Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikahlah Denganku!
Vincent bukan susah ditemui, melainkan memang tidak ada waktu luang setiap kali Lana mencarinya. Sekalinya ada waktu luang, itu ia gunakan untuk melihat kondisi terbaru El. Tak bisa dipungkiri, itu satu-satunya alasan agar dia bisa melihat Egi lagi.
Anak itu bahkan tidak melihat ke arahnya sama sekali.
Vincent seperti biasa kembali ke ruangannya dengan perasaan kacau balau. Dihempaskan tubuhnya ke kursi kerjanya, lalu menyandarkan kepala di sana. Ia lelah baik secara fisik maupun perasaan. Mata Vincent memejam, berharap dia bisa tidur barang sejenak dan melupakan Egi.
Vincent mencoba mensugestikan dirinya bahwa usianya sekarang amat sangat tidak lazim jika menyukai wanita seusia Egi. Bisa disangka dirinya menderita kelainan.
Namun, perasaan itu muncul tiba-tiba dan semakin kuat setiap hari. Vincent mencoba mengalihkan semua itu dengan bekerja sampai dia tidak sanggup membuka mata lagi. Terkadang, dia ingin segera mati saja.
Harusnya, setelah dilukai oleh Lana begitu besar, Vincent tidak mampu memiliki perasaan sebesar itu untuk seorang wanita. Tapi ini, dia bahkan merasakan segalanya berbeda dengan apa yang ia rasakan pada Lana. Ini sama sekali berbeda.
"Dokter!"
Vincent bangun dengan gerakan malas meski cukup terkejut. Ia bisa melihat seorang perawat sedang menyilakan seseorang masuk.
Begitu melihat siapa yang mengucapkan terimakasih kepada perawat yang bekerja di bawahnya, Vincent duduk dengan tegap, meraih apa saja agar terlihat sedang sibuk.
Rasanya anak ini terlalu kurang ajar sampai berani mengabaikannya sepanjang waktu.
Vincent berniat balas dendam.
"Siang, Dokter Vincent." Egi menyapa Vincent dengan sopan dan lembut, membuat Vincent mendongak sekilas.
"Silakan duduk," perintah Vincent tenang. Ketika Egi dirasa sudah duduk, Vincent mengalihkan perhatian dari kertas yang siap dibuang itu ke Egi. "Ada yang salah dengan El?"
Egi canggung mendengar suara Vincent yang dingin sehingga dia menggaruk pipi. Ia mencoba basa basi. "Maaf, tapi seharusnya saya tidak menanyakan ini disini, Dokter."
"Kalau begitu jangan katakan!" Vincent menutup pekerjaan kosongnya kasar, lalu berdiri seraya melepas jas dokternya. Ia melirik Egi yang bingung dan takut, tapi upaya pencegahan yang dilakukan Egi terlihat ragu-ragu. Vincent menahan senyum.
Anak ini lucu sekali kalau panik.
"Dokter, tapi anda harus mendengar ini! Ini salah anda! Maksud saya, anda tidak perlu melakukan itu—"
Vincent memotong ucapan Egi dengan tatapan dingin dan kejam. "aku hanya melakukan sesuatu yang perlu, jadi berhenti terus ikut campur urusan saya! Virgi, bukankah kamu yang memintaku agar tidak bertemu kecuali untuk urusan El?"
Egi mengangguk. "Tapi ini ada kaitannya dengan El, Dokter!" Ya sedikit sih ada.
"Kau bilang tidak seharusnya menanyakan hal itu disini, jadi lebih baik kamu pergi!" Vincent keluar dari ruangannya dan berjalan cepat menuju mobil. Senyumnya yang aneh menuai banyak perhatian dari siapapun yang mengenal Vincent selama ini.
Egi mengikuti dengan sesekali memanggil Vincent, meski diabaikan.
"Dokter!"
Ketika sampai di mobil, Vincent baru melambatkan langkahnya. Ia tahu Egi sudah kelelahan mengejarnya. Perlahan ia membuka mobil, dan berbalik menghadap Egi.
"Kita bicara ditempat lain!"
Egi membungkuk karena kelelahan mengejar Vincent. Napasnya terengah parah, bahkan rasanya ia tak mampu membasahi tenggorokannya sendiri.
Mendengar ucapan Vincent, Egi segera menegakkan tubuh dan menatap Vincent kesal. Kan bisa bilang tadi kalau mau bicara ditempat lain. Kenapa harus membuatnya berpikir kalau sudah diabaikan, sih?
"Jadi tidak bicaranya?" Vincent berlagak sedang terburu-buru dengan beberapa kali melihat ke arah jam tangannya. "Kalau—"
"Jadi!" Egi mengerahkan sisa tenaganya untuk berlari ke mobil Vincent. Ia duduk dan diam sampai mereka tiba di sebuah mal. Vincent tanpa menghiraukan Egi, berjalan cepat hingga tiba di sebuah tempat makan favorit Vincent.
"Aku tidak bisa berpikir saat lapar! Jadi mari bicara sambil makan!"
Egi melihat ke arah papan nama resto. Selain takjub, ia juga merasa kecil disini, ini kali kedua dia ke resto mewah. Harga makanannya bisa dia pakai untuk makan sebanyak 2 sampai 5 kali. Sekarang saja, dia tetap berhemat meski uang di rekeningnya cukup banyak.
