Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Moment Biasa Saja
Usai kelas, Dizza dengan semangat merapikan buku dan alat tulis yang sebelumnya terhampar di atas meja lalu menyimpannya ke dalam tas totebag andalannya.
“Dizza!”
Dizza menolehkan kepala dan saat itulah dia mendapati Kimber, yang mendatanginya. Meski satu kampus tapi dia dan Kimber berbeda jurusan makanya waktu temu mereka sedikit tidak bisa beraturan kecuali kalau mereka membuat janji dulu. Memang sedikit berbeda dari saat mereka masih sekolah menengah dulu. Dan sebenarnya Kimber yang seperti ini agak jarang, sebab biasanya selalu Dizza yang menghampiri duluan.
“Ada toko kue baru di dekat kampus, aku dan levin mau kesana, kau ikut?”
Mendengar nama Levin disebut, Dizza agak termenung. Dia dan Levin memang tidak saling bicara sejak insiden penembakan pemuda itu tempo hari dan Dizza pun tidak tahu harus memulai interaksi dengannya. Sejujurnya Dizza sangat sedih dengan situasi baru ini. Tetapi apa boleh buat, toh mereka berdua sudah dewasa dan mereka berdua pun tahu konsekuensi dari tindakan satu sama lain terhadap persahabatan mereka.
“Maaf, tapi hari ini aku tidak bisa pergi,” tolak Dizza halus.
Kimber pastinya sudah tahu alasannya dan gadis itu pun sedang berusaha sebisanya untuk menyatukan mereka kembali seperti sedia kala. Sejenak raut wajah gadis itu tampak sedikit sedih, tetapi setelah itu dia kemudian menganggukan kepala.
“Begitu ya, kau jadi sibuk sekali akhir-akhir ini.”
Dizza menganggukan kepala, sejujurnya tidak sesibuk itu dan bahkan Dizza bisa meluangkan waktu untuk bersama dengan Edzhar, atau kalau dia pergi dengan Kimber saja tentu Dizza akan menerimanya. Tetapi berhubung ada Levin disana, Dizza tahu diri untuk tidak menunjukan dirinya. Setidaknya dia tidak mau bersikap seenaknya dengan bertingkah bahwa tidak ada apa-apa diantara mereka setelah hari itu. Dizza bagaimana pun merasa tidak enak.
“Maaf ya, mungkin lain kali aku akan ikut,” ujar Dizza. “Kalau begitu aku pergi dulu, sampaikan salamku pada Levin, dah!” Dizza melambaikan tangannya pada Kimber dan bergegas keluar dari kelas. Dia berbelok ke koridor menuju ke perpustakaan.
Sebenarnya perpustakaan bukanlah tempat yang dia sukai, tetapi sejak Dizza menyadari sesuatu di dalam hatinya. Perpustakaan jadi tempat yang berbeda untuk dirinya, dan pelan-pelan dia jadi menikmati suasana tempat itu. Ada hal lain, ya lebih tepatnya ada seseorang yang membuat Dizza bersemangat datang ke perpustakaan bila punya waktu luang.
Orang itu selalu duduk di bangku dekat jendela, lokasi yang sama saat Dizza mengajak pemuda itu ke festival waktu itu. Dizza berdiri agak lama di dekat pintu. Memandangi punggung pria itu dari jauh, seraya mencoba untuk mengatur detak jantungnya yang tidak normal saat ini. Kala itu dia membiarkan bukunya terbuka di depannya sedang matanya selalu menatap ke arah luar jendela. Dizza kadang selalu bertanya-tanya apa yang sedang dia tatap di luar sana? Mungkinkah dia tengah memandangi orang yang sedang dia sukai dari tempat ini?
Alibi yang dia buat sendiri agak menyakitkan untuk dapat dia terima. Oh ya ampun untuk apa pula dia bertingkah seperti itu sekarang?
“Jadi ini alasan sibukmu?”
Sebuah suara memutus lamunan Dizza. Gadis itu menoleh dan terkejut mendapati Levin, berdiri di belakang punggungnya.
“Le—Levin? Bukannya kau mau ke toko kue dengan Kimber?”
“Iya, tapi aku mampir dulu kemari,” katanya yang membuat Dizza jadi menerka-nerka alasan pria itu datang kemari. Kecanggungan menyerbak diantara mereka berdua. Oh tentu saja, Dizza sama sekali belum siap bertemu dengan pria itu disini dan sekarang dia malah ada di depannya dan mengajak bicara. Lantas Dizza harus apa?
“Kenapa tidak masuk?”
“Mau kok.”
“Tapi dari yang aku lihat kau berdiri disini cukup lama tuh,” celetuk Levin lagi.
“Terserah padaku kan mau masuk atau tidak. Kenapa kau ikut campur begitu?”
“Kau suka dia, kan?” balas Levin dan itu jauh terdengar seperti sebuah pernyataan dibandingkan pertanyaan yang memerlukan jawaban. “Aku tahu kok kalau kau suka dia.” Dan lagi dia memperjelas kata-katanya dengan kalimat lanjutan.
Dizza memberenggut. Apa perasaannya sekarang begitu jelas terlihat?
Dizza memilih mengabaikan kata-kata Levin sebelumnya. “Kalau ada keperluan di perpus kenapa kau tidak masuk sekarang? lagi pula mau apa kau kemari?” tanya Dizza agak kasar.
