Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami Idaman
Karina mengerjap-ngerjap saat mendengar suara alarm. Ia mematikan benda yang tersimpan di nakas dengan mata yang masih mengantuk, sekilas ia melihat jam yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. Karina lupa mengubah waktu alarm semalam. Lalu, Karina baru tersadar jika sekarang berada di kamarnya. Ia menoleh ke sebelah kiri. Ada Nino yang masih tertidur.
Ia tidak ingat semalam pindah ke kamarnya. Ia juga tidak ingat Nino pulang. Yang diingatnya, ia sedang menonton TV dan tertidur di sofa.
Karina kembali berbaring, ia memeluk Nino dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang pria itu. Nino balas memeluk Karina.
"Aku belum sempet mandi lho semalam." Nino berujar dengan suara seraknya saat bangun tidur.
"Biarin, kamu masih wangi, kok." Karina semakin menenggelamkan wajahnya. "Mas."
"Hmm."
"Semalam kamu pulang jam berapa?" Suara Karina terdengar sengau karena tertutupi oleh selimut.
"Jam sepuluh."
Karina menyingkap selimut dan menyembulkan kepala, ia mendongak menatap Nino yang terpejam. "Kok kamu gak bangunin aku, sih?"
Nino membuka mata dan menundukkan kepalanya. "Aku udah bangunin kamu, tapi kamu malah ngomel sambil tetep tidur."
"Ih, ngomel gimana?" tanya Karina tidak terima.
"Gini." Nino berdeham pelan. "Mas, aku khawatir lho sama kamu. Kamu gak ada kabar seharian, kamu teledor banget sih gak bawa handphone." Nino memeragakan Karina yang mengomel semalam.
"Ih, mana ada aku ngomong begitu." Karina masih tidak terima.
"Ya, kamu gak bakal tahu soalnya kamu tidur." Nino mencuil hidung Karina.
"Ya, kalau gitu aku mengigau, dong. Berarti aku gak bangun. Itu bukan ngomelin kamu, Mas." Karina tidak mau kalah.
"Kamu bangun sebentar, tapi kayaknya karena gak kuat nahan ngantuk akhirnya kamu tidur lagi."
Karina mendengkus dan menenggelamkan kembali wajah di dada suaminya. "Terus aku kok bisa pindah ke sini?"
"Kamu jalan sambil tidur ke sini," gurau Nino.
"Ih, aku gak punya kebiasaan kayak gitu."
Nino tertawa pelan. Ia mengeratkan pelukannya. "Aku yang pindahin kamu ke sini."
Karina hanya bergumam.
"Kamu gak mau bangun?" tanya Nino sambil membelai rambut Karina.
"Enggak, aku pengen begini aja sama kamu seharian. Hari ini jangan kerja, deh."
Nino terkekeh. "Tumben kamu manja, tapi aku suka kamu begini."
Karina mendongak. "Tidur kamu nyenyak, Mas?"
Nino tertegun sejenak. "Nyenyak."
"Syukurlah. Aku khawatir kalau tidur kamu gak nyenyak kayak kemarin."
Nino tidak menjawab lagi. Sebenarnya, ia baru bisa tidur satu jam sebelum alarm berbunyi.
***
Pagi ini seperti biasa, Nino mengantar Karina sampai ke kantornya. Karina sudah membujuk Nino agar mengizinkannya mengikuti ujian praktek SIM A—agar bisa membawa mobil sendiri dan tidak merepotkan Nino untuk mengantar-jemputnya. Namun, Nino tetap tidak mengizinkan. Kekhawatirannya terlalu besar untuk melepas Karina mengemudi sendirian.
"Sampai jumpa nanti sore, ya." Nino mencium kening, kedua pipi, hidung dan bibir Karina sebelum ia turun.
Karina mengangguk. "Bekalnya jangan lupa dimakan, ya."
Nino tersenyum. "Iya, Sayang."
