Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 21 Nadia Menghubungi Reza
Setelah melangkah keluar dari tempat itu, udara malam yang dingin langsung menyapa kulitnya. Nadia bergegas menuju mobilnya, merasa ada campuran perasaan bingung, terluka, dan marah yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Ia membuka pintu mobilnya, duduk di kursi pengemudi, dan menghela napas panjang sebelum menyalakan mesin.
Cahaya lampu jalan menerangi wajahnya yang tampak kusut. Di dalam mobil, suasana terasa hening, hanya diiringi bunyi mesin yang samar. Nadia memandangi kemudi dengan tatapan kosong sebelum akhirnya menggerakkan mobil perlahan meninggalkan tempat itu.
Di perjalanan, pikirannya terus bergelut. **"Kenapa Reza berpura-pura miskin saat kita bersama? Apa yang sebenarnya dia sembunyikan dariku?"**
Kenangan bersama Reza kembali menghantui benaknya. Saat-saat mereka berbagi tawa, makan di warung sederhana, hingga Reza yang selalu bersikap rendah hati seolah hidupnya sederhana. Semua itu kini terasa seperti kebohongan besar.
Namun, di tengah kebingungannya, Nadia tidak bisa menepis bahwa ia masih menyimpan perasaan untuk Reza. Bagaimanapun juga, cinta yang mereka miliki dulu begitu kuat, membuatnya sulit untuk sepenuhnya membenci pria itu.
Ia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Di setiap lampu merah yang ia lewati, Nadia melirik jam di dashboard mobilnya. Sudah hampir tengah malam. Jalanan kota yang mulai lengang memberinya sedikit ketenangan, tetapi tidak untuk pikirannya yang terus berputar.
**"Jika benar yang dikatakan Hendrik, berarti Reza tidak pernah sepenuhnya jujur padaku,"** gumamnya pelan. **"Tapi kenapa dia memilih hidup seperti itu? Apa yang membuatnya mengambil jalan itu?"**
Nadia menggelengkan kepala, mencoba mengusir semua pikiran itu. Fokusnya kini hanya ingin sampai di apartemennya dan beristirahat. Tapi, rasa bingung dan kecewa itu terus merongrong hatinya, membuat perjalanan pulang terasa lebih panjang dari biasanya.
**Nadia: Di Ambang Bahaya**
Mobil melaju dengan kecepatan sedang di jalanan yang mulai sepi. Nadia memegang setir dengan tangan yang gemetar. Pikirannya penuh dengan konflik batin yang tak kunjung mereda.
**"Reza… Mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa kau berpura-pura miskin? Dan mengapa aku masih peduli padamu setelah semua kebohongan itu?"** pikirnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Kilatan lampu jalanan yang melewati kaca depan terasa seperti bayangan-bayangan ingatan yang tidak ingin ia ingat. Nadia begitu larut dalam pikirannya hingga tak menyadari bahwa mobil di depannya berhenti mendadak karena lampu merah.
Terlambat menyadari, Nadia menginjak rem dengan keras. Ban mobilnya berdecit panjang, dan tubuhnya terdorong ke depan karena tekanan mendadak. Mobilnya berhenti hanya beberapa sentimeter dari bemper belakang mobil di depannya.
Jantung Nadia berdegup kencang, dan napasnya terengah-engah. Ia memegang dada, mencoba menenangkan diri dari keterkejutan yang baru saja dialaminya.
**"Astaga... aku hampir menabrak,"** gumamnya dengan suara bergetar.
Pengemudi mobil di depannya sempat melongokkan kepala dari jendela, tetapi tidak berkata apa-apa. Nadia hanya mengangguk sebagai tanda permintaan maaf sebelum lampu berubah hijau.
Saat melanjutkan perjalanan, Nadia memperlambat laju mobilnya. Peristiwa barusan membuatnya sadar bahwa pikirannya yang kacau bisa membahayakan dirinya sendiri.
**"Aku tidak boleh seperti ini,"** katanya kepada dirinya sendiri. **"Apa pun yang terjadi, aku harus tetap fokus. Kalau aku terus tenggelam dalam perasaan ini, aku akan membuat masalah baru untuk diriku sendiri."**
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Jalanan menuju apartemennya kini terasa lebih panjang dari biasanya. Rasa lelah dan campur aduk emosi semakin menekan dirinya.
