Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18_Keputusan yang Membebani
“Santi, bereskan ikan ini, ibu mau ke depan dulu,” Sumi mencuci tangannya, kemudian pergi ke ruang tengah untuk melihat siapa yang datang, sehingga Burhan tidak mau menemuinya.
“Baik, Bu,” ucap Santi.
Santi pun sebenarnya penasaran siapa yang datang, jadi cepat-cepat ia bereskan ikannya, dan menyimpannya di dalam rak lemari, kemudian menutupnya dengan tutup panci agar tidak dimakan kucing.
Setelah itu, ia menyusul ke ruang tengah.
“Jadi begitu ceritanya, Bu…” ucap salah seorang petugas yang berseragam kemeja berwarna biru terang dan celana hitam. Mereka adalah petugas bank, terlihat dari salah satu petugas yang memakai kaus biru dengan logo BRI di dadanya.
Santi belum tahu apa yang terjadi, jadi dia langsung duduk di samping ibunya.
“Kenapa, Bu?” tanya Santi.
Sumi meremas tangan Santi, hati Sumi nyesek sekali rasanya.
“Mas, mas Burhan, keluar kamu dari dalam kamar, mas, jangan bersembunyi, selesaikan semua ini,” pekik Sumi, masih memegang tangan Santi.
Tak lama kemudian, Burhan pun keluar dengan wajah menunduk.
“Bagaimana, pak? Bapak sudah jatuh tempo tiga bulan yang lalu, dan ini adalah bulan keempat bapak menunggak. Pihak bank sudah tidak bisa memberi kesempatan lagi, cepat lunaskan tunggakan empat bulan atau bapak dan keluarga harus mengosongkan rumah ini. Rumah dan tanah ini akan menjadi hak milik bank seutuhnya,” ujar salah seorang petugas bank.
Burhan memohon agar diberi kesempatan.
“Ya sudah, silakan bapak lunaskan hutang bapak untuk empat bulan ini, sebesar 6 juta rupiah. Kalau tidak, dengan terpaksa bapak dan keluarga harus meninggalkan rumah ini. Kami beri bapak waktu 1 minggu. Dan perlu bapak ketahui, saya memberi bapak waktu karena saya kasihan melihat anak-anak bapak yang masih kecil-kecil,” ujar petugas bank tersebut, kemudian pergi meninggalkan rumah itu.
“Apalagi yang kamu sembunyikan dariku, mas?” tanya Sumi histeris.
Burhan terdiam.
“Jawab, kamu ke mana kan uang itu? Tidak cukupkah Santi harus putus sekolah? Apa kamu ingin melihat seluruh anak-anakmu menjadi gembel sekalian dan tidur di kolong jembatan? Jawab mas,” pekik Sumi.
“Bukan begitu, Bu, mas juga tidak dapat uang dari gadai di bank sepeser pun,” sahut Burhan, ia tahu ia salah.
“Lalu, kamu ke mana kan uangnya?”
“Dengarkan mas dulu, Bu,” ucap Burhan.
Burhan mulai menjelaskan bahwa enam bulan yang lalu ia menggadaikan surat tanah rumah mereka tanpa sepengetahuan Sumi dan juga anak-anaknya. Ia melakukannya karena ibunya di kampung meminta Burhan untuk mengusahakan uang senilai 30 juta rupiah, karena di kampung emaknya ada orang yang mau pindah, dan menjual sawah mereka dengan harga yang sangat murah. Yaitu hanya 28 juta rupiah saja. Jadi, ia mendesak Burhan untuk mengusahakan uang sebanyak itu sebagai tanda baktinya kepada ibunya.
“Tapi Mak, Burhan mana ada uang sebanyak itu? Burhan saja hanya bekerja sebagai karyawan menganyam bambu,” sahut Burhan berbicara melalui telepon.
“Pokoknya emak enggak mau tahu, Burhan harus usahakan. Jika bukan padamu ibu meminta, lalu kepada siapa lagi? Kepada Sumi? Tolonglah Burhan, kamu itu sudah menjadi seorang bapak, anakmu sudah ada enam orang. Tolong tunjukkan baktimu kepada emak, agar anak-anakmu nanti juga berbakti kepada mu,” tukas Mak Erot, ibu kandung Burhan.
“Bukan Burhan enggak mau berbakti, mak, tapi Burhan beneran enggak ada uang sebanyak itu, Mak. Tolonglah mengerti keadaan keluarga Burhan, Mak.”
“Kamu kan masih punya surat rumah, rumah kalian kan atas nama kamu. Jadi kamu gadaikan saja dulu ke bank, mengenai cicilannya biar ibu yang bayarin tiap bulan. Sayang ini sawah kalau sampai orang lain yang beli,” ucap Mak Erot.
Akhirnya Burhan pun menyanggupi perintah emaknya itu, dengan harapan jika ia berbakti kepada emaknya maka anak-anaknya pun kelak akan berbakti kepadanya. Meskipun Burhan tidak pernah mendidik dan mengajari anak-anaknya dalam hal kebaikan.
Riski meninju lantai dengan keras, sampai tangannya berdarah, sangking geramnya ia mendengarkan penjelasan ayahnya. Santi pula, sudah meremas bajunya, ingin sekali ia memaki-maki ayahnya itu. Dan Sumi sendiri, ingin sekali ia menceraikan suaminya yang gila itu.
Tetapi ia berpikir di mana ia akan tinggal, ia adalah anak tunggal yang tidak punya saudara, keluarga yang ia miliki hanyalah anak-anaknya, dan Burhan suaminya.
Dan Burhan pula begitu tega kepada ia dan anak-anaknya.
“Maafkan ayah nak, maafkan ayah, Bu, ayah menyesal. Tadinya selama enam bulan itu emak tidak pernah menunggak membayar, tetapi entah mengapa dalam empat bulan belakangan ini emak menunggak, bahkan ponselnya sangat sulit untuk ayah hubungi,” jelas Burhan.
Sumi hanya terdiam, tubuhnya kaku. Dan, plak! Sumi pingsan seketika.
“Ibu… ibu…” teriak anak-anaknya.
Dengan segera Burhan menelpon bidan di kampung itu. Beruntung bidan itu sedang tidak ada pasien di kliniknya, jadi ia bisa dengan cepat berangkat ke rumah Burhan untuk mengecek Sumi.
Namun, Bu bidan menyarankan agar Sumi dibawa ke rumah sakit saja. Akhirnya, Sumi pun dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan mobil ibu bidan.
“Bu Sumi terkena stroke ringan, Pak, dia bisa berbicara, bisa mendengar, hanya saja ia tidak bisa berdiri dan berjalan, ia hanya bisa berbaring saja begini,” ujar Pak Dokter.
Santi dan Ridho menangis, sedangkan Riski hanya termenung. Ujang, Sisil, dan Lili belum mengerti apa itu stroke.
“Apa masih ada kemungkinan ibu saya akan sembuh, dok?” tanya Santi.
“Adik, tenang saja, ibu adik akan baik-baik saja dan pulih kembali, asalkan dia dirawat dengan baik, dan diberi obat secara teratur,” sahut Pak Dokter.