Setelah itu, Karina turun. Bersamaan dengan itu, Safira juga baru saja sampai. Sahabatnya itu menunggu di dekat pos satpam. Ia memerhatikan Karina yang sedang berbicara dengan Nino yang turun sebelum wanita itu melangkah menuju pos satpam. Nino memeluk Karina sekilas sebelum masuk ke mobil. Karina melambaikan tangan sebelum Nino melajukan mobilnya.
Safira mendesah pelan. Pagi-pagi sudah melihat adegan manis seperti itu. Ia jadi berandai-andai, jika dirinya menikah nanti apa ia akan diperlakukan seperti itu juga? Safira berdecak, mengenyahkan pikirannya yang sudah melantur ke mana-mana di pagi hari seperti ini.
"Gue seneng sekaligus iri lihat lo pagi ini," ujar Safira setelah Karina berada di hadapannya.
"Iri kenapa?"
"Iri lihat hubungan lo sama suami lo. Kayaknya so sweet gitu. Lo tahu, suami lo itu tipe ideal para wanita jomlo."
Karina mengernyit. "Masa sih?"
Mereka berjalan menuju lobi.
Safira mengangguk. "Lo beruntung udah dapetin dia. Semoga aja, pas udah jadi suami, Raka juga begitu ke gue. Antar-jemput tiap hari, kasih pelukan sebelum kerja." Safira membayangkan sambil tersenyum lebar. "Waah, bahagia kayaknya hidup gue."
Karina terkekeh sambil geleng-geleng kepala.
"Tapi, lo gak takut suami lo ada yang naksir? Atau direbut orang gitu. Secara zaman sekarang pelakor itu berserakan di mana-mana." Safira tiba-tiba terpikirkan pertanyaan itu.
Karina menghentikan langkahnya sejenak. Lalu, menoleh pada Safira. "Dia gak kayak mantan suami gue, Saf. Mas Nino cinta mati sama gue." Karina meniru ucapan Lany saat itu yang meyakini jika suaminya cinta mati pada wanita itu. Mereka tertawa. Kemudian, mereka melanjutkan langkahnya.
Sementara itu, Nino baru saja keluar dari mobil. Ada seseorang juga yang baru tiba di sana dan keluar dari mobilnya. Saat Nino akan melangkah menuju lift, dia memanggilnya.
"Pak Nino."
Nino menoleh dan memasang wajah malas melihat seorang wanita menghampirinya.
"Pagi, Pak Nino," sapa wanita itu dengan ekspresi tersipu malu yang dibuat-buat.
Nino memaksakan seulas senyum dan membalas sapaan wanita yang lebih tua beberapa tahun darinya itu. "Pagi."
Nino berjalan cepat menuju lift. Namun, wanita itu berusaha mengimbangi langkah Nino dengan setengah berlari walau sedang memakai stiletto.
"Pak, siang nanti setelah meeting kita bisa makan siang bareng, kan?"
"Emm." Nino melirik jam tangannya. "Saya udah bawa bekal, Bu. Jadi gak akan makan di luar. Terima kasih ajakannya, Bu Desti." Nino tersenyum, lalu berbelok menuju arah tangga darurat. Mengurungkan niatnya untuk naik lift.
"Lho, Pak Nino mau ke mana?" tanya wanita itu menatap Nino yang berjalan cepat ke arah lain. Padahal lift sudah tinggal beberapa langkah lagi.
"Mau lewat tangga darurat. Sekalian olahraga," jawab Nino dengan suara sedikit kencang tanpa menoleh.
Wanita itu berdecak kesal sambil mengentak-entakkan kakinya.
Sejak Nino dipindahkan ke kantor ini delapan bulan bulan lalu, wanita bernama Desti itu selalu mencoba untuk mendekatinya. Menurut kabar, wanita itu belum juga menikah walau usianya sudah menginjak tiga puluh lima tahun.
