Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Ilusi yang Menyeret
Ardan membuka matanya perlahan. Terasa hangat, nyaman, dan penuh kedamaian—sama sekali tidak seperti dunia yang ia tinggalkan. Ia menghela napas panjang, merasakan udara yang begitu segar, bahkan udara pagi terasa lebih lembut dan menenangkan. Seperti baru saja terbangun dari mimpi yang indah. Sesuatu yang selama ini dia cari—ketenangan.
Hari itu, ia merasa tidak ada yang perlu dipikirkan, tidak ada yang perlu dijalani. Waktu berjalan begitu pelan, setiap detik seperti menyelubungi dirinya dalam balutan kebahagiaan yang sederhana. Ardan melangkah keluar dari rumah kecil yang terasa begitu familiar—rumah yang terasa nyaman, dengan cat berwarna putih yang sudah sedikit memudar oleh cuaca, tetapi tetap tampak hangat. Di luar, taman hijau yang penuh dengan bunga berwarna cerah, dan burung-burung berkicau riang di atas pepohonan. Semua ini tampak seperti hidup yang sempurna.
Ardan berjalan di jalan setapak menuju sebuah kafe yang ada di ujung jalan, tempat yang pernah dia kunjungi bersama orang-orang yang ia kenal—tanpa tahu siapa mereka, hanya ada perasaan hangat yang terhubung dalam kenangan yang samar. Tersenyum, ia melangkah, menikmati tiap langkahnya. Semua begitu sempurna. Tidak ada pertanyaan, tidak ada keraguan. Hanya hidup yang sederhana.
Di dalam kafe itu, suasana tampak hidup, penuh tawa dan obrolan ringan. Suasana yang menyenangkan, membuat Ardan ingin berlama-lama di sana. Bahkan ada seorang wanita muda, dengan senyuman yang menghangatkan, yang duduk di mejanya, seperti sudah menunggu kedatangannya. Wanita itu mengenakan gaun berwarna cerah, dan mata mereka bertemu, seolah ada sebuah ikatan yang begitu kuat, meskipun Ardan tidak bisa mengenalinya dengan jelas.
"Ardan," sapanya dengan lembut. "Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu." Suaranya terdengar begitu familiar, namun wajahnya tetap kabur di ingatan.
Ardan duduk, tanpa banyak berpikir. Segala kebingungan yang selama ini menggerogoti dirinya seolah menghilang begitu saja. Semua pertanyaan yang menggelayuti pikirannya terhapus, digantikan dengan kebahagiaan yang mendalam. Tidak perlu mencari tahu apa yang telah terjadi sebelumnya. Ini adalah hidup yang ia dambakan—tanpa perjuangan, tanpa kesulitan. Hanya kebahagiaan yang nyata.
Namun, dalam benaknya, sesekali muncul keraguan yang samar. Sesuatu yang tidak terasa pada awalnya, tetapi semakin ia melanjutkan hidup dalam ilusi ini, semakin kuat perasaan bahwa ada yang tidak beres. Sesuatu yang sangat penting, yang membuat segala kebahagiaan ini terasa tidak lengkap. Suasana sekelilingnya tampaknya terlalu sempurna. Terlalu ideal. Terlalu tenang.
Pernahkah Ardan benar-benar memilih hidup ini? Atau apakah dia terperangkap dalam sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri? Ada perasaan di dalam dirinya yang tidak bisa diabaikan, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya—karena kebahagiaan ini begitu manis, dan siapa yang tidak ingin terus merasakannya?
Beberapa hari berlalu, dan Ardan semakin tenggelam dalam rutinitas yang nyaman ini. Ia bekerja di kantor kecil yang penuh dengan orang-orang yang tampak peduli padanya, meskipun wajah mereka tetap samar dan tidak jelas siapa mereka sebenarnya. Ia kembali ke rumah kecilnya yang nyaman, makan malam dengan teman-teman yang baik, dan tidur dalam ketenangan. Setiap hari terasa seperti hari yang tak pernah berakhir. Begitu memuaskan, begitu menyenankan.
Namun semakin lama, ketenangan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih membingungkan. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang tak beres—sebuah perasaan yang terus menghantui setiap langkahnya. Mengapa segala sesuatu terasa begitu biasa? Mengapa ia merasa terjebak dalam rutinitas yang begitu tidak nyata?
Dalam sebuah malam yang sunyi, Ardan duduk di beranda rumah kecilnya. Bintang-bintang bersinar cerah di langit, tetapi ia merasa kesepian—meskipun di sekelilingnya ada kebahagiaan yang tampak tak terbatas. Mengapa ada rasa hampa di dalam dirinya? Mengapa ada keraguan yang tak bisa dihilangkan?
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya perlahan.
Dan saat itu, suara lembut yang sudah tidak asing lagi terdengar di telinganya. "Ardan," suara itu datang dari belakangnya, penuh dengan ketenangan dan kekhawatiran. "Apa yang kamu rasakan?"
Ardan menoleh, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia melihat wajah wanita itu dengan jelas. Wajah yang pernah kabur, kini terlihat begitu nyata. Wanita itu tersenyum, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam senyuman itu—sesuatu yang mengisyaratkan bahwa ia mengetahui lebih banyak daripada yang ia tunjukkan.
"Apa yang terjadi pada diriku?" tanya Ardan, suaranya dipenuhi dengan ketidakpastian.
Wanita itu hanya memandangnya, lalu perlahan berkata, "Apa kamu benar-benar ingin tahu?"
Ardan merasa seolah-olah sebuah tirai yang menutupi matanya mulai terangkat. Kesadaran mulai kembali padanya—bahwa dunia ini, kenyataan yang dia rasakan selama ini, hanya sebuah ilusi. Sebuah ujian dari ujian. Satu lapisan kenyataan yang dia pilih untuk hidup di dalamnya, tetapi ia mulai menyadari bahwa dunia ini bukanlah tempat yang nyata. Ini hanya sebuah jebakan, sebuah ujian untuk melihat apakah ia bisa keluar dari zona nyaman yang tampaknya sempurna.
"Apa aku terjebak?" Ardan bertanya dengan suara gemetar, mencoba untuk menerima kenyataan yang begitu sulit untuk diterima.
Wanita itu mengangguk pelan, tetapi senyumnya tidak berubah. "Ini hanya ilusi. Sebuah dunia yang kamu buat untuk melupakan kenyataan. Tapi jika kamu tetap berada di sini, kamu akan tetap terjebak, Ardan."
Hati Ardan berdegup kencang. Ia ingin melawan kenyataan ini, ingin tetap berada di dunia yang tampak penuh kebahagiaan ini. Tetapi di sisi lain, perasaan bahwa ia harus bangun semakin kuat. Ia harus memilih—terus hidup dalam kebahagiaan yang semu ini atau menerima kenyataan yang lebih sulit dan penuh tantangan.
Ardan menatap wanita itu untuk terakhir kalinya, merasakan kehadirannya seperti sebuah pengingat bahwa ia harus bangkit dan melawan ilusi ini. Dunia yang sempurna ini harus ditinggalkan, meskipun itu sangat menyakitkan.
Dengan langkah yang mantap, Ardan bangkit, berjalan meninggalkan rumah kecil itu, meninggalkan kafe yang penuh tawa, dan menatap dunia yang kini tampak lebih kabur daripada sebelumnya. Ia harus menemukan jalan keluar dari dunia yang tak nyata ini, karena hanya dengan itu ia bisa kembali menemukan diri sejatinya.
Namun, jalan keluar itu tidak akan mudah.