Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Seorang Anak Tunggal (3)
Di sisi lain, Mega termenung di dalam ruangannya. Meski sibuk, wanita yang merupakan seorang psikolog itu masih sempat melamun. Kasus yang ia tangani cukup rumit. Luka yang tak terlihat oleh mata, ternyata jauh lebih sulit untuk disembuhkan.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu, berhasil menyadarkan Mega. Tak lama, muncul seorang wanita yang merupakan sahabat dekatnya.
"Mega," panggil wanita itu sembari menyunggingkan sebuah senyuman.
"Ah, Rima." Mega juga tersenyum menyambut kedatangan sahabatnya untuk menemui dirinya di rumah sakit tempatnya bekerja.
"Makasih, udah mau aku mintai tolong." Mega pun meraih sebuah tas berisi baju ganti.
"Kamu sibuk banget, yah?" ucap Rima sambil menyerahkan sebuah tas kepada sahabatnya. Ia juga membawakan bekal agar Mega tidak lupa makan.
"Lumayan. Tapi, kasusnya udah mulai terkuak dan aku juga udah ngumpulin berbagai analisisku di sini." Mega menunjukkan sebuah map berisi banyak berkas yang merupakan hasil kerja kerasnya selama menangani kasus keluarga Beentang.
"Wah, sejak awal aku udah yakin kalau kamu pasti bisa, meski belum banyak pengalaman menangani kasus seperti ini sebelumnya." Rima memuji kerja keras dari sahabatnya itu.
"Tapi, rasanya berat banget, Rim. Mungkin, ini kasus terakhir yang bisa aku tangani sebelum resign." Ucapan Mega barusan, membuat Rima terkejut. Padahal, menjadi seorang psikolog adalah cita-cita Mega sejak dulu. Tujuannya, agar tidak ada lagi kisah tentang bunuh diri yang dulu juga pernah terjadi di dekat Mega.
Nyawa bukanlah mainan! Maka dari itu, Mega sudah bertekad ingin membantu banyak orang yang memiliki masalah dalam jiwanya. Namun ternyata, kenyataan terasa lebih berat dari bayangan.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Rima penasaran. Ia mengusap lembut pundak sahabatnya itu.
"Ternyata, nggak mudah buat berhadapan langsung dengan orang yang bermasalah, di saat aku sendiri juga bermasalah. Setiap kali aku menemui bu Beta, tanganku terus bergetar. Aku benar-benar berusaha menahan diri di hadapan pasienku itu, Rim. Rasa bersalah dan ingatan tentang seseorang itu masih belum bener-bener menghilang dari kepalaku. Aku harus gimana?" Mega lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pekerjaannya itu sungguh telah membuat pikiran dan juga mentalnya kelelahan. Energinya terkuras habis.
"Yaudah, kalo gitu kamu berhenti aja. Jangan memaksakan diri, Meg. Aku tau niatmu baik, tapi kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri. Kamu inget, kan, sama kakak dari mendiang temen sekolah kita? Dan gimana keadaannya dulu? Kalau kamu terus tenggelam dalam rasa bersalah, hal itu hanya akan merugikan dirimu sendiri. Jadi, kamu mending berhenti aja, kalau emang udah nggak kuat. Aku pasti dukung semua keputusan kamu." Rima memeluk sahabatnya dari samping, berusaha untuk menenangkannya.
"Maaf, aku selalu ngerepotin kamu, Rim. Padahal, minggu depan kamu mau perjalanan jauh," ujar Mega, setelah Rima melepas pelukannya.
"Tenang aja, aku udah selesai persiapan, kok," jawab Rima sambil tersenyum manis hingga memunculkan kedua lesung pipitnya.
Mega tak pernah bosan melihat kedua pipi sahabatnya yang selalu berlubang setiap kali ia tersenyum. Lucu.
"Yaudah, kalo gitu aku mau pergi dulu. Hari ini, aku udah ada janji mau wawancara seseorang." Mega hendak pamit pergi. Ia memang sangat sibuk mengurus pekerjaannya.
"Wah, aku jadi bingung. Kamu itu psikolog, apa detektif, sih? Yaudah sana. Semangat!" Setelah mendengar ucapan Rima barusan, Mega pun segera berjalan keluar ruangan, hendak menemui seseorang.
Mega harus menangani kasus terakhirnya ini dengan baik, sebelum memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan yang baru ia dapatkan setelah menjadi lulusan terbaik di kampusnya dulu.
Selain menggunakan jalur dalam berkat koneksi dari orang tuanya, ia juga harus membuktikan kalau dirinya itu serius dalam bekerja dan bukanlah orang bodoh yang hanya hidup nyaman berkat bayang-bayang keluarga konglomerat.
Sebagai seseorang yang lahir di tengah keluarga pebisnis, Mega juga merasakan tuntutan. Namun, karena sifatnya sendiri juga keras, ia tetap memaksa ingin menjadi seorang psikolog.
