(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!)
Demi mendapatkan uang untuk mengobati anak angkatnya, ia rela terjun ke dunia malam yang penuh dosa.
Tak disangka, takdir mempertemukannya dengan Wiratama Abimanyu, seorang pria yang kemudian menjeratnya ke dalam pernikahan untuk balas dendam, akibat sebuah kesalahpahaman.
Follow IG author : Kolom Langit
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuhan Tak Pernah Tidur
Wira masih merenung dengan sekelumit pertanyaan di benaknya, ketika ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Ia meraih benda pipih yang terletak di atas meja nakas itu. Di layar tampak pemanggil dengan nama Bima. Dengan segera Wira menjawab panggilan itu.
"Ada apa, Bima?" tanya Wira tanpa basa-basi, sesaat setelah panggilan itu terhubung.
"Bos ... Shera sudah kembali dari luar negeri. Dia ada di Bali sekarang," jawab Bima.
Raut wajah Wira yang tadinya sedih pun berubah. "Kau yakin?" ujar Wira hendak memastikan.
"Orangku sudah memeriksanya. Dia memastikan Shera sudah kembali."
Wira mengusap wajahnya kasar, lalu menarik napas dalam. "Baiklah, tolong kau siapkan keberangkatanku besok pagi. Dan ingat, jangan sampai ada yang tahu aku ke Bali."
"Baiklah," sahut Bima.
Panggilan terputus, membuat Wira kembali merenung. Pikirannya bercabang, antara Via dan anak perempuannya yang menghilang empat tahun lalu. Ia ingin meluruskan kesalahpahaman nya dengan Via, namun menemukan putrinya juga sangat penting baginya. Berharap pencarian selama empat tahun akan berakhir dengan menemukan anaknya.
Malam itu, untuk ke sekian kalinya, Wira tak dapat memejamkan mata. Rasa bersalah pada Via seakan menghantuinya. Perlakuan kasarnya, suara tangisan Via yang terus terbayang, serta ucapan Lyla yang ingin kembali tinggal di panti karena takut padanya.
Hingga menjelang pagi, Wira tak kunjung dapat tidur dengan nyenyak. Masih dalam posisi berbaring, ponsel berdering kembali, tanda pesan masuk. Wira meraih ponsel dengan malas, lalu membuka pesan dari Bima. Sahabat sekaligus orang suruhannya itu baru saja mengirimkan kode booking tiket pesawat yang akan terbang beberapa jam kemudian. Tanpa banyak berpikir lagi, Wira segera bangkit dari pembaringan dan bersiap-siap untuk segera berangkat.
Selepas mandi dan berganti pakaian, Wira segera keluar dari kamar. Ia menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai bawah dimana Via biasanya berada di dapur -- di jam sepagi itu untuk membuat sarapan. Namun, setibanya di dapur, tak ada sosok Via di sana.
Wira beranjak menuju kamar belakang. Tampak pintu kamar yang ditempati Via dan Lyla masih tertutup rapat. Sepertinya penghuni kamar masih tertidur. Laki-laki itu tampak ragu antara mau mengetuk atau tidak. Wira benar-benar merasa malu karena perbuatannya semalam.
Selama beberapa saat, Wira terdiam di sana, menunggu sang istri keluar kamar. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda Via akan keluar. Diliriknya arah jarum jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi, sementara jadwal penerbangannya menuju Bali tinggal beberapa jam lagi.
Sudahlah, aku akan bicara dengan Via setelah tiba dari Bali saja. ucap Wira dalam batin, lalu melangkah meninggalkan kamar itu.
_
_
_
_
_
_
_
_
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, saat Via baru terbangun dari tidurnya. Beberapa bagian tubuhnya masih terasa sakit akibat pemaksaan Wira semalam. Ia duduk dan bersandar di dinding kamar. Matanya telah sembab karena hampir sepanjang malam menangis. Ia melirik ke arah Lyla yang juga masih tertidur, lalu menatap jam di dinding. Tak biasanya Lyla masih tertidur di jam seperti itu.
Via tersenyum tipis, setidaknya masih ada si kecil Lyla yang menjadi kekuatannya. Seorang anak dengan semangat hidup luar biasa yang selama ini menjadi alasannya berjuang. Tak peduli Lyla terlahir dari rahim siapa, wanita itu mencintai peri kecilnya lebih dari apapun di dunia. Dan demi Lyla lah, Via akan sanggup melakukan apapun.
Seperti biasa, jika Lyla masih tertidur, Via akan membangunkannya dengan mengecupi wajah polos itu berkali-kali. Namun, saat bibirnya menyentuh kulit wajah Lyla, sepasang matanya membulat merasakan suhu tubuh Lyla yang hangat.
