Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Happy Ending? (1)
Tidak terasa, kini aku sudah berusia dua puluh tujuh tahun.
Setelah menjadi lulusan terbaik di Universitas favorit, aku juga berhasil melewati masa magang yang singkat di sebuah perusahaan kecil. Aku berhenti dari sana, bukan karena dikeluarkan atau dipecat. Aku mengundurkan diri atas kemauanku sendiri, karena merasa kurang puas.
Ya, aku telah menaikkan target, dengan mengincar sebuah perusahaan yang jauh lebih besar dari tempatku bekerja sebelumnya. Aku berencana melamar pekerjaan di sana sebagai seorang entrepreneur. Aku menemukan bakat itu sejak menjadi pekerja magang di kantorku yang dulu. Atau aku terlalu percaya diri? Tentu saja tidak! Aku sangat memahami kemampuanku sendiri.
Keputusanku untuk mengundurkan diri, sebenarnya cukup beresiko. Padahal, aku sudah hampir diangkat sebagai pegawai tetap di perusahaan sebelumnya, berkat kecakapanku dalam bekerja. Namun, karena aku merasa tidak puas dengan jumlah gaji yang aku terima, akhirnya aku memilih untuk berhenti. Dan kini berniat melamar di tempat yang jauh lebih baik.
Bukankah aku pernah bilang, kalau dulunya, aku ingin menjadi bagian dari orang-orang elit? Dan benar. Ambisi itu masih tetap ada dalam diriku hingga detik ini.
Targetku adalah, setelah berhasil masuk ke dalam perusahaan besar, aku akan berusaha untuk terus naik jabatan sampai berhasil mencapai tahta tertinggi di sana. Minimal, menjadi seorang CEO-lah. Maka dari itu, sekarang aku sedang mengikuti kegiatan yang sedang diadakan langsung oleh perusahaan impianku tersebut.
Perusahaan ini, sedang memamerkan produk baru buatan mereka kepada banyak masyarakat sekitar. Mereka sedang memperkenalkan, sekaligus membagikan produk baru itu secara cuma-cuma.
'Wah, ternyata begini cara mainnya. Mereka cukup pandai dalam menganalisis pasar rupanya.' Aku membatin sambil mengangguk, seakan memahami sesuatu.
Saat ini, aku sedang ikut berbaris untuk mendapatkan produk yang sedang dibagikan oleh perusahaan impianku.
Namun sayang, aku tidak kebagian. Padahal, aku sudah mengantri cukup panjang.
Tadinya, aku berniat menilai seperti apa produk baru yang mereka buat itu, agar aku bisa menyesuaikan dengan gayaku dalam membuat ide dan lain-lain.
Terpaksa aku pulang dengan tangan kosong. Selain aku, ternyata masih ada beberapa orang yang juga tidak kebagian produk gratis dari perusahaan tersebut.
Ketika aku hendak berbalik kanan untuk pulang, tiba-tiba tubuhku terpaku.
Kenapa aku tidak sadar, bahwa tempat aku berada saat ini ternyata tidak asing.
Aku menatap jembatan besar yang berada tepat di hadapanku. Jembatan ini, merupakan ingatan terburukku.
Tanpa sadar, aku malah berjalan ke sana. Pas sekali, hari sudah menjelang sore. Benar-benar kebetulan. Sinar oranye ini, benar-benar mengingatkanku pada masa lalu.
Tak kusangka, aku kembali lagi ke jembatan penuh kenangan pahit ini.
Meski ada beberapa suasana yang terasa familiar, namun tetap ada perbedaan besar. Yaitu hatiku. Kini, aku bukan lagi orang bodoh yang lebih memilih untuk game over, bahkan sebelum memulai game-nya. Hidupku sudah jauh membaik.
Adikku, kini juga bisa kuliah dengan beasiswa seperti diriku. Meski sekarang hubungan kami jadi sedikit canggung sebab jarang bertemu, namun aku masih bisa merasakan kalau adikku tetap menyayangiku, sebagaimana aku juga menyayanginya.
Berbeda dengan dulu, angin yang berhembus di atas jembatan ini, sekarang jadi terasa menenangkan. Aku tersenyum sambil menutup kedua mataku.
Segar. Angin sore ini sungguh segar.
"Maaf, anda tadi belum kebagian produknya, ya?" Suara seorang pria berhasil mengejutkanku.
Aku pun segera membalik badan, guna melihat siapa gerangan yang berani mengganggu diriku yang sedang menikmati indahnya langit sore dari atas jembatan.
De javu?
"Oh, iya. Benar," jawabku, setelah melihat sebuah benda yang berada di tangan pria jangkung di hadapanku.
