"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: Keputusan Seonho
Akhir tahun semakin mendekat, dan musim dingin mulai menyelimuti kota. Ini adalah tahun kedua setelah Jihwan dinyatakan benar-benar pulih, setelah operasi yang telah mengubah hidupnya dan juga Yoora. Dalam dua tahun itu, Jihwan telah menaklukkan panggung dunia dalam world tour yang sebelumnya tertunda. Kini, Yoora yang akan menyusul dengan momen besar dalam hidupnya , hari kelulusan dari sekolah menengah atas, sebuah pencapaian yang begitu ia tunggu-tunggu.
Namun, bukan hanya kelulusannya yang menjadi sorotan. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Jungsoo, salah satu kakaknya, juga akan diwisuda dari universitas ternama. Dua acara penting keluarga dalam waktu yang berdekatan. Sejenak, Yoora berharap itu akan menjadi alasan kuat bagi saudara-saudaranya untuk berkumpul, merayakan hari istimewa bersama. Namun, keraguan perlahan muncul setiap kali ia ingin mengutarakan keinginannya pada mereka.
“Apakah mereka akan datang kali ini?” gumam Yoora pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara wajan yang berdesis.
Yoora berdiri di dapur pagi itu, memasak sarapan untuk seluruh keluarganya. Kepalanya dipenuhi bayangan masa lalu. Ia teringat saat kelulusan sekolah menengah pertamanya, di mana ia menunggu dan berharap dengan penuh antusiasme. Namun, hanya ada keheningan dan kursi-kursi kosong di acara tersebut; saudara-saudaranya tak pernah datang.
Kini, rasa takut dan kecewa yang sama kembali menghantui hatinya. Rasa ragu menahan lidahnya dari meminta mereka untuk hadir, meski keinginannya begitu kuat. Di sisi lain, dia menyimpan kabar tentang beasiswa yang diraihnya ke universitas terkenal sebuah pencapaian besar yang mungkin akan membuat mereka bangga. Namun, entah kenapa, dia merasa seperti tak punya keberanian untuk membagikannya. Bukan karena kurang percaya diri, tapi takut akan tanggapan mereka yang dingin atau bahkan ketidakpedulian yang bisa membuatnya terluka lagi.
Sambil memutar sendok kayu di panci, Yoora menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Aroma harum masakan yang mengepul di dapur sejenak menenangkannya, tetapi hatinya masih terasa berat. Mungkin, jika hari ini berjalan baik, dia akan menemukan momen yang tepat untuk membicarakan semuanya hal yang selama ini dia simpan sendiri.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang lembut terdengar di belakangnya, mengusik keheningan yang menemaninya di dapur.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanya nya.
Suara lembut tapi penuh perhatian itu menyadarkannya. Yoora tersentak, tangan yang memegang sendok kayu hampir terlepas. Dia menoleh, menemukan sosok yang familiar di sisinya.
"Eoh... Eonni..." ucap Yoora pelan, terdiam membeku.
Wanita yang berdiri di sampingnya menatapnya dengan tatapan lembut namun penuh tanda tanya, membuat Yoora semakin gugup.
( Catatan: "Eonni" (언니) adalah panggilan yang digunakan oleh perempuan untuk menyebut atau memanggil kakak perempuan, baik yang memiliki hubungan darah maupun teman perempuan yang lebih tua. Selain menunjukkan kedekatan, panggilan ini juga mengandung rasa hormat. Dalam budaya Korea tolak ukur usia memang begitu di perhatikan, bahkan dalam istilah nya " walaupun beda sehari, dia tetap lebih tua dari kita " . Tolong koreksi jika author salah).
“Kamu terkejut?” tanya Ji-won dengan senyum lembut yang membuatnya terlihat semakin ramah. Matanya berbinar, seolah menggoda Yoora yang masih berdiri bingung di dapur.
“Ne... Eonni mengejutkanku ” ujar Yoora dengan sedikit tawa canggung, berusaha menyembunyikan rasa malunya karena ketahuan melamun di tengah-tengah memasak. Ji-won menggeleng pelan sambil tersenyum, lalu menoleh ke masakan yang mulai mendidih di wajan.
“Lagipula, anak gadis memasak sambil melamun, bagaimana kalau sampai gosong?” candanya, sambil mengambil spatula dan mulai mengaduk masakan Yoora dengan gerakan cekatan.
