Dokter Heni Widyastuti, janda tanpa anak sudah bertekad menutup hati dari yang namanya cinta. Pergi ke tapal batas berniat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi pada Bumi Pertiwi. Namun takdir berkata lain.
Bertemu seorang komandan batalyon Mayor Seno Pradipta Pamungkas yang antipati pada wanita dan cinta. Luka masa lalu atas perselingkuhan mantan istri dengan komandannya sendiri, membuat hatinya beku laksana es di kutub. Ayah dari dua anak tersebut tak menyangka pertemuan keduanya dengan Dokter Heni justru membawa mereka menjadi sepasang suami istri.
Aku terluka kembali karena cinta. Aku berusaha mencintainya sederas hujan namun dia memilih berteduh untuk menghindar~Dokter Heni.
Bagiku pertemuan denganmu bukanlah sebuah kesalahan tapi anugerah. Awalnya aku tak berharap cinta dan kamu hadir dalam hidupku. Tapi sekarang, kamu adalah orang yang tidak ku harapkan pergi. Aku mohon, jangan tinggalkan aku dan anak-anak. Kami sangat membutuhkanmu~Mayor Seno.
Bagian dari Novel: Bening
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Pillow Talk
Seketika Dokter Heni tersadar dengan situasi dan kondisi saat ini bahwa tubuhnya tengah berada di atas tubuh Seno. Sontak ia langsung berusaha untuk bangun dan kembali duduk di atas ranjang sambil membenahi pakaiannya. Walaupun tidak terjadi apa pun baik kancing piyama tidurnya terbuka atau yang lainnya.
Dirinya berusaha untuk tetap tenang sambil menarik napasnya sejenak lalu perlahan menghembuskannya.
"Dasar Heni bar-bar! Aduh," batinnya merutuki dirinya sendiri.
Ia memalingkan wajahnya yang merona tersipu malu ke arah yang lain agar tidak dilihat oleh suaminya.
Mayor Seno sangat memaklumi tingkah spontan Dokter Heni yang menubruknya hingga memeluknya sampai ia terjatuh di atas ranjang. Senyum tipis tampak di wajah Seno. Namun hal itu tak diketahui oleh Dokter Heni. Dikarenakan posisi Seno saat ini masih telentang di atas ranjang tepatnya di belakang tubuh Dokter Heni.
Mayor Seno menatap punggung istrinya yang tengah duduk gelisah. Ia bangkit dari posisinya saat ini lalu berjalan memutari kasurnya. Tanpa basa-basi Seno pun masuk ke dalam selimut.
"Tidurlah, sudah malam."
"Eh, i_ya Mas." Dokter Heni terbata-bata menjawabnya karena masih salting dan grogi akibat adegan dua tubuh yang menumpuk tadi.
Dengan gerakan cepat Dokter Heni meletakkan kartu serta uang tunai yang diberikan oleh Seno di atas nakas dengan rapi lalu masuk ke dalam selimut yang sama dengan suaminya.
Bip...
Lampu utama kamar Seno matikan. Saat ini hanya tersisa penerangan dari lampu tidur saja. Keduanya tidur dalam posisi telentang sambil memandang langit-langit kamar. Belum ada yang memejamkan mata.
"Mas,"
"Hem,"
"Makasih,"
"Untuk?"
"Untuk semuanya,"
"Semua itu apa saja? Apa yang kamu maksud nafkah lahir yang baru saja kuberikan?"
"Itu salah satunya," jawab Dokter Heni.
"Yang lainnya?"
"Aya, si bintang kejoraku. Putri yang lahir dari hatiku. Aku sangat menyayanginya," jawab Dokter Heni seraya tersenyum membayangkan tingkah lucu Aya yang selalu menggemaskan dan membuatnya tersenyum bahagia.
"Setelah Aya?"
"Aldo," jawab Dokter Heni.
Seketika Mayor Seno teringat dengan sikap Aldo saat pertama kali berjumpa dengan istrinya. Hatinya mendadak saat ini seakan campur aduk.
