Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Persetujuan Alvano
Areta baru saja masuk ke rumah dengan wajah berseri-seri, masih teringat momen manis bersama Daniel. Ia melepas sepatu haknya dan berjalan ke ruang tamu, mendapati Miranda sibuk membongkar belanjaannya di sofa. Berbagai tas belanja dari butik-butik ternama tersebar di meja.
"Mama habis dari mall lagi?" tanya Areta sambil duduk di samping ibunya. "Wah, belanjaannya banyak banget! Mama beli apa aja?"
Miranda tersenyum puas, mengambil salah satu gaun yang baru saja ia beli. "Tentu saja, Mama beli banyak. Kamu lihat, ini gaun baru Mama. Bagus, kan? Dan lihat kalung ini! Cocok nggak sama Mama?"
Areta mengangguk dengan tatapan iri. "Bagus banget, Ma! Tapi kok Mama nggak ngajak aku?"
Miranda melirik putrinya dengan senyum geli. "Kamu kan sibuk pacaran sama Daniel. Masa Mama ganggu waktu kalian berdua"
Areta manyun mendengar itu, tapi matanya berbinar seolah baru teringat sesuatu. "Eh, Ma, tadi aku ketemu Aqila."
Mata Miranda langsung membulat kaget. "Aqila? Dia masih hidup?"
"Iya, Ma. Dan kelihatannya dia baik-baik aja sekarang." Areta menatap ibunya, senyumnya menyiratkan niat jahat. "Tadi aku sempat nyamperin dia. Aku bilang Daniel sekarang pacar aku, dan... dia nangis, Ma!" Areta terkekeh puas. "Aku senang banget lihat dia tersiksa kayak gitu."
Miranda ikut tertawa, tapi raut wajahnya berubah menjadi penuh kebingungan. "Kalau dia baik-baik saja, dia tinggal di mana? Kan dia nggak punya siapa-siapa lagi selain kita?"
Areta mengangkat bahu acuh. "Aku nggak tahu, Ma. Tapi biarin aja dia, yang penting dia nggak balik ke kehidupan kita lagi."
Miranda mengangguk setuju, senyum licik menghiasi wajahnya. "Benar juga. Mama nggak peduli lagi sama dia. Yang penting, semua uangnya sekarang milik kita. Dia sudah nggak punya apa-apa lagi."
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, seolah kemenangan ada di tangan mereka. Miranda tampak sangat puas dengan hidupnya sekarang, sementara Areta menikmati setiap detik dari penderitaan Aqila. Di tengah ruangan itu, kebahagiaan mereka terasa begitu palsu, penuh dengan keserakahan dan rasa puas yang didapat dari menjatuhkan orang lain.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Aqila duduk termenung di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Sudah dua hari ia tidak melihat Alvano di rumah. Kebingungan memenuhi pikirannya. Kemana perginya Kak Vano? pikirnya. Apakah ada sesuatu yang terjadi? Ataukah ia sedang bermasalah dengan Om Dimas? Terakhir kali, ia melihat Alvano dipanggil papanya untuk membicarakan sesuatu yang penting.
Saat tengah asyik merenung, suara lembut mengagetkannya.
“Qila, kamu kenapa ngelamun?” suara Ratna terdengar lembut, membuyarkan lamunannya.
“Hah, aku nggak papa, Tante,” jawab Aqila gugup, mencoba menyembunyikan pikirannya.
Ratna tersenyum, menatap gadis itu dengan penuh kasih. “Cerita sama Tante, nak. Jangan pendam semua masalah sendiri. Tante siap dengerin kok.”
Aqila menggeleng cepat. “Hmm, nggak papa kok, Tante. Aku cuma ngerasa rumah ini sepi sekarang.”
Mendengar itu, Ratna tersenyum penuh arti. “Tante tau kamu pasti mikirin Vano, ya. Kenapa udah dua hari ini dia nggak ada di rumah,” ucapnya menggoda.
Wajah Aqila langsung memerah. Pipi gadis itu tampak bersemu malu.
“Bu… Bukan, Tante. A… Aku cuma…” jawabnya gugup, mencoba menyangkal.
