Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyusun langkah bersama
Hari-hari setelah Joko dan Vina resmi berpacaran berjalan lebih santai, namun penuh warna. Tidak ada lagi perdebatan tentang apakah mereka seharusnya berpasangan atau tidak. Kini, semuanya sudah jelas. Namun, meskipun hubungan mereka semakin dekat, ada satu hal yang masih mengganggu Joko—momen-momen ketika mereka bertemu teman-teman mereka di kampus.
Vina sudah cukup terbiasa menjadi pusat perhatian, sedangkan Joko... yah, dia masih agak canggung. Bukan hanya karena status baru mereka sebagai pasangan, tapi juga karena sifat Joko yang cenderung lebih tertutup dan tidak suka terlalu menonjolkan diri. Apalagi di lingkungan kampus yang ramai ini, dia merasa seperti ikan kecil di tengah lautan mahasiswa yang lebih berwarna.
Namun, Vina selalu tahu bagaimana mengatasi itu. Di suatu sore yang cerah, mereka duduk di kafe kampus, menikmati waktu bersama setelah kuliah.
"Joko, gue tahu lo nggak terlalu suka perhatian," kata Vina sambil menyeruput kopi. "Tapi kita nggak bisa terus-terusan bersembunyi juga, kan?"
Joko hanya tersenyum canggung. "Iya sih, Vin. Gue cuma nggak suka kalau orang-orang mulai ngomongin kita. Lo tahu kan, gue tuh introvert."
Vina tertawa pelan, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Gue ngerti kok, Jok. Tapi nggak masalah kalau orang tahu kita pacaran. Gue kan nggak malu." Dia menatap Joko dengan tatapan penuh pengertian, seakan ingin memastikan bahwa Joko merasa nyaman.
"Lo yakin? Gimana kalau mereka mulai ngomongin hal-hal nggak penting tentang kita?" Joko bertanya, merasa sedikit khawatir. Sejak pertama kali mereka bertemu, dia memang sudah terbiasa dengan anggapan bahwa opini orang lain bisa mempengaruhi hidupnya, meskipun kini Vina sudah mengingatkannya untuk tidak terlalu memikirkan itu.
Vina mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Joko. "Lo nggak usah khawatir. Gue udah siap kok. Kita juga nggak bisa nyembunyiin perasaan kita terus. Lagipula, gue yakin, apa yang kita punya itu lebih penting dari omongan orang."
Joko menatap tangan mereka yang saling menggenggam, merasakan kenyamanan yang luar biasa. "Iya, mungkin lo bener, Vin. Gue cuma perlu belajar untuk lebih santai dan nggak terlalu mikirin apa kata orang."
Vina tersenyum lebar, puas dengan jawaban Joko. "Itulah, Jok. Kadang kita cuma perlu melangkah dan nggak terlalu mikirin apa yang bisa menghalangi. Semua orang juga punya masalah, jadi nggak perlu takut kalau orang lain bakal nge-judge kita."
Kehidupan kampus mereka berlanjut dengan lebih ringan. Joko dan Vina mulai belajar menemukan keseimbangan antara hubungan mereka dan dunia masing-masing. Kadang-kadang mereka bertemu di perpustakaan untuk belajar bersama, atau hanya sekedar menghabiskan waktu di kafe sambil berdiskusi tentang teori-teori yang mereka pelajari.
Tapi bukan berarti semuanya berjalan mulus. Joko masih terkadang merasa gugup dan tidak tahu harus berbuat apa ketika mereka berada di sekitar teman-teman Vina. Baginya, menjadi pasangan seorang wanita yang cerdas dan populer seperti Vina terasa menantang. Banyak orang yang melihat Vina sebagai sosok yang sudah berhasil dalam hidupnya. Sementara dia? Ia merasa kadang dirinya tidak ada apa-apanya.
Suatu hari, ketika sedang duduk di taman kampus setelah kelas, Joko tiba-tiba menatap Vina dengan serius. "Vin, gue cuma mau bilang, gue seneng banget bisa punya hubungan ini sama lo. Kadang gue suka mikir, kenapa gue bisa ketemu lo, sih? Lo yang nyolot, cerdas, dan keras kepala... Tiba-tiba aja kita jadi pasangan."
Vina tertawa mendengar komentar Joko yang langsung mengundang tawa itu. "Gue juga seneng, Jok. Lo tuh lebih daripada yang gue harapkan. Lo cerdas dengan cara yang beda, lo punya cara berpikir yang unik, dan lo bener-bener bikin hidup gue lebih seru."
Joko sedikit memerah mendengar pujian itu. "Gue mungkin nggak setuju sama lo soal banyak hal, Vin, tapi... gue nggak pernah merasa bisa belajar sebanyak ini dari orang lain. Gue nggak pernah nyangka bisa punya seseorang yang ngajarin gue lebih banyak soal kehidupan."
Vina tersenyum manis, menyandarkan kepalanya di bahu Joko. "Sama, Jok. Gue nggak pernah merasa ini akan jadi sesuatu yang serius, tapi sekarang gue nggak bisa bayangin hidup tanpa lo."
Joko merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Entah bagaimana, dia merasa lebih kuat, lebih yakin, dan lebih diterima. Hubungan mereka tidak hanya menguji pemahaman satu sama lain tentang filsafat dan fisika, tetapi juga tentang cara mereka saling mendukung dan memahami kelebihan serta kekurangan masing-masing.
Beberapa minggu kemudian, mereka memutuskan untuk menghadiri sebuah acara seminar yang diadakan di kampus tentang hubungan antara sains dan filsafat. Acara tersebut menjadi momen yang mempertemukan mereka dengan teman-teman baru dan mempererat hubungan mereka.
Vina terlihat sangat antusias mendengarkan setiap pembicara yang berbicara tentang teori-teori fisika yang rumit. Namun, saat pembicara bertanya tentang pandangan filsafat terhadap konsep-konsep yang dibahas, Vina melihat Joko dengan senyum tipis di wajahnya. "Joko, lo harus jawab ini, nih. Gue udah nggak sabar."
Joko, dengan ekspresi yang biasa, mengangkat tangan dan memberi jawaban yang sederhana namun penuh makna. "Menurut Plato, segala sesuatu di dunia ini hanya bayangan dari dunia ide. Jadi, mungkin teori yang kita bahas di sini hanyalah bayangan dari kenyataan yang lebih besar."
Vina tersenyum bangga. "Lo emang keren, Jok."
Itu adalah momen kecil yang membuat Joko merasa sangat berarti dalam hubungan ini. Mereka tidak hanya berbagi pandangan tentang filsafat dan fisika, tetapi juga berbagi pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri dan bagaimana mereka saling melengkapi. Kini, tidak ada lagi keraguan di antara mereka. Mereka siap melangkah bersama, menikmati setiap langkah dalam perjalanan ini.