"Ini masih tersisa satu." Ia lalu menyerahkan sebotol minuman padaku. Benar, produk baru yang perusahaan itu bagikan adalah minuman.
Aku pun, segera meraih minuman itu dengan senang hati. "Terima kasih," ucapku sambil tersenyum manis. Tentu saja aku merasa sangat berterima kasih, karena inilah tujuanku setelah jauh-jauh datang ke sini.
Karena aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan, jadi sekarang waktunya pulang. Aku semakin berambisi untuk bisa masuk ke perusahaan ini. Apalagi, setelah melihat bahwa setiap pegawai yang bekerja di sana terlihat good looking dan memiliki aura yang berbeda dari orang biasa.
Soal good looking, sudah dapat dipastikan kalau aku akan lolos dengan mudah, karena fisikku yang sangat cantik dan mempesona. Aku juga cukup percaya diri soal kemampuan yang kumiliki.
Aku mendudukkan diriku sebentar di pinggir jalan, hendak meminum produk yang tadi aku terima. Namun, aku sedikit mengerutkan kedua alisku setelah mengetahui bahwa botol minuman yang sedang kubuka, ternyata sudah tidak bersegel. Aku cukup mudah membuka tutup botol ini, tanpa harus mengeluarkan tenaga.
'Ah, sepertinya, aku diberi minuman bekas pegawai tadi. Sudahlah, yang penting aku sudah dapat.'
Aku segera mencicipi minuman itu dan meneguknya perlahan.
"Wah, rasanya segar dan ada sedikit rasa manis!" ujarku pada diri sendiri sambil bergaya ala model iklan minuman.
Produk yang ada di tanganku ini merupakan minuman berkarbonasi rendah gula. Keunggulan dari minuman ini adalah low sugar dan rasa sodanya yang terasa nyaman di mulut, maupun di perut. Lalu, rasa-rasa yang ditawarkan juga cukup beragam dan unik. Lebih tepatnya, terlalu unik.
Minuman yang barusan kuminum itu adalah rasa matcha. Aneh. Rasanya benar-benar bukan seleraku! Kalau aku sudah berhasil masuk ke perusahaan ini, aku harus sedikit mengubah konsepnya. Kurasa, akan lebih baik jika setiap rasa pada minuman ini disembunyikan saja, agar menjadi kejutan bagi para konsumen. Di situlah letak serunya.
Aku dapat inspirasi dari novel Harry Potter yang pernah kubaca. Kuyakin, orang-orang yang mendapatkan rasa matcha ini, pasti banyak yang tidak suka karena rasanya kurang sesuai dengan lidah masyarakat Indonesia.
'Apa pegawai tadi juga tidak suka dengan rasa matcha ini? Sialan. Dia hanya buang sampah ternyata!' umpatku dalam hati, sembari mengusap bibirku dengan menggunakan lengan hijab yang kukenakan.
"Hai. Lama nggak ketemu." Seorang pria dengan setelan jas rapi, tiba-tiba menyapaku sambil tersenyum, di saat aku sedang meneliti deretan komposisi pada botol minuman yang berada di tanganku.
"Siapa?" Aku refleks bertanya, karena benar-benar tidak bisa mengenali pria itu. Mungkin, karena sinar matahari sore yang sedikit menyilaukan, membuat wajahnya tak begitu nampak jelas di mataku.
"Wah, kamu udah nggak ngenalin aku?" ujar pria itu lagi. Ia kemudian menyerahkan sebuah kartu nama padaku.
Aku pun otomatis berdiri, setelah mengetahui kalau dia ternyata juga bekerja di perusahaan impianku.
"Jaka?!" panggilku dengan nada sumringah, setelah membaca nama dan jabatannya yang tertera pada kartu nama tersebut.
'Wah, jabatannya bukan main. Oke, aku punya rencana. Pertama-tama, kita coba masuk lewat jalur orang dalam.' Aku menyeringai sembari menyusun rencana di dalam kepalaku.
"Apa kabar?" Jaka menanyakan kabarku dengan senyuman khasnya. Dia baik sekali. Yah, sejak dulu dia memang orang yang baik. Dan semoga, kebaikannya bisa berguna untukku saat ini.
"Baik. Kamu sendiri?" Aku bertanya balik hanya sebagai formalitas. Dilihat dari penampilannya saja, Jaka sudah terlihat mapan. Sudah pasti dia bahagia.
"Sangat baik," jawabnya dengan senyuman yang terlihat bangga pada dirinya sendiri.
"Jak, aku sebenernya juga punya rencana mau ngelamar di sini. Apa mereka lagi cari karyawan baru?" tanyaku tanpa basa-basi.
