GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21. Everything is Crazy
Kaesang mengajak Tyas kembali ke meja mereka. Tyas menurut, dan tak lama kemudian, pesanan mereka pun tiba. Pelayang meletakkan pesanan Kaesang dan Tyas di atas meja.
"Selamat menikmati, mas, mbak!" Pelayan itu tersenyum ramah, meletakkan pesanan di atas meja sebelum berlalu.
"Terima kasih," sahut Tyas dan Kaesang serentak.
Tyas dan Kaesang asyik menyantap makan malam mereka. Tyas, dengan garpu di tangan, mulai menyantap spaghetti-nya. Kaesang pun tak mau kalah, sibuk dengan spaghetti di hadapannya.
Sambil mengunyah, ia tak sengaja melirik Tyas. Senyum tipis terukir di bibirnya, tak bisa disembunyikan. Pesonanya terpancar, membuat Kaesang semakin terpesona. "Cantik sekali," gumamnya dalam hati, tak menyangka akan jatuh cinta secepat ini.
Tyas, yang menyadari tatapan Kaesang, menoleh penasaran. Matanya bertanya, "Kenapa kamu menatapku begitu?"
"Kamu cantik, Dear. Aku cinta sama kamu." bisik Kaesang, matanya berbinar. Mendengar pengakuan itu, Tyas langsung salah tingkah. Pipinya memerah, seperti bunga mawar yang baru mekar. Dia selalu merasa canggung saat dipuji, terlebih oleh kekasihnya. Kaesang.
"Bisa aja kamu." balas Tyas, pipinya merona. "Kamu juga ... ehm, ganteng," lanjutnya, suara sedikit terbata.
Kaesang sudah terbiasa dengan pujian, tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya berdesir saat mendengar Tyas memujinya. Senyum tipis mengembang di bibirnya, dan dia pun ikut salah tingkah seperti Tyas tadi.
"Dear, kamu masih inget nggak? Dulu kita pernah main di sekitar pohon mangga, kamu pengen metik mangga, terus nekat manjat pohon, eh malah jatuh!" Kaesang terkekeh, mengenang masa lalu.
"Kamu waktu itu jatuh di atas tubuh aku tau. Rasanya anget, tapi juga agak linu gitu," lanjutnya. Ucapan Kaesang membuat Tyas terdiam sejenak, pikirannya melayang ke masa lalu. Kenangan manis bersama Kaesang langsung bermunculan di kepalanya.
Pipi Tyas merona, senyumnya mengembang malu-malu. "Hehe, kamu inget aja sih. Dulu aku nekat banget, kan? Bisa aja beli di pasar, eh aku malah nekat manjat pohonnya langsung. Mana pohonnya milik tetangga lagi. Kamu inget nggak, waktu itu kamu... ehm, kamu... haduh, malu aku, Yang."
Tyas benar-benar lucu, malu-malu, seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Kaesang tak henti-hentinya merasa gemas melihat tingkah Tyas. Baginya, Tyas sangat menggemaskan, semakin membuatnya jatuh cinta.
"Aku civm pipi kamu kan? kenapa malu sih, Dear? kita pacaran loh sekarang. Aku mau civm kamu sekarang juga bisa loh. Kamu mau kita ciu-man disini? ayo!" Kaesang tampak bersemangat, hendak bangkit dari duduknya. Tyas dengan cepat meraih tangannya, menahan niat Kaesang dan membuatnya kembali duduk di kursinya.
"Kita lagi disini, Yang. Ingat?" Tyas berucap, suaranya lembut namun tegas. Tatapannya bertemu dengan mata Kaesang, dan seketika jantungnya berdebar kencang.
Ciu-man mereka tadi, terasa begitu manis dan membuatnya candu. Dia menyukainya, sangat. Tapi masih malu untuk mengungkapkannya.
Kaesang tertawa pelan, menggelengkan kepalanya. Dia kembali menikmati spaghetti-nya, Tyas pun meniru. Selesai menyantap hidangan mereka, Tyas dan Kaesang mengambil tisu, membersihkan sisa-sisa makanan di bibir mereka.
"Sekarang kita kemana, Dear? kamu mau kita jalan lagi atau pulang aja?" tanya Kaesang pada Tyas. Tyas melirik arlojinya, terkejut mendapati jarum pendek sudah menunjuk angka tujuh.
"Wah, udah malem ya? Kita pulang aja, Sayang. Aku takut orang tuaku nyariin aku dan mikir yang nggak-nggak karena aku belum pulang sampe sekarang." jawabnya, raut wajahnya sedikit cemas. Dia belum sempat memberi kabar kepada orang tuanya.
"Kamu emang belum ngabarin mereka kalau kamu bakal keluar sama aku?" tanya Kaesang, nada suaranya sedikit menggoda.
Tyas menggeleng, pipinya memerah. "Aku lupa, Yang. Yuk kita pulang, pasti mereka khawatir banget." Ia bangkit berdiri, disusul Kaesang yang juga berdiri.
"Kamu telepon aja mereka dan ngabarin kalau kamu masih ada perlu. Mereka ada hp kan?" tanya Kaesang lagi.
"Ada, tapi ayah itu nggak terlalu bisa make hp, apalagi ibu. Yuk kita pulang, kamu juga harus istirahat." Jawab Tyas.
"Yaudah ayo pulang. Sampe rumah nanti kamu mandi dan istirahat ya, malam nanti kabarin aku, kita sleep call hehe," kata Kaesang sembari terkekeh.