Ratna tertawa kecil. “Tante paham kok, sayang. Udah nggak usah malu. Dia nggak pulang mungkin karena dia lagi sibuk mikirin tentang perjodohan kalian.”
“Ha? Perjodohan?” Aqila membulatkan matanya, terkejut mendengar ucapan itu.
“Maksud Tante?” tanyanya, bingung.
Ratna menoleh ke arah pintu ruang tamu, di mana Dimas baru saja datang dan duduk di sebelahnya.
“Iya, Qila. Kamu tau kan kemarin Om sempat ngajak Vano bicara? Om ngebahas tentang perjodohan kalian,” ucap Dimas dengan suara berat tapi lembut.
“Maksud Om dan Tante… kalian berdua ngejodohin aku dan Kak Vano?” Aqila bertanya dengan suara lirih, masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Dimas dan Ratna mengangguk bersamaan.
“Iya, Aqila. Om dan Tante merasa kalian berdua cocok. Kamu gadis yang baik, patuh, lembut, dan sangat sesuai dengan Vano. Selain itu, Om juga ingin memenuhi janji Om terhadap papamu,” jelas Dimas.
“Ja… Janji?” Aqila bertanya, semakin bingung.
Dimas tersenyum kecil, mengenang masa lalu. “Iya, janji. Dulu, saat kamu masih dalam kandungan, dan Vano baru berusia dua tahun, Om dan almarhum papamu pernah membuat kesepakatan. Kami berjanji untuk menjodohkan anak-anak kami. Om berjanji pada papamu untuk menjaga kamu jika suatu saat terjadi sesuatu padanya.”
Aqila terdiam. Ia mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Dimas. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya.
“Qila, kamu mau kan menerima perjodohan ini dan menikah dengan Vano?” tanya Ratna dengan lembut. “Tante yakin dia bisa menjaga kamu dan menyayangi kamu. Dia anak yang baik.”
“Tapi, Tante… apa Kak Vano mau nerima aku?” Aqila menunduk. “Dia dan aku kan berbeda. Aku cuma gadis biasa, sedangkan Kak Vano… dia terlalu sempurna,” ucapnya lirih, sadar diri bahwa ia merasa tak sebanding dengan Alvano.
Ratna tersenyum, menggenggam tangan Aqila dengan lembut.
“Kamu jangan ngomong seperti itu, nak. Alvano itu nggak mandang wanita dari statusnya. Kamu gadis baik. Kenapa Alvano nggak suka sama kamu? Tante yakin dia melihat kebaikan hatimu,” ucap Ratna, mencoba menyemangati.
Namun, Aqila hanya menggeleng pelan. Ia merasa dirinya tak pantas bersanding dengan pria seperti Alvano. “Tapi… aku nggak yakin Kak Vano bakal mau nerima…”
Ucapan Aqila terhenti saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Semua menoleh, dan di sana, Alvano muncul di depan mereka.
“Aku terima.”
Ketiga orang di ruang tamu menatap Alvano dengan terkejut. Ratna dan Dimas saling pandang, wajah mereka berubah penuh kebahagiaan. Namun, Aqila hanya menggeleng pelan, merasa tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Aku terima perjodohan ini,” ulang Alvano, menatap langsung ke arah Aqila. Wajahnya penuh keyakinan, meskipun dalam hatinya, ia tahu masih banyak hal yang harus ia pikirkan.
Ratna tersenyum lebar, menepuk pelan bahu Alvano. “ mama yakin ini keputusan yang tepat, Van.”
Namun, Aqila masih terdiam, hatinya berdebar kencang. Apa ini benar-benar nyata? Apakah Alvano benar-benar menerima dirinya? Atau ini hanya demi memenuhi permintaan orang tuanya? Berbagai pertanyaan terus berputar di kepalanya, membuatnya sulit untuk berkata apa-apa.
Ta... tapi, Kak, aku ini cuma gadis biasa. Aku nggak akan pernah pantas bersanding sama Kakak. Aku..." ucap Aqila lirih, menundukkan wajahnya, tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Namun, sebelum ia selesai berbicara, Alvano mendekat dan berlutut di depannya,"Qila," panggilnya, suaranya terdengar dalam dan penuh kehangatan, membuat Aqila terdiam.
