Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Angin sore ini, sangat sejuk dan menenangkan. Untuk sesaat, aku sepertinya sudah menjadi gila.
Apa karena aku merasa lelah? Atau karena aku sedang kelaparan? Entahlah. Sekarang, aku hanya ingin melepas rasa letih di atas jembatan ini.
Di hadapanku, aku bisa melihat indahnya matahari yang mulai terbenam. Wajahku jadi terpapar sinar oranye. Silau, tapi juga indah. Sesuatu yang indah itu memang menyilaukan, bukan?
Angin yang berasal dari arah barat, membuat pakaian dan hijab yang kukenakan jadi berkibar-kibar. Anginnya, tiba-tiba jadi terasa agak kencang. Aku merasa seperti bisa terbang ke atas langit.
Ya, seandainya itu bisa terjadi, maka aku juga ingin terbang menembus awan, lalu menghilang.
Aku melamun cukup lama di atas jembatan. Dan di saat aku sedang fokus memandangi matahari yang berwarna jingga, tiba-tiba aku tergerak.
Kedua tanganku menggenggam besi jembatan dengan erat. Aku sudah bilang, kan, kalau aku memang sudah gila? Aku benar-benar telah hilang akal.
Perlahan, aku mengangkat sebelah kakiku, hendak menaiki pagar jembatan panjang nan besar ini. Kebetulan, jalanan sangat sepi sore ini, ah, bukan, kini sudah agak petang karena aku sudah berdiri cukup lama di sini. Itulah mengapa, aku jadi ingin berbuat bodoh di hari yang terasa hanya ada aku seorang diri di dunia ini. Aku tak suka jika kebodohanku terlihat oleh orang lain.
Ketika kaki kiriku sudah berpijak pada salah satu pagar besi jembatan paling bawah, di saat yang sama, air mataku mulai mengalir tanpa aba-aba. Aneh. Padahal, sekarang aku sedang tidak memiliki emosi sama sekali. Aku jadi terlihat sedang menangis dalam diam dengan wajah datar. Benar-benar datar. Aku sama sekali tidak merasakan apapun dalam hatiku. Kosong dan hampa.
"Neng!" Aku tersentak dan refleks membalik badan, guna melihat siapa gerangan yang berani mengganggu momen dramatisku ini. Sungguh kurang ajar.
"Ya?" sahutku, setelah menghapus air mata di kedua pipi menggunakan jilbab coklat yang aku kenakan.
"Pom bensin deket sini, ada di mana, ya, Neng?" Aku menghela napas panjang, setelah mendengar pertanyaan dari seorang bapak-bapak yang sedang duduk di kursi kemudi mobil hitam miliknya.
"Maaf. Saya kurang tahu karena bukan asli orang sini," jawabku, tanpa basa-basi langsung berjalan menjauhi bapak-bapak tadi.
Apa aku harus berterima kasih padanya? Berkat dia, aku jadi menunda niat bodohku. Ah, menunda? Apakah aku hanya menundanya, atau aku sudah mengurungkan niatku? Entahlah. Kuharap, niatan itu tidak akan pernah terealisasikan.
Aku sudah hidup dengan susah payah di dunia yang melelahkan ini. Kenapa aku harus mengakhiri hidupku dengan cara yang mengerikan seperti itu? Aku tidak ingin lagi merasakan kesulitan di alam yang lain.
Benar. Aku sudah melakukan hal yang benar dengan mengurungkan niatku ini.
Bodoh! Aku jadi teringat momen ketika aku sedang tertawa bersama adikku. Itu artinya, aku juga pernah merasa bahagia telah hidup di dunia yang fana ini. Bahkan, jika melihat bagaimana aku bisa berdiri dan berjalan menuju jembatan ini saja, sudah membuktikan bahwa hidupku tidak seburuk itu.
Aku telah terlahir sehat dan memiliki tubuh yang normal, adalah bukti bahwa Tuhan telah memberikan nikmat yang luar biasa padaku. Mungkin, aku harus berjuang dengan tubuh sehatku ini, agar bisa keluar dari lingkar kesengsaraan yang membelenggu hidupku.
Aku menghentikan langkahku, lalu mendongak menatap langit yang mulai menggelap. Aku memejamkan kedua mataku sejenak. Dan ketika aku kembali membuka mata, pandanganku menangkap sebuah bintang yang berkelap-kelip di langit. Bintang itu berusaha menunjukkan kilaunya, di tengah mendung yang berkumpul di atas sana. Ia masih tetap berusaha untuk berkilau.
Aku tersenyum melihat bintang itu sambil terus mendongak, sampai leherku terasa sakit.
Baik. Sekarang aku mengerti. Dari pada menjadi pendosa dengan membunuh diriku sendiri, lebih baik aku tetap hidup sehingga bisa berusaha dan berjuang agar dapat bersinar seperti bintang di langit.
Ya, cita-citaku sekarang adalah menjadi bintang. Aku akan menjadi bintang yang bersinar paling terang. Lihat saja!
~