“Eonni, apa yang eonni lakukan? Biar aku saja,” ujarnya dengan nada sopan, merasa tidak enak hati membiarkan kekasih kakaknya membantu pekerjaan yang sebenarnya adalah tanggung jawabnya.
“Tidak apa-apa, eonni akan membantu, tidak masalah. Lagipula, memasak berdua jauh lebih menyenangkan ” ujarnya sambil tersenyum, seakan-akan dia menikmati momen ini sepenuhnya.
Selama beberapa bulan terakhir, hubungan Ji-won dan Namjin memang mulai berkembang ke arah yang lebih serius, dan itu tentu saja disambut baik oleh seluruh keluarga. Ada suasana berbeda di rumah ini sekarang, meskipun di antara mereka masih banyak yang tersembunyi. Begitu pula dengan hubungan Seonho dan Ji-eun yang perlahan juga mulai terjalin lebih akrab. Walau belum ada kejelasan tentang arah hubungan mereka, kehadiran mereka terasa hangat.
Ji-won dan Ji-eun sering datang ke rumah layaknya keluarga sendiri, dan hari ini adalah salah satu dari hari-hari itu. Ji-won bisa masuk dan beraktivitas di dapur tanpa sungkan seperti rumahnya sendiri.
Sekarang, hampir semua orang tahu tentang kebenaran Yoora sebagai bagian dari keluarga. Namun, anehnya, sikap saudara-saudaranya tak kunjung berubah, seakan kebenaran itu bukan sesuatu yang perlu mereka pedulikan. Di sisi lain, kehadiran Ji-won dan Ji-eun menjadi sesuatu yang berarti bagi Yoora. Mereka, dua wanita ini, tidak pernah sekalipun menunjukkan kebencian atau perlakuan yang berbeda terhadap Yoora. Justru mereka menyayangi Yoora seperti adik sendiri, memberikan sentuhan kasih sayang yang mungkin terasa asing di tengah-tengah hubungan tegangnya dengan semua saudara nya .
Yoora menatap Ji-won yang tengah mencicipi masakan yang mereka buat bersama, merasakan kehangatan mengalir dalam hatinya. Hidupnya mungkin penuh konflik dan ketegangan dengan beberapa anggota keluarganya, tetapi setidaknya dengan Ji-won dan Ji-eun, dia merasa ada kehadiran yang berbeda. Kedatangan mereka membawa kehangatan dan warna baru, sesuatu yang sudah lama terasa asing baginya.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Ji-won tanpa menoleh, masih sibuk menata hidangan di piringnya. Suaranya lembut, seakan tahu bahwa Yoora mungkin punya sesuatu yang ingin dia bagikan.
“Tidak ada... hanya memikirkan tentang hari kelulusanku,” jawab Yoora sambil terus menyiapkan bahan lain. Nada suaranya terdengar ragu, tapi senyum kecil mengintip di sudut bibirnya.
“Oh, iya. Bukankah itu hampir bersamaan dengan acara wisuda Jungsoo?” Ji-won menoleh sekilas, ekspresinya penuh perhatian.
"Nee, eonni," angguk Yoora pelan.
“Lalu, apa yang bikin kamu pusing? Kamu gugup karena akan masuk universitas?” ucap Ji-won terdiam sejenak, memperhatikan wajah adiknya yang tampak murung.
“Bukan itu… Aku hanya... ragu untuk meminta oppa agar hadir di sana ” gumamnya, suaranya bergetar sedikit, seolah takut harapannya akan berakhir sia-sia.
“Kamu ingin mereka hadir di sana, ya?” tanyanya lembut, dengan pemahaman yang dalam.
"Itu... hanya harapan kecilku," lirih Yoora sambil menunduk, Matanya berkabut, menahan sesuatu yang sulit untuk diucapkan.
“Eonni akan usahakan, ya. Tapi... eonni tidak bisa janji. Kalau pun mereka tidak bisa datang, eonni dan keluarga eonni yang akan menemani kamu di hari itu. Percayalah pada eonni, oke?” katanya penuh keyakinan.
“Eonni serius?” Mata Yoora membulat, menatap Ji-won seakan tak percaya dengan kata-kata tersebut.