Tyas tersenyum dan mengangguk. Mereka pun beranjak dari meja, menuju kasir untuk membayar. Setelah menyelesaikan pembayaran, Kaesang dan Tyas keluar dari restoran dan menuju parkiran.
Kaesang membukakan pintu mobil untuk Tyas, lalu setelah Tyas masuk, ia pun menyusul. Kaesang membantu Tyas memasangkan sabuk pengaman, kemudian ia pun memasangkan sabuk pengaman untuk dirinya sendiri. Mobil pun melaju meninggalkan restoran.
***********
Di tempat lain, Zora terlihat keluar dari rumah, senyum tipis terukir di bibirnya. Kunci mobil di tangannya berputar, mesin mobil menyala, dan dia meluncur pergi. Niatnya dia ingin pergi ke apartemen Kaesang. Membujuknya untuk pulang ke rumah.
Sesampainya di area apartemen Kaesang, Zora segera memarkirkan mobilnya ke basement. Setelah terparkir sempurna, dia melangkah keluar dan memasuki gedung bertingkat itu. Dia menaiki lift, menuju ke apartemen Kaesang berada.
"Dia ada di apartemennya nggak ya?" gumam Zora, masih berdiri di dalam lift.
Tak lama kemudian, pintu lift terbuka, dia sudah sampai di lantai tempat apartemen Kaesang berada. Segera dia melangkah keluar dan menuju ke apartemen Kaesang.
Sesampainya di depan pintu, Zora mengetuk pelan dan menekan bel. "Kaesang?" panggilnya, namun tak ada jawaban. Zora ingin menghubungi Kaesang, tapi saat hendak mengeluarkan ponselnya, matanya menangkap sosok Kaesang yang sedang berjalan ke arahnya.
Kaesang menatap mamanya dengan raut wajah datar, seakan tak ingin diajak bicara. "Mama ngapain ke sini?" tanyanya, suaranya terdengar dingin.
Zora mendekat dan meraih lengan Kaesang. "Mama cuma mau lihat kamu, Kae. Kamu dari mana, kok baru pulang?" tanyanya, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran dan rasa ingin tahu.
"Bukan urusan Mama!" jawab Kaesang singkat, nada bicaranya masih terdengar ketus.
Zora menghela napas, hati sedikit teriris melihat respon Kaesang. "Kae, pulang yuk. Mama sendirian loh di rumah. Papamu di luar negeri, adikmu pulang ke London dua Minggu yang lalu ...
Mama nggak ada temennya di rumah. Kamu pulang ya, Sayang. Temenin mama, mama kangen kamu Kae," bujuk Zora lembut, berharap rayuannya bisa meluluhkan hati Kaesang.
Namun, mendengar kata-kata Zora, Kaesang malah berang. Tangan Zora yang masih menggenggam lengannya dilepas paksa, tatapannya tajam menusuk seperti mata elang.
"Dulu waktu aku di rumah sendirian, nggak ada temennya, apa-apa sendiri, bahkan waktu aku terlibat masalah di sekolah, mama kemana?!
Mama nggak pernah ada waktu buat aku. Mama lebih sayang Lingga daripada aku. Sekarang Mama pergi aja, aku mau istirahat!" Kaesang mendorong bahu Zora, lalu berlalu masuk ke apartemennya. Dia memasukkan pin dan menghilang di balik pintu, meninggalkan Zora yang masih berdiri mematung di tempatnya.
Air matanya tumpah. Kata-kata Kaesang menusuk hatinya. Dia tak menyangka telah menyakiti hati Kaesang. Dia tak pernah membayangkan akan mendengar hal itu dari Kaesang.
"Kae, maafin mama Kae. Maafin mama. Ayo pulang Kae, mama mohon," Zora berucap lirih di depan pintu apartemen Kaesang. Suaranya bergetar menahan tangis.
Kaesang tak kunjung membuka pintu. Zora pun akhirnya berbalik, langkahnya gontai meninggalkan apartemen itu. Hatinya pedih, pulang dengan tangan hampa.
Di dalam apartemennya, Kaesang terduduk di lantai, punggungnya menempel pada pintu apartemen. Air matanya menetes perlahan, membasahi lantai keramik. Sebuah memori lama tiba-tiba menyergapnya, membawanya kembali ke masa remajanya. Saat itu, di sekolah menengah, dia terlibat masalah.
Tuduhan menyakiti temannya membuatnya panik. Kepala sekolah memanggil orang tuanya, tapi Indra sedang sibuk. Indra meminta Zora untuk datang menggantikannya, namun jawaban Zora membuat hati Kaesang mencelos:
"Mama lagi sibuk, kamu minta bibik aja buat wakilin mama."
Zora malah menyuruh art mereka untuk datang ke sekolah Kaesang mewakilinya. Dia memang seringkali harus bepergian untuk urusan butiknya yang berkembang pesat, baik di dalam maupun luar negeri.
Ia juga setia menemani Indra, suaminya, dalam berbagai perjalanan bisnis. Walau begitu, kesibukannya tak sepadat Indra. Sejak saat itu, Kaesang mulai kesal dengan mamanya. Bahkan, ada beberapa momen yang membuatnya semakin menjauh dari keluarganya dan menjadi pendiam seperti sekarang.
"I hate everything. Everything is crazy!" teriak Kaesang. Ia beranjak dari duduknya dan bergegas ke kamar. Ia akan mandi dan bersiap untuk melakukan panggilan video dengan Tyas sebelum tidur.
Bersambung ...