Aluna, gadis berusia delapan belas tahun dengan trauma masa lalu. Dia bahkan dijual oleh pamannya sendiri ke sebuah klub malam.
Hingga suatu ketika tempat dimana Aluna tinggal, diserang oleh sekelompok mafia. Menyebabkan tempat itu hancur tak bersisa.
Aluna terpaksa meminta tolong agar diizinkan tinggal di mansion mewah milik pimpinan mafia tersebut yang tak lain adalah Noah Federick. Tentu saja tanpa sepengetahuan pria dingin dan anti wanita itu.
Bagaimana kehidupan Aluna selanjutnya setelah tinggal bersama Noah?
Langsung baca aja kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31
Noah hanya tertawa kecil, tawa yang sama sekali tidak hangat. "Tidak perlu!" jawabnya singkat sembari mengambil celana dan kaos pendek berwarna hitam.
"Tolong, anggap saja ini sebagai permintaan maaf dan terima kasih saya karena Anda sudah menyelamatkan saya." Suara Aluna terdengar tulus, mencoba menembus pertahanan dingin Noah.
Aluna tetap berdiri di sana, beberapa langkah di belakang Noah. Matanya menatap pria itu dengan penuh harap, berharap Noah mau menerima tawarannya.
"Apa kamu tuli? Haruskah aku perlu mengulang kalimatku tadi?" suara Noah kembali terdengar tajam, membuat Aluna menggeleng pelan.
Sadar kalau sikapnya lagi-lagi lancang pada pria itu.
"Maafkan saya," ucap Aluna pelan.
"Dan berhentilah bilang maaf. Telingaku sakit mendengarnya!" Noah menghela napas kasar, lalu berbalik menghadap Aluna. "Jadi, apa kamu masih mau berdiri di sini?" tatapannya begitu tajam, seolah bisa menembus jantung Aluna.
Aluna menelan ludahnya dengan susah payah, merasakan gemetar di seluruh tubuhnya. Air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata hampir saja jatuh.
"Maaf..."
Noah memijat pelipisnya, mencoba meredam emosi yang membuncah. Melihat Aluna seperti ini membuatnya tidak tega untuk terus bersikap kasar.
Ada rasa takut dalam diri Noah jika gadis ini akan pergi menjauh dan menghilang seperti yang lain. Kenangan akan Queen, seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya, kembali terlintas di benaknya.
Akhirnya, Noah menyerah. "Kemari lah dan lakukan tugasmu. Setelah itu kamu harus keluar."
Raut wajah Aluna berubah senang. Ia menghapus air matanya dan mendekati Noah, membawa obat-obatan yang diberikan Yasmin tadi.
"Kenapa Anda tidak memanggil dokter, Tuan?" tanya Aluna mulai membersihkan luka di lengan Noah dengan lembut.
Noah tersenyum miring, merasa sedikit terhibur dengan pertanyaan gadis itu.
"Lalu apa gunanya kamu sekarang? Bukankah kamu yang menawarkan diri tadi?" jawabnya dengan nada sedikit menggoda.
Aluna mengerucutkan bibir, merasa sedikit kesal dengan jawaban Noah yang selalu ketus dan tidak pernah manis. Namun, Aluna memilih untuk mengabaikannya. Kalau bukan karena ingin berterima kasih dan Yasmin menyuruhnya, mungkin Aluna juga tidak akan melakukan ini.
Hening kembali menyelimuti ruangan. Aluna fokus mengobati luka Noah, sementara Noah sendiri berusaha mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya.
'Kenapa lagi ini? Apakah jantungku sedang bermasalah? Kenapa terus berdebar setiap kali aku dekat-dekat dengan gadis ini?Apa aku harus pergi ke dokter untuk memeriksanya? Ataukah memanggil Sandrina saja? Tidak! Aku tidak mau ada orang yang menyentuhku. ' gumamnya dalam hati, merasakan ada yang aneh dalam dirinya.
"Tuan, bisakah Anda menunduk sedikit? Saya sedikit kesusahan," ucap Aluna, membuyarkan lamunan Noah.
Tubuhnya yang mungil membuatnya kesusahan menjangkau kepala bagian belakang pria itu.
Noah mendengus, sedikit kesal. "Kamu ini benar-benar berisik! Mirip sekali dengan Qu—" ucapan Noah terhenti.
Hampir saja ia menyebut nama Queen, seseorang yang berusaha dilupakannya namun selalu menghantui pikirannya.