Sekarang, ia jadi merasa malu kepada keluarga besarnya jika ia benar-benar mengambil keputusan untuk berhenti. Padahal, dulu ia sudah sangat menggebu-gebu soal menjadi psikolog. Sudahlah, ia tak mau memikirkannya lagi.
Masa depan, lebih baik pikir belakangan saja, karena tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi. Lebih baik, fokus menjalani apa yang sudah ada di depan mata. Begitulah prinsip hidup seorang Meganaro Domina.
Di sisi lain. Rima sedang termenung di dalam ruangan Mega, dan masih belum juga beranjak satu inci pun. Ia telah terdiam cukup lama di sana, sambil menyentuh dada kirinya.
Rima tiba-tiba dilanda perasaan gelisah. Entah kenapa, ia merasa enggan untuk pergi jauh. Padahal, ia telah membuat persiapan panjang demi bisa mendapatkan pekerjaan yang sudah lama ia impikan itu. Seakan, kakinya telah diborgol oleh sesuatu sehingga sangat sulit ia gerakkan.
Kala itu, Rima tidak tahu kalau perasan gelisah tersebut merupakan sebuah firasat.
...~~~...
Hari ini, merupakan momen pertemuan Mega dengan seluruh keluarga besar Beentang. Mereka berkumpul untuk mendengarkan dirinya yang hendak menyampaikan hasil dari tes psikologis dari istri mendiang Beentang Hermawan.
Mega juga berencana akan menyampaikan beberapa hal yang khusus ia tujukan kepada tuan dan nyonya Beentang, selaku orang tua sang mendiang.
Suasana di dalam ruangan tempat berkumpulnya seluruh keluarga besar itu juga tampak masih diselimuti suasana duka yang mendalam.
Sebelum Mega menyampaikan hasil analisisnya, ibunda sang mendiang tampak sudah tak bisa membendung air mata yang terus mengalir deras.
Tanpa banyak membuang waktu, Mega pun mulai menyampaikan seluruh analisisnya. "Langsung saja. Pertama, saya ingin menyampaikan hal ini kepada Tuan dan Nyonya Beentang. Sebagai orang tua sudah sewajarnya melepas anak yang telah dewasa. Kalian tidak bisa terus-menerus menyalahkan menantu kalian sendiri atas kematian mendiang Arwan. Tentu saja, bu Beta sendiri juga terkena dampak yang besar dari peristiwa ini. Seorang istri yang ditinggal pergi oleh suami yang dicintainya, pasti merasa sangat sedih. Apalagi, ditambah dengan fakta bahwa kematian itu atas keinginan dari sang mendiang sendiri. Rasa bersalah bukanlah hal yang mudah untuk ditaklukkan. Jadi, saya berharap kepada seluruh keluarga besar Beentang, untuk saling menguatkan satu sama lain, alih-alih saling menunjuk guna melimpahkan kesalahan." Mendengar ucapan Mega, seluruh keluarga besar yang hadir pun tampak saling menatap satu sama lain.
Mereka setuju dengan apa yang baru saja Mega ungkapkan. Sebagai sesama orang yang sedang berkabung, mereka tentunya harus saling menguatkan, dan bukan malah menambah keruh keadaan.
"Arwan dan Beta adalah dua orang yang telah dipertemukan oleh takdir. Bukan karena sebuah kesalahan, seperti yang dulu sempat bu Beta katakan kepada saya." Mega melirik sekilas ke arah Beta yang juga ikut hadir di dalam ruangan itu. Wanita itu tampak berwajah datar dengan kedua mata yang terlihat sembab.
"Latar belakang maupun status, tidak dapat menghalangi takdir yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Betavia Candra merupakan seorang wanita yang tumbuh di tangah keluarga dengan ekonomi sulit dan mengharuskan dirinya bekerja keras. Dan akhirnya, ia telah dipertemukan dengan mendiang Arwan yang merupakan seorang pria kaya, namun hidupnya penuh dengan tanggung jawab dan beban. Mereka memang sangat berbeda." Mega, kali ini mulai membahas soal hubungan antara sang mendiang dengan istrinya.
"Namun, kesalahan yang telah mereka buat adalah kurangnya komunikasi dan kepercayaan sebagai pasangan suami istri. Dalam sebuah hubungan, tidak cukup hanya dengan cinta. Prasangka baik terhadap pasangan juga sangat diperlukan. Hal ini juga berlaku dalam hubungan orang tua dengan anak, maupun hubungan antar saudara. Dengan begitu, tentu akan menumbuhkan rasa saling percaya antar sesama." Mega tampak membalik kertas yang sedang berada di genggamannya.
"Dalam kasus ini, bu Beta terlalu membatasi dirinya sendiri dan memilih untuk tidak mengusik kehidupan suaminya. Dia seakan sedang membangun sebuah tembok transparan, antara dirinya dengan sang suami." Beta mendengarkan penjelasan Mega dengan air mata yang mulai mengalir tanpa henti. Penyesalan dalam dirinya, belum kunjung memudar.