"Lyla, Sayang ..." panggilnya khawatir, seraya menyentuh kening dan bagian tubuh lainnya. Cairan bening pun menggenangi kelopak matanya. Lyla sama sekali tidak boleh mengonsumsi sembarangan obat tanpa resep dari dokter. Sementara Via tak punya cukup uang untuk membawa gadis kecilnya ke dokter.
"Sayang ..." panggilnya sekali lagi, seraya meraih tubuh kecil Lyla dan membawa ke pangkuannya. Ia ingat terakhir kali Lyla dirawat di rumah sakit yang akhirnya membawa wanita itu pada pernikahan dengan seorang pria dingin yang sangat membencinya. Dan hingga detik ini, Via sama sekali belum menyadari penyebab Wira begitu membencinya, selain karena pekerjaannya yang pernah menjadi seorang wanita penghibur. Pun alasan Wira yang akan menanggung biaya rumah sakit Lyla, namun memberinya syarat agar menjauhi kedua orang tuanya, berikut panti asuhan yang menjadi tempat tinggal Via selama ini.
Masih memeluk tubuh lemah Lyla, kali ini air mata Via tak terbendung lagi. Dalam benaknya sebagai seorang manusia biasa bertanya, mengapa takdir begitu tak bersahabat dengannya. Namun, segenap keyakinan pada Tuhan nya mengalahkan segalanya. Ia tetap meyakini, bahwa sesungguhnya Tuhan tak pernah tidur. Dan tak akan memberi manusia ujian di luar batas kemampuannya. Lyla kecilnya adalah sebuah anugerah dari yang kuasa, namun pula sebagai ujian baginya.
"Bunda ..." panggilan lemah Lyla yang baru terbangun membuat Via segera mengusap air matanya. Ia tersenyum, sembari mengusap wajah pucat gadis kecil itu. Jika Lyla saja tak pernah menangis saat sedang sakit, begitu pun dengan Via. Setidaknya hal itu yang ingin diperlihatkan Via pada gadis kecilnya itu. Bahwa apapun yang terjadi, tetaplah tersenyum.
"Lyla sudah bangun ..."
"Bunda, Lyla haus. Lyla mau susu," pintanya dengan kepala masih bersandar di dada sang bunda.
"Iya, Sayang." Dengan penuh kelembutan Via mengusap rambut Lyla. "Lyla baring di sini dulu, tunggu bunda buatkan susunya, ya!"
"Iya, Bunda."
Via membaringkan Lyla di kasur, kemudian segera menuju dapur untuk membuat susu. Namun, saat membuka kaleng susu, wanita itu baru ingat, persediaan susu Lyla sudah habis sejak semalam. Via terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mendengar suara panggilan Lyla dari dalam kamar.
Wanita itu pun meraih gelas, dan menuang air putih, lalu kembali ke kamar setelahnya. Ia menyodorkan segelas air putih pada Lyla.
"Lyla kan mau susu, Bunda ..." ucapnya lemah, ketika melihat isi gelas yang dibawakan sang bunda untuknya.
"Susunya habis, Sayang. Bunda belum beli. Lyla minum air putih dulu ya. Nanti bunda belikan susu lagi."
"Tapi Lyla suka susu, Bunda."
Dengan penuh kesabaran, Via menjelaskan pada gadis kecil itu. "Sayang, susu sama air putih itu sama. Bisa menghilangkan rasa haus Lyla. Bedanya susu warna putih dan rasanya manis, kalau air putih warnanya bening."
"Ya udah, Bunda. Lyla minum ail putih ajah. Tapi nanti beliin Lyla susu lagi, ya Bunda," pintanya diikuti senyum dan anggukan oleh Via.
Pagi itu, Via merawat Lyla di kamar dengan mengompres menggunakan handuk, guna menurunkan panasnya. Namun, hingga beberapa jam kemudian, tubuh Lyla masih terasa hangat. Bahkan wajah gadis kecil itu semakin memucat dan bibirnya terlihat kering, sehingga Via merasa semakin khawatir.
Tak berselang lama, terdengarlah suara bel berbunyi. Via pun segera melangkah keluar untuk melihat siapa yang datang. Saat membuka pintu, tampak seorang pria paruh baya dengan senyum ketulusan berdiri di depan sana.
"Ayah ..." ucap Via dengan kepala menunduk.
*****
tp ntar mau baca ulang lagi 😁😁
lubang yang salah 😆😆😆😆😆😆
banyak mengandung bawang 😭😭😭😭
lyla kn anakmu 😏😏😏😏
blm bisa move on