Alya, gadis miskin yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tertarik saat menerima tawaran menjadi seorang baby sister dengan gaji yang menurutnya cukup besar. Tapi hal yang tidak terduga, ternyata ia akan menjadi baby sister seorang anak 6 tahun dari CEO terkenal. kerumitan pun mulai terjadi saat sang CEO memberinya tawaran untuk menjadi pasangannya di depan publik. Bagaimanakah kisah cinta mereka? Apa kerumitan itu akan segera berlalu atau akan semakin rumit saat mantan istri sang CEO kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21, dari hati ke hati
Aditya duduk di balkon rumahnya, hanya ditemani dinginnya malam dan kelap-kelip bintang yang sesekali terselubung awan. Tangannya memegang gelas kosong, sisa teh yang sudah lama habis, sementara pikirannya berputar tanpa arah. Wajah Tara yang kecewa saat pulang bersama Nadia terus membayangi benaknya.
Ia menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak, mencoba mencari kedamaian. Namun, rasa bersalah kembali menghantamnya. Ia merasa gagal sebagai ayah, membiarkan Nadia masuk kembali ke kehidupan Tara, padahal ia tahu betapa rentannya hati anaknya.
Di dapur, Alya baru saja membereskan piring bekas makan malam ketika ia melihat sosok Aditya dari celah tirai. Pria itu terlihat begitu rapuh, berbeda jauh dari citra tegas dan serius yang biasa ia tampilkan. Dengan hati-hati, Alya memutuskan untuk membuatkan kopi untuknya.
Alya mendekat pelan, membawa dua cangkir kopi hangat. Suara pintu balkon yang terbuka membuat Aditya menoleh.
“Alya?” tanyanya, sedikit terkejut.
“Kopi hitam, tanpa gula. Saya ingat Anda suka itu,” ujar Alya sembari menyerahkan salah satu cangkir.
Aditya menerimanya tanpa berkata apa-apa, hanya menatap uap yang naik dari permukaan kopi. Alya mengambil tempat di kursi di sampingnya.
“Belum bisa tidur?” tanya Alya setelah beberapa saat.
Aditya mengangguk pelan. “Pikiran saya terlalu ramai.”
Alya menyesap kopinya perlahan, mencoba mengatur kata-kata. “Tara tadi terlihat lebih tenang. Dia tidur nyenyak.”
Aditya tersenyum kecil, meski matanya masih suram. “Dia anak yang kuat. Tapi saya tahu hari ini membuatnya kecewa. Itu salah saya.”
Alya menatap Aditya, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. “Kenapa Anda merasa itu salah Anda?”
Aditya menghela napas, suaranya terdengar berat. “Saya biarkan Nadia masuk kembali ke kehidupan Tara. Saya tahu dia tidak pernah benar-benar peduli. Tapi saya pikir... mungkin Tara membutuhkan ibunya. Ternyata, saya hanya menambah luka.”
Alya meletakkan cangkirnya di meja kecil di antara mereka. “Anda tidak salah, Pak Aditya. Setiap orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Anda hanya mencoba memberikan Tara kesempatan untuk merasakan kasih sayang mamanya.”
Aditya tertawa kecil, penuh sarkasme. “Kasih sayang? Nadia lebih peduli pada ponselnya daripada Tara. Saya bodoh karena berharap dia berubah.”
Alya menatap Aditya dengan lembut, tapi tegas. “Mungkin Anda tidak bisa mengubah Bu Nadia, tapi Anda bisa mengubah cara Tara melihat dirinya. Anda adalah ayahnya, dan itu lebih berarti daripada apa pun. Tara butuh Anda, bukan seseorang yang hanya hadir setengah hati.”
Aditya memalingkan wajah, menatap langit malam. “Kadang saya merasa tidak cukup baik untuk Tara. Saya terlalu sibuk, terlalu kaku. Lalu ada kamu... yang entah bagaimana bisa membuatnya tersenyum lagi.”
Alya terkejut mendengar pengakuan itu. “Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Tapi saya yakin, senyuman Tara itu karena dia tahu, meskipun sibuk, Anda tetap mencintainya.”
Aditya terdiam, membiarkan kata-kata Alya menggema di pikirannya. Setelah beberapa saat, ia berbalik menatap Alya. “Kenapa kamu begitu peduli? kamu bisa saja hanya menjalankan pekerjaan mu tanpa melibatkan perasaan.”
Alya tertawa kecil. “Saya tidak bisa, Pak. Saya terlalu mudah terikat, terutama dengan anak seperti Tara. Dia anak yang luar biasa, meskipun dia belum menyadarinya. Dan saya tahu betapa sulitnya hidup tanpa merasa dicintai sepenuhnya.”
Aditya mengernyit. “Kamu bicara seperti pernah merasakannya.”
Alya terdiam sejenak, lalu menatap cangkir kopinya. “Ayah saya meninggalkan kami saat saya masih kecil. Ibu saya harus bekerja keras, meskipun ibu selalu mengatakan jika beliau bisa menjadi ayah sekaligus ibu, tetapi tetap saja saya sering merasa sendirian. Saya tidak ingin Tara merasakan hal yang sama.”
Aditya menatap Alya dengan cara yang berbeda kali ini, seolah-olah baru menyadari kedalaman hati wanita itu. “Terima kasih, Alya. Karena kamu, Tara mulai berubah. Dan mungkin... saya juga.”
Alya tersenyum, meskipun hatinya berdebar mendengar nada tulus di suara Aditya. “Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Lagipula, keluarga ini layak mendapat kesempatan untuk bahagia.”
Malam semakin larut, tetapi percakapan mereka terus berlanjut. Untuk pertama kalinya, Aditya membuka dirinya, membicarakan keraguan dan ketakutannya sebagai seorang ayah. Dan untuk pertama kalinya pula, Alya merasa bahwa di balik sikap dingin Aditya, ada seseorang yang sama rapuhnya seperti dirinya.
Ketika akhirnya Alya berdiri untuk kembali ke dalam, Aditya berkata pelan, “Alya, terima kasih. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak ada di sini.”
Alya hanya tersenyum, menatap pria itu dengan lembut. “Kita semua butuh seseorang untuk mengingatkan bahwa kita tidak sendirian. Dan Tara... dia butuh Anda lebih dari siapa pun.”
Aditya mengangguk, menyaksikan Alya pergi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan, seolah-olah beban yang ia pikul mulai terbagi.
Bersambung
Happy reading