Beta berpikir, jika seandainya ia dulu lebih memperhatikan sang suami, pasti peristiwa ini tidak akan terjadi. Namun terlambat. Waktu tidak dapet diputar kembali. Penyesalan memang selalu datang terlambat, bak pahlawan kesiangan.
Mega sedikit memutar tubuhnya, guna menghadap ke arah tuan dan nyonya besar Beentang. "Sedangkan mendiang Arwan, sebagai lelaki ia terlalu merasa bahwa tanggung jawab besar hanya berada di tangannya, sehingga dia telah melupakan satu hal yang lebih penting. Yaitu, kebahagiaan keluarga bukan hanya dilimpahkan dalam bentuk materi saja. Keutuhan dan ketentraman keluarga juga sebuah kebahagiaan yang tidak dapat dibeli dengan uang. Karena dipengaruhi oleh gaya hidupnya yang sejak kecil telah berkecukupan, sang mendiang pun merasa dirinya juga harus melimpahkan hal yang sama pada keluarga barunya."
Mega mengambil sebuah tarikan napas panjang, sebelum kembali melanjutkan presentasinya. "Selain itu, berkat kekangan dari orang tua, mendiang Arwan yang merupakan seorang anak tunggal itu pun, tumbuh menjadi karakter yang mandiri dan tidak terbiasa hidup bergantung kepada orang lain, termasuk pada istrinya sediri. Sehingga, ketika menghadapi sebuah masalah yang di luar kemampuannya, ia tetap tak bisa bersandar kepada orang lain dan memilih untuk menyelesaikannya sendiri dengan berbagai cara. Seorang yang mandiri, memang karakter yang baik jika tidak terlalu memforsir diri secara berlebihan. Kebiasaan memang sulit diubah, meski juga bukan hal yang mustahil jika mau berusaha keras." Penjelasan panjang dari Mega telah disampaikan dengan baik. Orang tua sang mendiang juga tampak mengangguk paham.
Ayah dan ibunda almarhum Arwan, mengakui bahwa mereka telah mendidik anaknya terlalu keras.
Ketika Mega menjeda perkataannya, suasana di dalam ruangan itu jadi sangat hening. Semua orang telah tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing
Embusan napas panjang, datang dari mulut Mega. Wanita itu sempat menutup matanya sejenak, guna menahan rasa pusing yang tiba-tiba ia rasakan. Karena kurang istirahat dan makan, ia pun jadi terserang anemia.
"Semuanya, mari kita membuat kesepakatan, agar peristiwa ini jangan sampai kembali terbuka dan menimbulkan luka di kemudian hari. Kita harus memikirkan para anggota keluarga yang ditinggalkan, terutama para putra dan putri dari mendiang Arwan. Mereka adalah korban. Masa depan mereka masih sangat panjang. Jangan sampai, peristiwa ini menghalangi tumbuh kembang mereka. Meski ada kemungkinan untuk sulit dicegah, tetapi mari kita tetap berusaha yang terbaik agar berita ini tidak kembali mencuat ke publik. Kejadian ini, merupakan sebuah duka. Saya mengerti karena juga pernah mengalami hal yang sama. Jadi, mari kita saling menguatkan. Sekian."
Berakhir. Demikianlah sederet analisis yang telah Mega buat dengan susah payah, hingga akhirnya bisa tersampaikan kepada seluruh anggota keluarga Beentang.
Dengan begitu, kasus keluarga konglomerat itu pun ditutup dan tak pernah diberitakan kembali. Ini semua demi anak-anak yang ditinggalkan oleh sang mendiang.
Beentang Desian, Beentang Brian dan Beentang Lilian, merupakan korban terbesar dari kisah seorang pria yang menghabisi nyawanya sendiri demi kesejahteraan keluarganya, agar mendapat dana asuransi jiwa.
Suatu perbuatan yang sangat salah. Kasih sayang dari seorang ayah juga tidak bisa dibeli dengan uang. Dan tidak ada toko manapun di dunia ini yang menjual 'sosok ayah'.
Seandainya, ketiga anak itu diberi pilihan, akankah mereka akan merelakan nyawa ayahnya?
Jawabannya sudah pasti, sehingga tidak perlu disebutkan di sini.
Begitulah, kisah akhir dari perjalanan hidup seorang Beentang Hermawan. 'Happy Ending' hidupnya, telah ia tukar dengan lembaran uang yang tidak ada artinya.
...~...
Dear Beta, wanita terkasihku.
Maafkan keputusan bodohku ini. Aku yakin, diriku di alam selanjutnya, pasti akan sangat menyesali tindakan ini.
Jadi kumohon, berbahagialah bersama anak-anak kita. Izinkan aku melihat tawa kalian dari tempat yang jauh.
Jangan bersedih akan kepergianku. Meski ragaku tidak berada bersamamu, tetapi cintaku akan selalu menyertaimu.
^^^Arwan^^^