ke luar ke arah jalan setapak yang sepi. Di kejauhan, lampu-lampu jalanan desa mulai menyala, menciptakan kilauan kecil di bawah langit senja. “Sepertinya aku memang harus pindah ke ibu kota,” gumamnya, kali ini lebih kepada dirinya sendiri. Suaranya terdengar tenang, tetapi di balik ketenangan itu ada gelombang besar yang mulai bergerak.

Ibu kota, pikirnya. Tempat di mana semua ini dimulai, dan tempat di mana ia akan menyelesaikannya.

...****************...

Luna duduk di kursi ruang tamu dengan telepon di tangan, menatap nomor kontak yang telah lama tidak dia hubungi. Nama itu terpampang jelas di layar: Bradley Harrelson. Paman Bradley, adik ibunya, adalah satu-satunya anggota keluarga Harrelson yang tersisa. Dia menarik napas dalam, mencoba meredakan gemetar di ujung jarinya. Entah mengapa, menelepon paman yang jarang ditemui ini terasa lebih menegangkan daripada saat dia berhadapan dengan Douglas tadi.

Dengan sedikit ragu, Luna akhirnya menekan tombol panggil. Suara dering yang terdengar dari speaker telepon terasa seperti menit-menit yang panjang. Kemudian, sambungan tersambung, dan suara khas Bradley yang berat namun santai terdengar di ujung sana.

"Halo? Siapa ini?" tanyanya, terdengar tak sabar.

"Paman... Ini aku, Luna," jawab Luna dengan suara kecil. Ia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat.

Ada jeda sejenak sebelum suara Bradley kembali terdengar. “Luna? Ada apa kau meneleponku?” tanyanya dengan nada datar. Tidak dingin, tapi juga tidak hangat.

Luna menggigit bibir, berusaha menahan emosinya. "Aku... aku ingin memberitahumu sesuatu, Paman," katanya. "Kakek... Kakek sudah meninggal. Maaf aku baru memberitahumu sekarang."

Di ujung telepon, Bradley terdiam. Hening yang panjang membuat Luna semakin cemas. Dia tahu hubungan antara Bradley dan kakeknya tidak pernah harmonis. Antonius Harrelson, dokter legendaris dengan reputasi sempurna, selalu mengharapkan Bradley mengikuti jejaknya. Namun, Bradley memilih jalan yang berbeda, menjadi aktor terkenal di ibu kota—keputusan yang membuatnya diusir dari keluarga. Sejak itu, hubungan mereka nyaris tidak ada.

“Dia sudah meninggal, ya…” gumam Bradley akhirnya, suaranya terdengar samar. Ada nada yang sulit diterjemahkan di sana—antara kesedihan, penyesalan, dan sesuatu yang lain. “Kenapa kau baru menghubungiku sekarang?” tanyanya, meski nada bicaranya tidak menghakimi.

“Aku… aku bingung harus bagaimana, Paman. Kakek meninggal mendadak. Sekarang aku sendirian,” jawab Luna, suaranya hampir pecah di akhir kalimat.

Bradley menghela napas panjang, seperti sedang berpikir. Lalu dia berkata dengan nada tegas, “Baiklah. Aku akan menjemputmu besok. Kau akan tinggal bersamaku mulai sekarang.”

Luna terkejut mendengar keputusannya yang cepat. “Benarkah, Paman? Terima kasih…” katanya, dan untuk pertama kalinya hari itu, dia merasa sedikit lega.

“Ya. Jangan terlalu berterima kasih dulu. Kita lihat bagaimana nanti,” kata Bradley, mencoba menyembunyikan emosinya di balik nada ringan. Tapi Luna tahu, di balik sikap kasual itu, ada kepedulian yang tulus.

Panggilan berakhir, meninggalkan Luna duduk dengan pikiran yang bercampur aduk. Dia tahu hubungan antara kakeknya dan Bradley tidak baik, tetapi fakta bahwa pamannya langsung menawarkan bantuan memberinya harapan baru. Mungkin, meski dia kehilangan banyak, dia belum sepenuhnya sendirian.

Di sebuah apartemen mewah di ibu kota, Bradley meletakkan teleponnya di meja, menatap jauh ke luar jendela. Berita kematian ayahnya—meskipun hubungan mereka penuh ketegangan—tetap meninggalkan perasaan berat di dadanya. Dia menghela napas lagi, kali ini lebih panjang.

Bradley terduduk di sofa apartemennya yang luas namun terasa sepi. Jendela besar di hadapannya menampilkan gemerlap lampu kota, namun pandangannya kosong. Kedua tangannya terlipat di pangkuan, seperti mencoba menahan sesuatu yang selama ini dia pendam. Ketika berita kematian Antonius akhirnya benar-benar tenggelam ke dalam pikirannya, rasa kehilangan itu datang seperti ombak besar, menghantamnya tanpa ampun.

Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menahan emosi yang mulai menguasainya. Namun air mata itu akhirnya mengalir juga, membasahi pipinya. Bukan tangisan yang keras atau penuh suara, melainkan tangisan yang sunyi—jenis tangisan yang penuh penyesalan.

"Ayah..." gumamnya pelan, suaranya pecah di ruangan yang hening.

Kenangan-kenangan lama mulai bermunculan, seperti film yang diputar ulang. Wajah Antonius yang selalu serius, harapan besar yang selalu dia sematkan pada Bradley, dan perdebatan-perdebatan yang tak terhindarkan saat Bradley memutuskan untuk mengejar impiannya sendiri. Bradley tahu ayahnya tidak pernah memahaminya, tapi dia juga tahu satu hal lagi—Antonius tidak pernah benar-benar membencinya.

Dengan tekad baru, Bradley berdiri dan berjalan ke meja, menyiapkan segala sesuatunya untuk perjalanan esok hari. Air mata masih menggenang di matanya, tapi kini dia merasa sedikit lebih kuat. Dia mungkin tidak bisa memperbaiki masa lalu dengan ayahnya, tapi dia bisa memastikan masa depan Luna tidak berakhir seperti dirinya—terjebak dalam penyesalan.

...****************...

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!