"Kamu itu gadis luar biasa. Kamu baik, tulus, dan lembut. Kamu mungkin nggak menyadarinya, tapi kamu sudah membuat aku merasa ingin selalu melindungi dan membahagiakanmu." Alvano menghela napas, lalu melanjutkan, "Aku nggak peduli dengan status atau apapun itu. Yang aku peduli, kamu ada di sini, bersama aku. Aku nggak mau kamu meragukan dirimu sendiri lagi, karena bagi aku, kamu lebih dari pantas."
Mata Aqila membulat mendengar kata-kata itu. Dadanya berdebar, namun ia masih tak percaya. "Tapi, Kak Vano... aku nggak yakin aku bisa... aku takut aku malah merepotkan Kakak dan keluarga."
Alvano tersenyum tipis, menatapnya dengan lembut. "Kalau aku nggak yakin, aku nggak akan berdiri di sini sekarang, Qila. Aku sudah memutuskan. Aku terima perjodohan ini karena aku percaya, kita bisa saling melengkapi. Jadi, mulai sekarang, jangan ragu lagi. Oke?"
Aqila menatapnya dalam, mencoba mencari kepastian di mata pria itu. Namun tatapan Alvano terlalu jujur, terlalu tulus untuk diragukan. Dengan perlahan, ia mengangguk.
"jadi kamu menerima perjodohan ini Aqila? " tanya dimas memastikan.
Aqila terdiam beberapa saat, pandangannya sesekali mencuri lihat ke arah Alvano. Akhirnya, dengan suara pelan dan ragu, ia berkata, "Aku... aku menerima perjodohan ini, Tante, Om. Aku rasa ini keputusan yang terbaik. Selain itu... aku juga ingin memenuhi wasiat Papa sebagai tanda baktiku pada beliau."
Ratna langsung memeluknya dengan penuh kasih. "Terima kasih, Nak. Tante yakin kamu dan Vano akan jadi pasangan yang saling melengkapi."
Dimas tersenyum bangga. "Kalau begitu, kita mulai mempersiapkan semuanya. Kita rencanakan pernikahan kalian minggu depan."
Aqila terkejut mendengar itu. "Mi... minggu depan?" tanyanya pelan.
Ratna mengangguk. "Iya, sayang. Kami ingin semua segera terlaksana dengan baik. Kami akan menyiapkan pesta pernikahan yang indah untuk kalian."
Namun, Aqila buru-buru menimpali, "Tante, Om, kalau boleh aku minta... aku ingin pernikahannya sederhana saja. Cukup dihadiri orang-orang terdekat. Aku nggak mau kalau nanti terlalu banyak orang tahu. Aku takut orang-orang yang nggak suka padaku malah mencoba merusak kebahagiaan ini... atau menyakiti keluarga Kak Vano."
Ratna dan Dimas saling berpandangan, lalu tersenyum. "Baik, Qila. Kalau itu yang membuatmu merasa nyaman, kami setuju. Yang penting, pernikahan ini penuh berkah dan kebahagiaan."
Alvano menatap Aqila dengan senyum hangat setelah perjodohan mereka diterima. Ia tampak lebih tenang, seolah bebannya sedikit berkurang. Namun, ada satu hal yang ingin ia pastikan sebelum mereka melangkah lebih jauh.
Alvano menatap Aqila dengan tatapan lembut, senyuman kecil tersungging di bibirnya. "Qila," panggilnya, membuat gadis itu menoleh pelan. "Aku mau tanya. Sebelum semuanya kita persiapkan, kamu ingin aku memberikan mahar apa untuk kamu?"
Aqila tampak kikuk, kepalanya menunduk. "Aku… terserah kakak saja. Aku nggak tahu harus minta apa," ucapnya pelan, pipinya merona malu.
Ratna, yang duduk di sebelah Aqila, menggenggam tangan gadis itu dengan lembut. "Sayang, kamu jangan bilang terserah. Ini hak kamu, dan Alvano ingin memastikan dia memberikan sesuatu yang benar-benar kamu inginkan. Jangan takut untuk bilang."
"Iya, Qila," tambah Dimas. "Kamu boleh minta apa pun. Alvano itu akan senang kalau tahu apa yang bisa dia berikan untuk kamu."