Saat Nino menggelar resepsi pernikahan, dia terlihat ketus ketika bersalaman dengan Karina dan mengaku pada Nino patah hati karena melihatnya menikah. Nino tidak menghiraukan apa yang dikatakan oleh wanita itu. Ia hanya mendoakan, semoga saja dia segera mendapatkan jodoh dan tidak mengejar-ngejar dirinya yang sudah berstatus menjadi suami orang.
Napas Nino terengah-engah ketika sampai di kantornya yang berada di lantai enam. Ia merapikan pakaiannya sebelum masuk ke ruangan.
"Kayaknya capek banget, Pak," ujar seorang office boy yang keluar dari pintu darurat sesaat setelah Nino keluar dari sana.
"Saya lewat tangga darurat biar sampai ke sini."
"Lho," pria paruh baya itu tampak terkejut. "Liftnya rusak to, Pak?"
"Enggak, saya menghindari orang."
"Oh." Dia angguk-angguk. "Bu Desti, yo?"
Nino terkekeh pelan, lalu mengangguk. Hampir semua orang di kantornya tahu jika Desti mengejar-ngejar Nino. Bahkan wanita itu pernah mengaku-ngaku sebagai pacarnya.
"Oalah, kirain udah berhenti ngejar-ngejar Bapak. Anu, mau dibuatin kopi nggak, Pak?" tanya pria itu dengan logat jawa yang kental.
"Boleh, jangan pakai gula, ya, Pak."
"Siap." Pria itu mengacungkan jempolnya dengan semangat.
Nino masuk ke ruangan dengan menenteng dua tas di tangannya. Satu tas kerja berisi laptop dan berkas-berkas, satu lagi berisi bekal makanan yang sudah disiapkan oleh Karina.
Hampir setiap hari ia membawa itu dan terkadang menyita perhatian karyawan yang melihatnya. Seperti sekarang, dua orang karyawan wanita yang sudah menyapa Nino, lalu kembali duduk di kubikelnya masing-masing saling menggeser kursi ke samping untuk membicarakan sesuatu.
"Kayaknya si Bapak bawa bekal hari ini," ujar wanita rambut sebahu.
Wanita di sebelahnya mengangguk. "Gak bisa lihat pemandangan dong, nanti siang di kantin."
"Hus. Udah beristri dia."
"Gue tahu, tapi Pak Manajer kita itu selain ganteng, dia juga tipe cowok yang banyak diburu sama cewek," sahut wanita berambut sepunggung.
"Ah, dari mana lo tahu?"
"Gue pernah lihat dia beberapa kali di supermarket sama mall, lagi jalan-jalan sama istrinya. Pak Manajer so sweet banget, lho. Sepanjang gue lihat, tangannya gak pernah lepas gandeng istrinya. Kayaknya dia bucin banget sama istrinya," jelas wanita itu sambil menopang dagu.
"Pantesan sih, Bu Desti ngejar-ngejar terus. Dia udah khatam masalah perlelakian. Mana yang layak dijadikan pasangan, mana yang lebih baik dijauhi."
"Kalau dia belum berpawang, kayaknya gue mau saingan sama Bu Desti."
Wanita berambut sebahu tertawa. "Kayaknya bahagia ya, yang jadi istrinya. Dapet suami sempurna kayak Pak Nino."
***
Di ruangannya, Nino memandangi nomor seseorang yang tertera di ponselnya. Sejak tadi, ia menimbang-nimbang antara menghubungi atau tidak. Sudah lima tahun lebih ia tidak menghubungi orang itu. Sebelum hilang kontak, sesekali orang itu menanyakan keadaan Nino.
Sekarang, ia mendapatkan lagi nomornya dari seorang teman. Ia membutuhkannya sekarang. Namun, Nino ragu untuk menghubunginya lagi, tetapi ia juga tidak ingin Karina tahu, meski Nino tidak yakin bisa menyembunyikan semua dari Karina selamanya.