Namun, satu hal yang pasti, Nadia tahu bahwa semua kekacauan ini harus ia hadapi. Meski sulit, ia harus menemukan cara untuk mendapatkan kejelasan tentang Reza dan memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Ketika mendekati apartemennya, Nadia menyalakan lampu sein, memasuki area parkir basement. Setelah memarkir mobil, ia mematikan mesin, tetapi tidak langsung keluar. Dia duduk diam sejenak, menunduk, dan menarik napas dalam-dalam.
**"Aku butuh jawaban, Reza. Jika kau benar-benar ingin kembali ke hidupku, kau harus memberiku alasan yang cukup kuat untuk memaafkan semua ini,"** katanya pelan, seolah berbicara pada bayangan Reza yang ada di benaknya.
Setelah beberapa menit, Nadia keluar dari mobil dan berjalan menuju lift. Meski tubuhnya lelah, pikirannya masih penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Di dalam lift, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya tampak lelah, tetapi ada tekad baru di sana.
Sesampainya di apartemen, Nadia tahu bahwa malam ini tidak akan menjadi malam yang tenang. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri, apa pun yang terjadi, ia harus mencari kebenaran tentang Reza, tak peduli seberapa pahit kenyataan itu.
Begitu masuk ke dalam, Nadia langsung melepas sepatu hak tinggi dan melempar tasnya ke sofa. Ia berjalan menuju kamar tanpa menyalakan lampu, hanya diterangi oleh pancaran samar dari lampu jalanan yang menembus tirai jendelanya.
Di kamar, Nadia melepas gaun yang tadi ia kenakan dan mengenakan pakaian tidur yang nyaman. Tanpa pikir panjang, ia berbaring di tempat tidur, membenamkan wajahnya di bantal yang lembut.
Namun, rasa penat dan kekacauan pikirannya membuatnya sulit untuk merasa tenang.
"Reza... Hendrik... semuanya," gumam Nadia pelan dengan suara hampir tak terdengar. "Mengapa hidupku jadi serumit ini?"
Tetapi tubuhnya terlalu lelah untuk terus merenung. Pelan-pelan, pikirannya mulai memudar, dan rasa kantuk mengambil alih. Dalam hitungan menit, Nadia terlelap dengan napas yang mulai teratur.
Malam itu, meski pikirannya penuh dengan pertanyaan dan luka, tidur menjadi pelariannya. Hanya di dalam mimpi, Nadia bisa melupakan sementara kenyataan yang rumit dan mencari ketenangan yang selama ini terasa jauh.
Keesokan Pagi
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela kamar Nadia, membangunkannya dari tidur yang tidak nyenyak. Tubuhnya masih terasa lelah, tetapi pikirannya sudah mulai penuh dengan berbagai pertanyaan yang mendesaknya sejak semalam. Dengan langkah berat, ia meraih ponselnya di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Setelah menatap layar sejenak, Nadia membuka kontak Reza. Jemarinya ragu-ragu mengetik pesan.
"Reza, aku perlu bicara. Aku ingin tahu lebih banyak tentang masa lalumu. Kapan kita bisa bertemu?"
Ia menatap pesan itu beberapa detik sebelum akhirnya menekan tombol "Kirim". Setelah mengirim pesan, Nadia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah balasan dari Reza muncul di layar.
"Aku juga ingin bicara. Bagaimana kalau malam ini? Aku akan menjemputmu."
Nadia membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa pertemuan ini akan membawa jawaban, tetapi mungkin juga membawa luka baru.
"Baik, aku akan menunggumu," balas Nadia singkat.
Setelah itu, ia bangkit dari tempat tidur, menuju kamar mandi untuk memulai harinya. Sementara air hangat menyentuh kulitnya, pikirannya terus berputar. Apa yang sebenarnya disembunyikan Reza darinya? Apakah dia siap menghadapi kebenaran?
Hari itu, Nadia mencoba mengalihkan pikirannya dengan aktivitas lain, tetapi rasa penasaran terus membayanginya. Malam ini, semua teka-teki akan mulai terungkap.
Pagi itu, setelah menghubungi Reza, Nadia memutuskan untuk melakukan jogging di taman dekat apartemennya. Ia mengenakan pakaian olahraga simpel legging hitam dan kaus putih longgar serta sepasang sepatu lari favoritnya.
Udara pagi terasa segar, meskipun sedikit dingin. Nadia memasang earphone, membiarkan alunan musik yang menenangkan mengiringi langkahnya. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti cara untuk melepas beban di pikirannya.
Saat ia berlari mengelilingi taman, pikirannya terus melayang ke berbagai hal: masa lalunya dengan Reza, penjelasan dari Hendrik, dan rasa bingung yang masih menggelayut. Tapi, ada sesuatu yang menenangkan dari ritme langkah kakinya dan udara pagi yang menyentuh wajahnya.