“Eonni tidak pernah seserius ini sebelumnya,” Ji-won tertawa pelan, membiarkan kehangatan itu mengalir dalam suasana. Tawanya membuat Yoora tersenyum tipis, senyum yang jarang muncul akhir-akhir ini.
Melihat senyum itu, Ji-won merasa bahagia. Berhasil membuat Yoora nyaman adalah langkah kecil yang penuh makna baginya. Dengan begini, Ji-won tahu Yoora bisa sedikit demi sedikit mencurahkan apa yang selama ini dipendamnya, merasa ada tempat yang aman untuk berbagi rasa.
Namun, suasana hangat mereka tiba-tiba terusik saat terdengar suara lembut dari arah pintu, seseorang yang baru saja bangun dan berjalan mendekat, dengan rambut sedikit berantakan.
“Chagia?” panggil suara itu, menambah suasana tenang menjadi lebih akrab dan santai.
( Catatan: Dalam bahasa Korea, "chagiya" (자기야) adalah kata panggilan yang berarti "sayang" atau "honey" dalam bahasa Indonesia _ Inggris. Ini adalah panggilan yang akrab dan biasanya digunakan antara pasangan yang memiliki hubungan romantis, seperti suami-istri atau pacar. Kata ini mengekspresikan rasa kasih sayang dan keintiman dalam sebuah hubungan. Tapi biasanya kata "chagiya" (자기야) hanya di peruntukkan bagi mereka yang masih menjalin hubungan asmara yang belum sah ( pacaran) , karena untuk hubungan suami-isteri biasanya menggunakan kata "Yeobo" (여보), dan ungkapan ini juga dalam budaya Korea hanya di peruntukkan untuk pasangan suami-isteri yang sudah menikah SECARA SAH DIMATA HUKUM!. ' sedikit tambahan baik "chagiya" (자기야) ataupun "Yeobo" (여보) ini adalah kata universal yang bisa di gunakan oleh pria ataupun wanita. Tolong koreksi jika author salah).
Keduanya menoleh dan melihat Namjin muncul dengan penampilan sedikit berantakan, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak sembab. Matanya yang masih terlihat bengkak menandakan kurang tidur semalam.
“Good morning… Chagi...” sapanya dengan suara serak sembari menyunggingkan senyum tipis, seolah mencoba menyembunyikan rasa lelah.
“Morning too,” jawab Ji-won sambil tersenyum lembut. Namjin menghampirinya dan dengan spontan mengecup kening sang kekasih, membuat Ji-won tersipu.
“Ya, apa-apaan kamu ini? Di sini ada adikmu,” tegur Ji-won, tertawa malu sambil melirik Yoora. Yoora hanya melanjutkan masakannya dengan tenang, seolah tidak memperhatikan kemesraan keduanya.
“Biarkan saja, dia bukan anak di bawah umur juga,” ujar Namjin tertawa kecil, dia menyeringai dengan nada canda.
“Sudah sana, mandi dulu, lalu turun untuk sarapan.” ucap Ji-won menghela napas, tersenyum geli mendengar penuturan kekasih nya itu .
“Selamat pagi, adik…” sapanya dengan nada lembut, meski samar terlihat bekas kantuk di matanya.
“Pagi…” ujar Yoora menoleh sekilas, menjawab ucapan Namjin dengan nada datar.
Dia berusaha menjaga jarak emosional seperti peringatan Seonho. Meskipun dia masih menyayangi Namjin, harapan untuk mendapatkan perhatian lebih dari saudara-saudaranya telah memudar sejak lama. Kini, satu-satunya alasan dia tetap bertahan adalah untuk merasakan pelukan terakhir dari kelima kakaknya sebelum menerima keputusannya untuk pergi, jika memang itu yang harus terjadi.
Pikiran Yoora melayang. Semua yang ia lakukan bertahan di tengah tekanan dan cercaan hanyalah demi momen terakhir bersama saudara-saudaranya. Dia sudah tidak berharap lagi untuk dianggap sebagai keluarga atau diperlakukan dengan kasih sayang. Baginya, satu pelukan dari saudara-saudaranya akan cukup untuk menenangkan hatinya sebelum ia melepaskan diri dari kehidupan mereka.