Sebenarnya, aku sendiri sudah mencari tahu banyak hal tentang seluk-beluk perusahaan impianku ini. Namun, saat ini aku sedang berniat meminta sedikit bantuan dari Jaka, selaku orang dalam. Aku sedang menjalankan 'Plan B'.
Jaka terlihat berpikir sejenak, sambil menatap langit mega mendung. "em, Boleh. Kamu bisa langsung ngelamar ke kantor. Nanti, biar aku yang urus sisanya," ujarnya kemudian, membuatku tersenyum kegirangan.
'Yes, berhasil. Mudah sekali memang, kalau punya koneksi seperti ini.'
"Wah, makasih. Perusahaan kalian nggak akan rugi, karna aku cukup bisa diandalkan. Asal kamu tau, aku lulusan terbaik di kampusku dulu," ucapku membanggakan diri. Aku sengaja pamer, agar Jaka tahu kalau aku merupakan SDM yang berkualitas.
"Iya, kamu bisa katakan itu waktu wawancara nanti. Omong-omong, kamu mau masuk ke bagian apa?" tanya Jaka sembari menatap tepat di kedua bola mataku.
"Enterpreneur!" jawabku tegas, membalas tatapan mata dari lawan bicaraku.
"Hm, oke. Nanti, kamu bisa langsung hubungi aku di nomer situ," ucap Jaka sambil menunjuk kartu yang tadi ia berikan padaku.
"Siap." Aku tidak bisa menyembunyikan senyuman bahagiaku saat ini.
Rencanaku akhirnya berjalan mulus sekali. Firasatku mengatakan, kalau kemungkinan aku diterima di perusahaan ini, sekitar 80%. Ah, tidak, 99% terdengar lebih tepat. Wah, senangnya.
'Gaji besar, aku datang~'
Di saat aku sedang asik berimajinasi, Jaka kembali membuka percakapan.
"Masih single?" Tapi apa ini? Kenapa Jaka tiba-tiba mananyakan hal privasi? Dia jadi membuatku merancang rencana cadangan, jika aku ditolak saat melamar bekerja nanti.
Sebelum aku sempat menjawab, Jaka sudah kembali melanjutkan ucapannya. "Ah, maaf. Aku tanya begitu, karna banyak temen-temen seangkatan kita yang sudah menikah." Hampir saja, dia membuatku berpikir yang tidak-tidak. Sayang sekali.
Eh!
...~...
Setelah membereskan kamar kosan mungil yang menjadi tempat tinggalku sejak masih bekerja sebagai pegawai magang, kini aku siap berangkat untuk wawancara.
Setelah aku bertemu dengan Jaka kemarin, aku langsung menghubunginya begitu sampai rumah. Namun, dia baru membalas pesanku tiga hari kemudian. Meski begitu, pesan yang datang terlambat darinya itu, berhasil membuatku merasa bahagia.
Jaka berpesan kalau hari ini, aku bisa langsung melaksanakan wawancara di tempat yang telah ditentukan.
Sebenarnya, aku sempat menaruh curiga karena tempat wawancara nanti tidak diadakan di dalam kantor. Meski merasa aneh, aku berusaha untuk tetap mempercayai Jaka, temanku. Itu karena selama aku mengenalnya, dia bukanlah orang yang jahat.
'Jaka orang baik, Jaka orang baik, Jaka orang baik.' Aku terus berpikir begitu, selama perjalanan menuju tempat janjian.
Aku akhirnya sampai di sebuah restoran yang jaraknya cukup jauh dari kosan tempat tinggalku.
Hari ini, aku telah berdandan secantik dan serapi mungkin. Tidak Mungkin, orang melamar kerja dengan pakaian compang-camping, kan?
Jaka bilang, aku diminta untuk duduk di kursi bagian tengah. Setelah menemukan tempat itu, aku pun segera mendudukkan diriku di kursi yang letaknya cukup mencolok tersebut.
Kuharap, aku tidak salah tempat duduk. Pengunjung restoran ini juga terlihat lumayan banyak. Jadi, tidak mungkin akan terjadi hal semacam penipuan atau perbuatan kriminal lainnya, di tempat yang ramai begini. Berkat itu, aku jadi merasa lebih tenang.
Setelah hampir setengah jam aku menunggu, akhirnya seorang pria mendatangiku dan langsung duduk tepat di seberang meja yang sama denganku.
'Tunggu, dia kan, pegawai yang kemarin memberiku minuman dengan rasa aneh itu! Jadi, dia orang yang akan mewawancaraiku?' batinku, sembari menyipitkan mata, meneliti wajah pria di hadapanku.
Bersambung....