"Maaf, jika Aldo bersikap kurang baik denganmu. Semua salahku,"
"Enggak apa-apa. Aku paham kok, Mas. Semua butuh waktu," jawab Dokter Heni.
"Besok kamu tugas di mana dan jam berapa?" tanya Mayor Seno tanpa sadar mendadak posesif ingin tahu kegiatan istrinya apa saja.
"Besok aku jaga di puskesmas, Mas. Aku berangkat pagi sekalian anterin Aya ke sekolah,"
"Sampai jam berapa di puskesmas?"
"Biasanya sampai puskesmas tutup, sekitar jam empat sore."
"Tidurlah," perintah Seno seraya ia memejamkan matanya.
Dokter Heni seketika perlahan menoleh untuk melihat wajah Seno yang saat ini sudah memejamkan matanya. Beberapa menit keheningan pun terjadi.
"Mas sudah tidur?"
"Belum," jawab Seno namun matanya masih dalam kondisi terpejam.
"Kenapa enggak tanya lagi setelah aku menyebut nama putra Mas?"
Seketika mata Seno terbuka dan langsung menoleh ke arah samping tepatnya pada Dokter Heni yang juga saat ini sedang melihatnya. Keduanya saling memandang dalam satu garis lurus yang sama.
Deg...
Jantung keduanya mendadak berdegup dengan kencang.
"Apa dia penting disebut?" tukas Seno.
"Mau jawaban jujur apa enggak?"
"Kata orang, jujur lebih baik walaupun pahit daripada harus berbohong."
"Aya dan Aldo walaupun mereka tidak lahir dari rahimku, aku menyayangi mereka seperti anak kandungku sendiri. Mas enggak wajib mempercayai omonganku barusan. Kata-kata hanya akan menjadi bualan semata jika tidak diiringi dengan bukti serta tindakan yang nyata. Tentunya setelah mereka berdua, wajib hukumnya bagiku untuk menghormati dan menyayangi Papanya. Pria yang kini ada di depan wajahku dan tengah menatapku,"
"Padahal Papa mereka kata Riko, orangnya dingin kayak kulkas dua belas pintu, omongannya pedes seperti makan seblak pedas j0ntor level 1000 cabai, dia_" ucapannya seketika terpotong.
"Suami dan papa yang baik versi aku," ucap Dokter Heni sengaja memotong pembicaraan Seno.
"A_pa aku begitu?" tanya Seno sedikit terbata-bata.
"Ya," jawab Dokter singkat namun terdengar sangat meyakinkan.
"Kenapa bisa begitu?" cecar Seno penasaran.
"Hatiku merasakannya bahwa Mas memang suami dan papa yang baik,"
Sepasang suami istri itu pun justru tidak segera beristirahat malam, melainkan tanpa sadar melakukan pillow talk cukup lama. Hingga pada akhirnya kantuk pun datang. Dokter Heni memejamkan mata terlebih dahulu. Seno menurunkan pandangan, menatap lekat-lekat Dokter Heni yang sedang tertidur.
Cukup lama Mayor Seno menatap dalam diam hingga hembusan napas Dokter Heni benar-benar halus dan teratur. Pertanda bahwa sang istri sudah tertidur pulas. Tanpa dikomando, tangan Seno merapikan anak-anak rambut yang berserakan di dahi istrinya tersebut hingga tidak ada lagi yang menghalangi pandangannya.
Rasa asing perlahan mulai merayapi hatinya tatkala dipandanginya Dokter Heni secara intens. Wanita yang tengah tidur di atas ranjang yang sama dengannya saat ini baru disadarinya ternyata memiliki paras yang cantik dan keibuan. Bahkan jauh lebih cantik daripada Manda, mantan istrinya.
"Astagfirullahaladzim," gumam lirih Mayor Seno tiba-tiba.
"Enggak boleh. Mereka berbeda. Ya, mereka berdua beda, tidak sama."