Yoora bukan tipe yang suka bergantung pada orang lain. Selama ini, dia bekerja keras bersama Rea, sahabatnya, mengisi waktu luangnya dengan hal-hal produktif. Jika harus hidup mandiri dan membiayai kehidupannya sendiri, Yoora tahu bahwa dia mampu melakukannya tanpa kesulitan. Meski rutinitasnya saat ini penuh dengan tugas mengurus saudara-saudaranya, Yoora tetap berusaha sebaik mungkin tanpa mengeluh.
"Eonni, sebaiknya eonni tunggu saja di meja makan, aku sudah selesai," ujar Yoora, suaranya terdengar tenang sambil menyapu pandangannya ke arah dapur.
"Begitu kah?" tanyanya sambil mengangguk-anggukan kepala nya ,tanpa menunggu lama, Namjin yang ada di dekat Ji-won ikut tersenyum tipis dan berkata.
"Baiklah, kami akan menunggu di meja makan." Namjin tersenyum lembut, senang melihat perhatian dari adiknya.
Yoora hanya mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa lagi, wajahnya tetap serius saat dia kembali fokus pada tugasnya. Setelah memastikan semuanya siap, dia bergegas menuju kamar-kamar saudara-saudaranya untuk membangunkan mereka, seperti yang sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi.
“Oppa,” panggilnya lembut saat sampai di depan kamar Jungsoo, saudara termudanya. Kamar Jungsoo terletak di lantai satu, sama seperti kamar Haesung dan Taehwan, jadi Yoora memutuskan untuk memulai dari mereka.
“Aku ingin minum air madu.” ucap Jungsoo dengan nada ketus ketika pintu terbuka, tampak Jungsoo yang baru saja bangun dengan wajah yang masih lelah dan kantung mata yang terlihat jelas.
"Akan aku buatkan, oppa. Tunggu di meja makan, di sana ada Namjin oppa dan Ji-won eonni. Aku akan membangunkan yang lain dulu " jawabnya sabar, tetap sopan meskipun nadanya tenang dan tanpa emosi.
Jungsoo tidak merespon dan hanya melengos pergi, meninggalkan Yoora sendirian di depan pintu. Yoora menghela napas pendek, tidak mengambil hati sikap kakaknya, lalu beralih ke kamar Taehwan dan Haesung. Setelah memastikan mereka bangun, dia akhirnya tiba di depan kamar Seonho, kakak tertuanya, yang terkenal paling sulit diajak bicara dengan ramah.
Yoora mengetuk pintu dengan pelan dan hati-hati. Tak lama kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Seonho dengan wajah masam, tampak jelas ketidaknyamanan di wajahnya karena diganggu begitu pagi. Meski begitu, Yoora tetap tenang, berusaha sebaik mungkin agar tidak terpancing emosi.
“Oppa, makanan sudah siap. Yang lain sudah menunggu di bawah,” ujarnya pelan, berharap bisa menghindari nada ketus yang biasa ia dapatkan dari kakaknya.
Seonho menatapnya sejenak, pandangan tajamnya menyiratkan bahwa ada sesuatu yang ingin ia katakan namun ia tunda.
"Setelah sarapan, datang ke ruang kerjaku. Ada yang harus aku katakan," ujar Seonho singkat sebelum berjalan pergi, meninggalkan Yoora dengan berbagai tanda tanya di benaknya.
Yoora menatap punggung Seonho yang menghilang di tangga, rasa penasaran bercampur kekhawatiran mulai menyelip di hatinya. Namun, seperti biasa, dia memilih untuk menyimpan semua perasaannya, mengubur kekhawatiran itu dalam-dalam, dan menuntaskan rutinitas pagi tanpa kata.
Seluruh anggota keluarga Lee sudah berkumpul di ruang makan, suara riuh mereka memenuhi ruangan, dengan aroma sarapan yang menggoda. Hanya tinggal menunggu Seonho saja. Beberapa saat kemudian, Seonho pun turun dengan langkah santai, wajahnya tampak tenang meskipun ada aura serius di sekitarnya. Dia segera duduk di meja makan bersama yang lain.
"Ji-won... pagi sekali ada urusan kah kalian berdua?" tanya Seonho, suaranya tetap tegas, sudah tidak terkejut lagi dengan kehadiran kekasih adiknya itu.