Setelah sekitar tiga putaran, ia berhenti di bangku taman, mengatur napas sambil menatap langit yang mulai cerah. Ia melihat beberapa orang yang juga berolahraga, pasangan yang membawa anjing, dan anak-anak yang bermain. Kehidupan terasa sederhana di sini, berbeda dengan kekacauan emosional yang sedang ia alami.
"Aku harus tetap tenang," gumam Nadia pada dirinya sendiri, mengambil sebotol air minum dari tasnya. "Apa pun yang terjadi nanti, aku harus tahu apa yang benar-benar aku inginkan."
Setelah duduk beberapa saat, Nadia merasa sedikit lebih ringan, Ia kembali berjalan pelan.
Setelah selesai jogging di taman, Nadia memutuskan untuk singgah di sebuah kedai kopi kecil yang terletak di ujung jalan. Tempat itu memiliki suasana yang tenang, dengan aroma kopi yang kuat dan lantunan musik jazz yang lembut di latar belakang.
Dia memesan secangkir cappuccino dan duduk di dekat jendela, memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di luar. Dalam keheningan, pikirannya kembali berputar pada semua hal yang terjadi belakangan ini pesan Reza, pertemuannya dengan Hendrik, dan informasi mengejutkan tentang masa lalu Reza.
“Kenapa semuanya terasa begitu rumit?” gumam Nadia sambil mengaduk kopinya perlahan.
Dia mengingat kembali momen-momen saat Reza dulu berpura-pura menjadi seseorang yang sederhana. Semua tampak begitu tulus, atau setidaknya itulah yang dia pikirkan. Tapi sekarang, segala sesuatu tentang Reza terasa seperti teka-teki besar yang sulit dipecahkan.
Sambil menyesap kopinya, Nadia mulai bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya dia cari dari pertemuannya dengan Reza nanti.
- Apakah dia hanya ingin mendapatkan jawaban?
- Atau mungkin, di lubuk hatinya, dia masih ingin memberi Reza kesempatan kedua?
Suasana tenang di kedai itu membantunya untuk berpikir lebih jernih. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi... apa aku siap dengan semua jawaban yang mungkin kudengar?” pikir Nadia, matanya menerawang.
Setelah beberapa waktu berlalu, Nadia menyelesaikan kopinya dan melirik jam tangan. Hari masih pagi, tetapi pikirannya sudah terasa penuh. Dia memutuskan untuk kembali ke apartemen dan bersiap untuk menghadapi apapun yang mungkin terjadi selanjutnya.
Tidak lama setelah itu, Nadia menghabiskan waktu sekitar setengah jam di kedai kopi, mencoba mengalihkan pikiran dari pertemuan sebelumnya dengan Hendrik. Meskipun perasaan bingung dan cemas masih menguasai dirinya, ia berusaha untuk menenangkan hati dengan menikmati suasana santai.
Setelah memutuskan untuk kembali ke apartemen, Nadia berjalan keluar dari kedai kopi dan menuju ke taman terdekat untuk menikmati sedikit lebih banyak udara segar. Ia melewati beberapa jalur pejalan kaki, berjalan dengan langkah santai namun pikirannya tetap berkelana, memikirkan percakapan yang baru saja terjadi.
Setibanya di apartemennya, Nadia merasa kelelahan fisik setelah jogging dan sedikit melepas penat dari kebingungannya. Dia masuk ke dalam gedung dan berjalan menuju lift, merasakan keheningan yang menyelimuti seluruh lantai apartemennya.
Sesampainya di apartemen, Nadia melepaskan pakaian olahraganya dan menggantinya dengan pakaian santai yang lebih nyaman. Setelah itu, dia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, merasakan air hangat yang menenangkan tubuhnya.
Setelah selesai mandi, Nadia duduk sejenak di sofa, mencoba mengatur pikiran. Lalu, dengan ketenangan yang baru, ia memutuskan untuk mengerjakan beberapa hal di laptop sebelum istirahat. Namun, hatinya masih dipenuhi rasa cemas tentang pertemuan dengan Hendrik dan Reza yang masih terus mengusik.
Pada akhirnya, Nadia memutuskan untuk beristirahat dan tidur lebih awal, membiarkan pikirannya beristirahat dari semua kebingungan yang ada. Ia menarik selimut dengan perlahan, Akhirnya ia tertidur lelap dengan harapan agar nanti malam bisa membawa jawaban yang lebih jelas.