"Ku siapa, Tuan? Kuman?" tanya Aluna penasaran.
"Jangan kepo!" potong Noah ketus, berusaha menutupi kegugupannya.
Aluna mendengus kesal dengan bibir sedikit monyong ke depan, sikapnya yang berubah sedikit bawel membuat Noah terdiam sejenak.
Dalam diam, Noah merasa aneh. Entah kenapa, ia merasa nyaman dengan kehadiran Aluna yang terus berceloteh seperti itu. Tidak ada protes, tidak ada teriakan, dan tidak ada bentakan sama sekali.
"Shh..." Noah meringis ketika Aluna mulai mengobati luka di bagian sikunya.
"Apa ini sakit, Tuan?" tanya Aluna dengan nada khawatir.
"Tidak," jawab Noah singkat.
"Lalu kenapa wajah Anda terlihat sedang menahan sakit?"
"Itu karena kamu terus bicara."
Aluna langsung menutup
mulutnya dan kembali fokus pada luka Noah. Setelah selesai, gadis itu menutup lukanya dengan perban.
"Nah, selesai. Sekarang tinggal pelipis, Tuan."
"Bukankah tadi sudah? Kenapa di bagian itu lagi?" Noah memicingkan mata, merasa curiga. "Kamu sengaja membuatnya lama supaya bisa terus dekat denganku dan membuat jantungku—"
Aluna mengernyit bingung, lagi-lagi Noah tidak melanjutkan ucapannya. Membuatnya semakin penasaran.
"Tadi kan kepala belakang Anda. Lalu siku dan sekarang pelipis Anda, Tuan," ucapnya dengan senyum mengembang, memperlihatkan deretan gigi rapinya.
"Baiklah, lakukan saja!" kata Noah malas berdebat. Pria itu memilih untuk mengalah, apalagi jika harus berhadapan dengan ras terkuat di bumi ini tidak pernah mau mengalah.
Fokus Noah tertuju pada belahan dada Aluna yang sedikit terekspos, membuatnya segera memalingkan wajah.
"Shit!" umpatnya dalam hati, merasa kesal pada dirinya sendiri karena terusik oleh pemandangan itu.
Jika terus seperti ini, Noah khawatir dirinya benar-benar bisa kehilangan kendali. Gaun yang dipakai Aluna memang tipis dan menerawang, membuat sisi liar Noah perlahan bangkit.
"Apa masih lama?"
"Sebentar lagi, Tuan," jawab Aluna, suara lembutnya begitu menenangkan. Aluna terus mengobati lukanya dengan telaten. Kedua benda kenyal itu hampir bergesekan dengan pipi Noah, membuat pria itu harus menahan diri.
"Nah, sekarang selesai, Tuan," Aluna berkata dengan senyum puas. Ia hendak bangkit, namun tiba-tiba Noah menahan pinggangnya.
"T—tuan, apa yang Anda lakukan?" tanya Aluna panik, terkejut dengan tindakan Noah yang tiba-tiba.
Noah tidak menjawab ucapan Aluna. Dia mendongak ke atas, menatap gadis itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Dalam hati, Noah berusaha melawan perasaan yang semakin menguasai dirinya.
"Apa kamu sedang berusaha menggodaku?" suara dingin dan datar Noah membelai pendengaran Aluna, membuat gadis itu semakin gugup.
"M–mana mungkin saya ingin menggoda Anda, Tuan. Bukankah saya sedang membantu Anda mengobati—"
Belum sempat Aluna menyelesaikan kalimatnya, Noah tiba-tiba menarik pinggang gadis itu hingga ia terduduk di pangkuannya.
Perlakuan Noah sontak membuat Aluna terkejut dan membeku di tempat. Ia tidak berani bergerak sedikit pun.
Rasanya seperti seluruh dunia mendadak berhenti berputar. Jantungnya berdegup kencang. Aluna tidak tahu harus berbuat apa ketika Noah menahannya di pangkuannya.
"Tuan..." ucap Aluna dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Noah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang dalam di balik mata dingin itu, sesuatu yang selama ini coba disembunyikannya. Rasa sakit, kehilangan, dan... mungkin sedikit harapan?
"Menikahlah denganku, Aluna," kata Noah tiba-tiba.
Aluna tertegun. Otaknya berusaha keras mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan oleh pria di depannya ini.
"Menikah?" ulang Aluna, seperti sedang memastikan bahwa ia tidak salah dengar.