"Aku ingin numpang makan," tutur Ji-won dengan senyuman lebar, mendapatkan gelak tawa dari semua orang di meja.
"Noona, apa di rumahmu kehabisan stok makanan?" tanya Jihwan dengan nada menggoda.
"Itu benar... mulai sekarang aku akan menumpang hidup pada keluarga kalian," jawab Ji-won sambil tertawa, suasana semakin hangat.
"Itu ide bagus, Noona. Uang Namjin Hyung tidak akan habis tujuh turunan," ucap Jihwan lagi, wajahnya ceria, mengisyaratkan keakraban yang hangat di antara mereka.
"Tujuan ku memang itu," Ji-won menanggapi sambil terkekeh, seolah mengakui lelucon itu dengan penuh semangat.
"Ji-won, harta ku juga tak kalah banyak. Jika ingin punya suami dua atau bosan pada Namjin, kamu bisa bersama ku," ujar Haesung, tanpa ragu, membuat Namjin melirik sang kakak dengan tatapan tidak percaya.
"Suami dua? Ide bagus," tutur Ji-won menggoda Namjin, yang tampak semakin tidak nyaman dengan pembicaraan itu.
"Kapan kita mulai? Jika terus bercanda..." ujar Namjin, berusaha mengalihkan pembicaraan, tidak suka dengan pembahasan yang melibatkan kekasihnya dan juga saudaranya.
"Sepertinya Namjin cemburu," ujar Haesung, mendapatkan lirikan tajam dari Namjin yang membuat suasana semakin hidup.
"Aku tidak cemburu" ujar Namjin menolak mentah-mentah ucapan kakak nya itu .
" Terlihat sekali jika kau memang tidak cemburu" ledek haesung yang memang suka menggoda adiknya itu .
"Sudah... ayo mulai," ujar Seonho, mengalihkan pembicaraan lagi dengan tegas.
Semua pun kembali fokus pada makanan, menikmati hidangan yang telah disiapkan. Suasana makan menjadi lebih tenang, namun di balik ketenangan itu, Yoora merasa gelisah. Setelah acara makan selesai, mereka semua asyik menikmati buah-buahan sebagai makanan penutup, tertawa dan berbagi cerita, sementara Yoora terbenam dalam pikirannya sendiri, menunggu saat yang tepat untuk mengetahui apa yang ingin dikatakan Seonho.
"Oppa, apa kalian bisa datang di acara kelulusan Yoora?" tuturnya, menyiratkan harapan yang tinggi. Namun, Seonho menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Apa ini? Kenapa tiba-tiba kamu membahasnya?" tanya Seonho, nada suaranya mencerminkan ketidakpuasan.
"Dia sebentar lagi akan lulus, oppa. Ini momen spesial dalam hidupnya. Tidak bisakah kalian semua meluangkan waktu untuk datang ke acaranya?" Tanya Ji-won, ragu-ragu, mencoba menekankan pentingnya acara tersebut.
"Tapi, Noona… semuanya harus datang ke acara wisuda ku," sergah Jungsoo yang sedari tadi diam, menyela perbincangan.
"Aku tahu… tapi kan acara kalian berbeda, dan ka..." Ucapan Ji-won terpotong oleh Seonho.
"Tidak akan ada yang datang ke acaranya. Semuanya akan fokus pada Jungsoo," ujar Seonho dengan nada tegas, mengisyaratkan bahwa pembicaraan itu sudah berakhir dan tidak ingin dibantah.
"Hyung..." ucapan Namjin terhenti saat Seonho meliriknya dengan tatapan kesal.
"Aku sudah putuskan, tidak boleh ada yang datang ke acaranya. Dia sudah dewasa, biarkan dia melakukan semuanya sendiri," ujar Seonho sambil berlalu, diikuti oleh semua saudara lainnya.
Kini tersisa Ji-won dan Namjin di meja makan tersebut. Keduanya terdiam setelah mendengar keputusan Seonho yang terdengar begitu egois.
"Oppa…" lirih Ji-won menatap Namjin dengan mata penuh harap.
"Bisakah kamu menggantikan kami? Aku tidak bisa melanggar perintah Seon Hyung. Jungsoo akan begitu marah jika aku melakukan hal itu," ujar Namjin dengan nada penuh harap, berusaha menjaga posisi dan kedamaian di antara keluarga.