"Lupakanlah dia, Seno. Jangan samakan Heni dengan Manda," batinnya mendadak bergemuruh tatkala teringat Manda yang cantik dan pintar merawat diri telah berselingkuh di belakangnya. Ada ketakutan dalam benaknya jika ia harus kembali mengalami hal yang mengerikan itu untuk kedua kalinya di pernikahannya yang sekarang bersama Dokter Heni.
Ia memejamkan matanya sejenak lalu membukanya kembali. Sempat melihat kembali wajah istrinya yang masih tertidur pulas dengan tenang di sampingnya, lalu ia mengubah posisinya menjadi telentang. Menatap langit-langit sembari menelaah perasaannya sendiri. Selama ini dirinya terlalu larut dalam deritanya sendiri. Tak berusaha untuk bangkit dan melupakan masa lalunya yang pahit bersama Manda.
Tangan Seno pun terulur dengan niat ingin membenahi selimut Dokter Heni. Namun mendadak tangannya dengan gatal justru mengambil guling yang dipeluk oleh istrinya itu. Seketika ia ambil secara perlahan karena tak ingin gerakannya membangunkan istrinya yang sudah tertidur pulas.
Guling pun berhasil ia ambil. Lantas dibuangnya hingga jatuh ke lantai kamarnya tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Batinnya tengah merutuki penemu guling di muka bumi ini. Baginya benda itu kini menjadi penghalang langkahnya saja untuk melakukan hal lain pada istrinya di atas ranjang.
"Selamat tidur, Sayangku." Seno hanya mampu mengucapkannya dalam hati.
Masih ada setitik ketakutan dalam diri untuk memulai kehidupan rumah tangga yang semestinya dengan Dokter Heni. Namun, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membuang jauh-jauh masa lalunya. Mengenai rasa cinta pada istrinya yang sekarang, ia serahkan sepenuhnya pada Sang Pencipta.
☘️☘️
Jakarta.
Sepasang suami istri tengah dalam kondisi tubuh yang polos tanpa sehelai benang pun di bawah selimut yang sama di kamar utama kediaman pribadi mereka. Buliran keringat masih tersisa jejaknya cukup banyak pada tubuh keduanya.
Manda tidur dalam posisi memunggungi Gani yang kini tengah memeluk tubuhnya dari belakang. Dalam hatinya ia terus mengumpat dengan kesal. Bahkan sumpah serapah ditujukan untuk suaminya itu namun hanya mampu ia ucapkan dalam hati.
Walaupun keduanya telah selesai bercinta dengan kenikmatan sepihak, tapi tangan nakal Gani masih terus bergerilya di pucuk membuusung mahoni kembar miliknya.
"Sudah, Honey. Aku capek," keluh Manda seraya menjauhkan tangan Gani dari pucuk tersebut yang hingga kini masih dalam kondisi mengeras.
Manda berhasil keluar namun harus ditempuh dengan cara yang lain. Bahkan butuh waktu yang lumayan lama hingga ia berhasil keluar dengan membayangkan saat dahulu tengah bercinta dengan Seno. Padahal yang saat ini di atas ranjang bersamanya adalah Gani. Sungguh miris.
Jangan ditanya mengenai Gani. Tentu saja laki-laki ini selalu puas dengan pelayanan Manda di atas ranjang. Namun hanya 3-4 menit menyatu, sudah cepat menumpahkan isinya ke dalam rahim Manda.
"Apa kamu sudah tahu kabar terbaru mantan suamimu?"
"Maksud Mas? Memangnya Mas Seno kenapa?"
Seketika Manda membalikkan tubuhnya dan menghadap Gani dengan tatapan serius.
"Dia sudah menikah lagi," jawab Gani singkat.
"APA !! Enggak mungkin !" pekik Manda yang terkejut setengah mati mendengar kabar bahwa Seno, mantan suaminya, telah menikah kembali.
Bersambung...
🍁🍁🍁
eh salah hamil maksudnya