Aqila masih bingung, tapi akhirnya ia mencoba berbicara. "Aku... aku benar-benar nggak tahu harus minta apa. Aku nggak terbiasa meminta. Apa saja yang kak Alvano kasih, aku pasti terima."
Alvano tersenyum kecil mendengar jawaban Aqila yang begitu sederhana. Ia lalu menatap kedua orang tuanya sejenak sebelum kembali menatap Aqila. "Kalau begitu, aku yang akan memutuskan. Tapi aku ingin kamu tahu, ini bukan sekadar hadiah atau simbol. Ini janji aku buat kamu."
Semua mata tertuju pada Alvano. Suaranya yang tenang tapi penuh keyakinan membuat suasana menjadi lebih serius.
"Aku akan memberikan kamu sebuah rumah besar di pinggir kota, dekat danau yang tenang. Rumah itu akan jadi tempat kamu merasa aman dan nyaman. Aku akan pastikan rumah itu punya taman luas penuh bunga favorit kamu, supaya setiap kali kamu melihatnya, kamu merasa hidup kita akan selalu penuh keindahan."
Aqila menatap Alvano dengan mata yang sedikit membesar. "Rumah besar? Kak, itu terlalu berlebihan. Aku nggak pantas menerima semua itu," ujarnya pelan.
"Tidak ada yang berlebihan untuk orang yang ingin aku lindungi dan bahagiakan seumur hidup," jawab Alvano tegas, membuat Aqila tak bisa berkata-kata.
Orang tua Alvano tersenyum penuh haru mendengar ucapan putra mereka. Ratna lalu berkata, "Qila, kamu nggak perlu ragu. Apa yang Alvano tawarkan ini adalah bentuk kesungguhannya. Tante yakin kamu pantas untuk itu semua."
"Tapi itu belum semuanya," tambah Alvano, membuat semua yang ada di ruangan kembali memperhatikannya.
"Apa itu, Kak?" tanya Aqila akhirnya, suaranya bergetar pelan.
Alvano tersenyum, kali ini dengan tatapan penuh makna. "Aku akan memberikan kalung berlian keluarga ini. Kalung ini dulu milik nenekku, yang kemudian diwariskan pada ibuku. Kalung ini adalah simbol cinta dan kepercayaan di keluarga kami. Aku ingin kamu memilikinya, sebagai tanda bahwa kamu adalah bagian dari hidupku, bagian dari keluarga ini, selamanya."
Mata Aqila mulai berkaca-kaca, hatinya bergetar mendengar ketulusan Alvano. "Kak... aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi... terima kasih. Aku merasa dihargai lebih dari yang aku bayangkan."
"Yang aku butuhkan cuma satu, Qila," ucap Alvano sambil menatapnya dalam-dalam. "Aku ingin kamu percaya sama aku. Aku ingin kamu tahu bahwa aku serius untuk menjaga kamu, apa pun yang terjadi."
Aqila mengangguk pelan, masih terisak kecil. "Aku percaya, Kak. Terima kasih."
"Tapi aku juga ingin tahu," lanjut Alvano sambil menatap Aqila penuh perhatian. "Selain itu, apa ada sesuatu yang lebih pribadi? Sesuatu yang mungkin lebih kamu inginkan?"
Aqila menggeleng pelan, tapi senyumnya mulai merekah. "Aku cuma ingin... kakak bisa jadi imam yang baik buat aku. Itu saja cukup."
Ruangan menjadi hening sejenak. Kata-kata Aqila begitu sederhana, tapi memiliki makna yang mendalam. Alvano mengangguk dengan tatapan penuh tekad.
"Insya Allah, aku akan jadi imam yang baik buat kamu," ucapnya yakin.
Dimas dan Ratna tersenyum bahagia. "Kalau begitu, semuanya sudah jelas," ucap Dimas. "Kita tinggal mempersiapkan pernikahan kalian. Kami semua ingin ini menjadi awal yang baik untuk kalian berdua."
Aqila mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. Ia tahu bahwa keputusan ini adalah jalan terbaik, bukan hanya untuk memenuhi wasiat ayahnya, tapi juga karena ia mulai merasakan ketulusan dari seorang Alvano.