“Pinjam bukulah, memangnya apalagi? Aku kan bukan orang yang hobby mengintip orang dari jauh seperti seseorang,” sahut Levin yang tampak tidak terganggu dengan sikap kasar yang Dizza perlihatkan. Melihat seberapa santainya Levin meladeninya sekarang, Dizza jadi sedikit merasa bersalah.
“Sejak kapan kau rajin membaca?” tanya Dizza bingung, sebab dari yang Dizza ketahui pria itu selalu meninggalkan buku yang diperlukan saat kuliah di loker. Dia bahkan masih menyimpan kunci duplikat loker pemuda itu ditangannya.
“Ini untuk tugasku,” jawab Levin seraya maju satu langkah. Tetapi sebelum benar-benar masuk dia menatap Dizza lagi. “Gara-gara lupa mengumpulkan makalah tadi, aku disuruh mengerjakan ulang dengan tiga sumber berbeda.”
“Salahmu sendiri lupa,” celetuk Dizza.
“Aku tahu,” kata Levin kemudian. Sekali lagi cara Levin memandangnya sekarang berubah dan itu membuat Dizza agak canggung menatap kedua matanya balik. “Saranku, sebaiknya kau coba saja utarakan perasaanmu dan lihat hasilnya. Dan untuk urusan kita, aku menganggapnya sebagai ‘nice try’ jadi tolong jangan menghindar dariku lagi. Oke?” ujar lelaki itu sambil melangkah masuk ke dalam sementara Dizza terdiam disana.
Tak lama pria itu keluar dari perpustakaan dan menepuk bahunya tanpa kata. Dizza memandangi Levin hingga dia menghilang dari pandangan. Saat itulah Dizza tersenyum, Levin memang selalu membantunya merasa lebih baik dengan caranya. Tetapi senyum itu langsung lenyap begitu dia mendapati orang yang sedang dia tatap sebelumnya menyadari keberadaan Dizza. Sial.
Saat Dizza masih sibuk menerka-nerka alasan mengapa ekspresi wajah pemuda itu berubah saat itu pula Dizza memutuskan untuk masuk dan menghampirinya.
“Edzhar!” sapanya dengan pembawaan sesantai mungkin.
Dia menoleh pada Dizza, “Kau bicara padaku?” katanya.
“Lah memangnya siapa lagi? aku kan menyebut namamu dan hanya ada kau dan aku di ruangan ini,” sahut Dizza tidak mengerti atas tingkah polah Edzhar. Ini kali kedua Dizza mendapati sikap tidak biasa dari Edzhar setelah mereka bertemu di kedai kopi waktu itu.
“Ah iya, kurasa kau benar,” ujarnya setelah beberapa lama lalu membereskan barang-barangnya.
“Loh kau mau pergi sekarang?” tanya Dizza. Dia sebisa mungkin tidak ingin terlihat dan terdengar seperti sedang kecewa saat itu. Tetapi sialnya suaranya jelas menyatakan hal itu.
“Memangnya kenapa?” tanya Edzhar balik bertanya.
“Ya gak apa-apa sih,” kata Dizza agak gelagapan mencari alasan tetapi dia tetap saja mengekor di belakang Edzhar.
“Sebenarnya untuk apa kau ke perpustakaan?” Entah darimana Dizza bisa-bisanya punya ide menanyakan hal yang pasti jawabannya begitu. Terdengar agak bodoh sebenarnya.
Edzhar meliriknya, dan saat itulah Dizza menyadari bahwa warna matanya teramat menawan di pandangi dari jarak mereka sekarang. “Untuk membaca,” jawabnya setelah beberapa detik.
Tuh kan, jawabannya jelas memang akan begitu. Memangnya karena apa lagi?
“Tapi entah kenapa aku merasa kalau itu bukan satu-satunya alasan, tadi kau membiarkan bukumu terbuka di depan tanpa membacanya, sedang kau memandang keluar jendela.”
Edzhar tampak membeku sesaat, lalu dia membuang muka. Sekilas Dizza bisa melihat wajahnya memerah. “Kau sedang memandangi siapa?” tanya Dizza nekad.
“Bukan siapa-siapa,” sahutnya. “Lagipula kenapa pula kau tetap masuk ke perpus kalau kau punya janji dengan Levin.”
“Eh kau melihatnya?” tanya Dizza penasaran.
Tentu saja aku lihat, mana mungkin aku tidak lihat kalau bayanganmu saja—” Kalimat itu terputus, dia langsung mencoba untuk menutup rapat mulutnya.
“Bayanganku apa? hey kau harus meneruskan kalimatmu!” desak Dizza. Dia benar-benar penasaran dengan maksud Edzhar.
Dia terlihat menghela napas. “Kalau begitu duduklah di tempatku tadi.”
Dizza menuruti perintah Edzhar tanpa berkomentar. “Lihat ke jendela.”
Dizza menolehkan kepala sesuai intruksi dari Edzhar. Apa yang dia lihat benar-benar membuatnya terkejut. Dengan gerak pelan, gadis itu menolehkan kepala menghadap Edzhar.
“Jadi …” kata-katanya menggantung di udara.
“Sekarang kau tahu kan siapa yang aku pandangi?” ujar Edzhar dengan wajah memerah.
Wajah Dizza pun ikut memanas, tidak kalah merah dengan wajah Edzhar saat ini. Karena ternyata sejak tadi yang Edzhar pandangi bukanlah orang di luar jendela melainkan bayangan dirinya sendiri di kaca jendela. Otomatis pria itu tahu kalau sedari awal Dizza memperhatikannya dari pintu masuk. Ini benar-benar memalukan!
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