"Aku bisa saja menggantikanmu, tapi oppa, kenapa jawabanmu juga terdengar egois? Kamu belum berusaha, tapi sudah menyerah begini?," Tanya Ji-won, kesal, suaranya terdengar penuh penekanan.
"Kamu tidak akan paham… Jika aku melanggar perintah Seon Hyung, Yoora juga akan terkena dampaknya. Aku tidak mau dia semakin tersiksa," ujar Namjin, mencerminkan kerisauan yang mendalam.
" Kau ini sudah dewasa, dan laki-laki pula Oppa, kenapa kamu begitu patuh pada Seon oppa? Kamu sudah seharusnya bisa mengambil keputusan mu sendiri , jangan bertindak seperti idiot begini," cecar Ji-won yang kecewa pada permintaan kekasihnya.
" Bukan seperti itu, kamu tahu bagaimana kea... " Ucapan Namjin kembali di sela oleh Ji-won yang sudah terlanjur geram pada kekasihnya itu .
"Yatuhan ... Malang sekali, aku tidak habis pikir dengan ucapan mu barusan " ujar Ji-won sembari bangkit dari duduknya dan berlalu pergi, membereskan piring kotor yang dibawa ke dapur.
"Chagi…" ujar Namjin, suaranya penuh harapan, tetapi Ji-won mengabaikannya.
Ji-won mencuci piring-piring yang dia bawa, tangannya bergerak cekatan meskipun air sabun mengalir di bawah sinar matahari yang masuk dari jendela dapur. Walaupun terlahir dari keluarga ternama, dia tidak seperti orang kebanyakan yang suka hidup glamor dan berpoya-poya. Dia lebih suka tampil sederhana dan apa adanya.
Sesekali, sudut matanya melirik ke arah pintu kamar Yoora yang tertutup rapat, rasa kecewa menyelimutinya karena tidak berhasil membujuk keluarga Lee untuk datang ke acaranya. Namun, dia juga merasa terikat, mengetahui posisinya hanya sebatas kekasih dari Namjin.
" Apa yang harus aku katakan padanya?" gumam Ji-won, sembari fokus pada piring cucian yang perlahan semakin menumpuk. Tiba-tiba, suara lembut Yoora memecah kesunyian.
"Eoni.. apa yang eoni lakukan?" Tanya Yoora, matanya melebar saat melihat kekasih kakaknya itu mencuci piring dengan rajin.
"Tidak apa-apa, aku hanya sedikit membantu pekerjaanmu" jawab Ji-won sambil tersenyum.
" Aku merasa tidak enak padamu eonni " Tutur yoora serius.
" Tidak apa-apa aku sendiri yang mau melakukan ini .... Oh ya, mau ikut jalan-jalan denganku?" Tanyanya dengan semangat, berharap bisa menghibur gadis itu.
"Ak.. tidak " jawab Yoora ragu, melihat ke arah Ji-won dengan penuh pertimbangan.
" Tidak ada Namjin, hanya kita berdua. Kamu tidak perlu khawatir " ujar Ji-won, mencoba meyakinkan Yoora dengan senyum manisnya.
" Aku ada urusan dengan Seon oppa. Terimakasih sudah mengajakku, tapi lain kali saja aku ikut " tolak Yoora dengan halus, senyumnya tak sepenuhnya menggambarkan hati yang sesungguhnya.
" Sayang sekali. Kalau boleh tahu, ada urusan apa kamu dengan Seon oppa?" Tanya Ji-won penasaran, berusaha menggali lebih dalam.
" Tidak tahu, eoni. Seon oppa meminta ku untuk menemuinya " ujar Yoora dengan nada polos, jujur mengenai ketidaktahuannya.
" Akhh... Begitu. Baiklah, lain kali saja kita pergi " Ji-won berusaha bersikap positif, meskipun di dalam hatinya ia merasa kecewa.
" Iya .... Aku minta maaf eonni " ujar yoora yang merasa tidak enak.
"Oh, iya tidak apa-apa, ada yang ingin eoni sampaikan padamu!" Ujarnya dengan nada ragu-ragu.
" Iya?" Tanya Yoora.
" Eoni minta maaf sebelumnya... eoni tidak bisa membujuk saudaramu untuk datang ke acara kamu " ujar Ji-won dengan nada lesu, merasa bersalah.
" Akhh, tidak apa-apa. Terimakasih sudah mengatakan itu pada mereka. Aku yakin mereka juga sibuk dengan urusan Jungsoo oppa. Aku tidak masalah " ujar Yoora sembari tersenyum, meskipun bayangan kesedihan menyelinap dalam tatapannya.
"Biar eoni dan keluarga eoni yang menggantikan mereka, itu hari spesial mu, kamu tidak boleh sendirian " Ji-won menambahkan, yang tahu betul betapa sedihnya Yoora mendengar hal itu.
" Sungguh.... Terimakasih banyak eoni, dan maaf sudah merepotkan kalian," ucap Yoora, mengangguk dengan tulus kepada Ji-won yang berdiri di sampingnya.
Yoora benar-benar beruntung karena Ji-won mau hadir di acara itu meskipun semua saudara-saudara lainnya tidak akan datang sama sekali. Setelah pamit kepada Ji-won, dia melangkah perlahan menuju ruang kerja Seonho. Perasaannya campur aduk antara rasa ingin tahu , dan sedikit cemas membayangkan apa yang akan dibicarakan oleh kakak tertuanya itu.
Tok... tok... tok...
Beberapa kali dia mengetuk pintu, lalu masuk setelah mendengar jawaban dari dalam. Matanya langsung tertuju pada Seonho yang tengah berdiri santai di dekat jendela, mengamati taman belakang mansion dengan tatapan kosong. Cahaya matahari yang masuk melewati jendela menciptakan siluet yang dramatis di sekelilingnya, menambah kesan misterius pada sosoknya.
"Oppa..." panggil Yoora dengan suara lembut, berusaha mencuri perhatian Seonho.
Pria tampan itu mengalihkan pandangannya ke arah Yoora. Saat Seonho berjalan ke arah sofa, gerakannya menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Dia duduk dengan kaki disilangkan, tatapannya angkuh dan penuh dengan ketidakpedulian. Yoora merasakan aura dominasi yang memancar dari Seonho, membuatnya sedikit terintimidasi.
"Kamu meminta Ji-won untuk membujuk kami?" tanya Seonho dengan suara rendahnya, nada skeptis terlintas di suaranya.
"Ti... tidak, oppa. Eoni yang menawarkan itu. Aku tidak meminta," jawab Yoora terbata-bata, mencoba menjelaskan sambil menahan emosi.
"Aku tidak akan membiayai pendidikanmu lagi. Sudah cukup!" ujar Seonho dengan tegas, membuat Yoora terdiam. Kata-katanya bagaikan palu yang menghantam hatinya.
"Tapi oppa..." ucapan Yoora kembali terpotong, tidak berani melanjutkan.
"Tidak ada tapi-tapian. Setelah kelulusanmu, bekerjalah di perusahaan ku. Aku butuh cleaning service," tutur Seonho dengan nada merendahkan, seolah meremehkan impian adiknya.
"Aku ingin kuliah, oppa," ujar Yoora dengan nada takut, apalagi saat Seonho memberikan tatapan tajam padanya yang membuatnya semakin tertekan.
"Aku tidak akan mengizinkanmu untuk berkuliah sampai kapan pun," ujar Seonho dengan suara yang terdengar begitu mutlak, seperti keputusan akhir yang tak bisa dibantah.
"Oppa, aku mohon. Aku tidak akan merepotkan mu tentang biayanya, tolong izinkan aku . Aku mohon, oppa!" ujar Yoora, tak bisa menyembunyikan air matanya yang mulai mengalir.
"Tidak akan merepotkan ku soal biaya? Lalu, kau akan dapat uang untuk membayar kuliahmu dari mana? Jual diri?" ucapnya dengan nada tak suka, melukai perasaan Yoora lebih dalam.
"Aku serius, oppa. Tolong izinkan aku," ucap Yoora lagi, berharap Seonho akan mengubah pikirannya.
"Aku tidak mau," jawab Seonho singkat, menegaskan keputusannya.
"Yoora, mohon, oppa. Yoora ingin kuliah," ujar Yoora dengan nada lirih, suaranya hampir tak terdengar.
"Aku bilang tidak! Apa kau tuli?" bentaknya, suaranya menggema di seluruh penjuru ruangan, menambah kepedihan di hati Yoora.
"Hyung..." Ucapan itu mengalihkan perhatian semua orang pada sosok pria yang tak lain adalah Haesung.
Haesung berjalan ke arah sang kakak, menatap bingung pada Yoora yang sedang menangis tersedu-sedu. Raut wajahnya penuh kebingungan, bertanya-tanya kesalahan apa lagi yang kini diperbuat oleh Yoora hingga membuat Seonho murka padanya.
"Ada apa, Hyung?" tanya Haesung, berusaha memahami situasi yang tegang ini.
"Kamu yang ada apa?" tanya Seonho, mengalihkan tatapan tajamnya pada Haesung yang baru datang, seolah mencari pelampiasan atas kemarahannya.
" Akhh.... Itu Hyung .. { Haesung menatap wajah Yoora yang memerah karena tangis, lalu berbalik pada Seonho } Aku ingin bicara tentang Tuan Cha " ucap Haesung, mencoba mengalihkan perhatian Seonho dari adiknya.
"Kau keluar dari sini, dan ingat yang aku katakan barusan," tutup Seonho, suaranya dingin dan tak memberi ruang untuk negosiasi. Mungkin kata-kata itu adalah jurang pemisah antara mereka.
Mau tak mau, Yoora keluar dari sana dengan perasaan yang campur aduk. Sakit… begitulah kira-kira yang dia rasakan sekarang, hatinya berdenyut kesakitan mendengar ucapan Seonho. Dia berjalan keluar sembari melamun, tidak sadar menabrak Taehwan yang juga akan naik ke lantai atas untuk menemui Jihwan.
"Jalan pake mata!" bentak Taehwan dengan nada tinggi, suaranya menyentak perhatian Yoora.
"Maaf, oppa..." lirih Yoora sembari menunduk, wajahnya penuh rasa bersalah. Taehwan mendengus kesal dan, dalam sekejap, tangannya tak sengaja menyenggol Yoora hingga dia kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh dari anak tangga.
Taehwan yang melihat itu tentu saja panik. Bagaimana tidak? Dia melihat sang adik yang selama ini ia benci terguling dari tangga dan kini tergeletak di lantai, Suasana seolah terhenti sejenak, hanya suara detak jantungnya yang menggema di telinga.
"Yoora..." Teriak Taehwan sambil berlari mendekati Yoora yang nampak masih sadar, namun terlihat begitu lemas, wajahnya pucat.
"Aku ti... T... tidak ap... apa..." Ujar Yoora terbata-bata, suaranya lemah dan nyaris tak terdengar.
"Yoora..." Ujar Jungsoo yang tiba-tiba muncul, melihat kondisi adiknya bersama Taehwan.
"Hyung, apa yang kau lakukan padanya?" tanya Jungsoo, suaranya dipenuhi rasa khawatir.
"Aku tidak sengaja mendorongnya " ujar Taehwan, wajahnya sedikit panik, kesadaran akan konsekuensi dari tindakannya.
"Bagaimana jika Namjin Hyung melihatnya?" tanya Jungsoo, ketakutan menyelimuti dirinya. Dia tahu betul betapa marahnya Namjin jika tahu ada yang menyakiti Yoora.
"Cepat, bantu aku bawa dia ke rumah sakit " ujar Taehwan, nada mendesaknya mengusir ketakutan yang melanda dirinya.
"Aku tidak mau, bagaimana jika ada yang melihat ku ? Aku tidak mau terlibat " jawab Jungsoo, takut di salahkan oleh semua orang.
"Ayolah Soo-ah, aku tidak mau Namjin Hyung tahu," desak Taehwan lagi, suaranya penuh harap, seolah itu satu-satunya jalan keluar.
"Huffhhh...baiklah..." Ujar Jungsoo akhirnya, terlihat ragu namun tak bisa mengabaikan rasa kemanusiaan yang menggugah hatinya.
Mereka berdua membawa Yoora yang sudah tidak sadarkan diri ke rumah sakit, meskipun ada sedikit rasa bersalah di hati Taehwan untuk adiknya itu. Walaupun dia begitu membencinya, tapi hati kecilnya sebagai manusia masih memiliki rasa empati. Ditambah lagi, dia takut pada Namjin jika tahu Yoora terluka seperti ini.