Vincent yang memberinya. Jujur saja, Egi menghitung pengeluarannya agar nanti ketika semua sudah normal, Egi bisa mengganti atau minimal mempertanggungjawabkan apa saja yang sudah dia beli dengan uang itu.
Mereka masuk beriringan lalu duduk di meja paling dekat dengan pintu. Usai memesan, Egi langsung bicara.
"Dokter—"
"Tunggu sampai selesai makan!" Vincent segera membuka ponsel, dan fokus pada benda itu. Egi meski dibuat melongo, tapi tidak berkata apa-apa. Ia pun membuka ponsel meski tidak tahu apa yang akan dilakukan dengan ponselnya.
Vincent tersenyum senang. Dengan begini, dia bisa berlama-lama bersama Egi.
...
"Dokter, kenapa Dokter beneran hancurin rumah sewa saya?" Akhirnya, setelah selesai makan, Egi dengan tidak sabar menyerbu Vincent dengan apa yang membawanya ikut Vincent sejauh ini.
Kemarin lalu, Egi berniat melunasi biaya sewa rumah yang ditinggalinya selama bertahun-tahun lamanya. Ia berniat sedikit nostalgia dan mengeluarkan barang-barang miliknya meski tak seberapa. Otaknya hanya berpikir Vincent pasti bercanda. Tidak taunya, rumah itu sudah rata dengan tanah. Rata yang sungguh rata. Pemilik rumah juga tidak berada di tempat saat Egi mencari ke rumahnya.
"Saya harus gimana ke pemilik sewa? Pasti dia sangat marah, selain saya belum bayar sewa beberapa bulan, rumahnya hancur! Mereka pasti minta ganti rugi—saya tidak mungkin bisa bayar uang ganti rugi, ini saja saya harus pakai uang dari Dokter! Lalu uang sebanyak itu saya dapat dari mana—?"
Egi terbata, marah, kesal, tapi yang dihadapinya adalah Vincent. Dia segan pada pria itu setelah sejauh ini tidak pernah ingkar janji untuk saling menjauh.
"Saya masih punya hutang ke Dokter sebanyak itu!" Egi setelah berhasil menenangkan diri, mengintip takut-takut ekspresi Vincent yang dari awal dia bicara hanya diam saja. "Saya tidak bisa melunasi utang pada Dokter ...," cicit Egi akhirnya.
"Rumah itu pantas diratakan dengan tanah agar tidak ada korban lagi yang diperas oleh pemilik rumah!" Vincent berkata sangat dingin. "Hanya babi yang layak hidup dan tinggal di tempat seperti itu, Virgi!"
Egi kaget. Kata-kata Vincent begitu menusuk hatinya. Dengan kata lain, Vincent mengatai dirinya babi? Dia hidup di sana sejak El berusia 2 tahun sampai sekarang.
"Biar mirip kandang, tetap saja saya yang harus mengganti kerugian atas ambruknya rumah itu kan?" Egi mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia bertekat akan membalas kata-kata Vincent barusan. "Dokter pelakunya, tapi nanti pasti saya yang dimarahi!"
"Rumah itu ketiup angin juga ambruk! Suruh cari aku saja nanti kalau pemiliknya marah-marah!"
Egi terdiam. Ini solusinya, kan? Vincent sendiri nanti yang akan membayar ganti rugi.
"Lalu gimana utang saya, Dokter?"
Vincent mengerutkan kening. "Utang yang mana? Utangmu ke aku kan banyak!"
Egi kaget, tapi sebisa mungkin menguasai diri. "Bisakah Dokter memberiku rincian? Dari—dari awal kita bertemu sampai kini adik saya bisa merespons lagi, Dokter beli saya berapa dan biaya yang dokter keluarkan untuk saya berapa?"
Kemarin keluarga Arfayuda menawarkan 5 miliar ganti rugi, Egi memikirkan hal itu meski ia masih kukuh di angka 10 miliar. Dipenjara juga buat apa? El sudah terlanjur celaka dan rusak tubuhnya. Yang Egi butuhkan adalah uang untuk melanjutkan hidup ke depan dengan El yang tidak akan bisa pulih sepenuhnya. Egi memikirkan biaya yang begitu besar untuk hidup mereka. Setidaknya uang itu bisa mencukupi hidup mereka beberapa tahun sambil dia bekerja nanti.
Egi hanya berharap, orang tua Arfayuda tidak menyerah begitu saja dan benar-benar memberinya 10 miliar.
"Semua hutangmu lunas, asal kamu mau menikah denganku!"
Rasanya petir paling keras menyambar telinga Egi. Ia kaget sampai tubuhnya terasa seperti tersengat listrik.
"Sa-saya apa, Dokter?"
"Kamu menikah denganku!" Vincent melihat muka Egi merah, lalu jadi putih, sebelum kembali menjadi merah. Pipi Egi yang kemerahan membuat jantung Vincent berdebar kencang.
"Itu nggak mungkin, Dokter!"
"Kalau begitu, hutangmu padaku tidak akan mampu kamu bayar meski keluarga Arfayuda membayarmu 100 milyar sekalipun!"
Apa? Vincent juga tahu soal itu? Ya ampun, mata pria itu berapa sebenarnya?
"Saya kan pernah Dokter pakai waktu itu—"
"Kamu bilang kamu ikhlas, jadi yang aku pakai waktu itu gratis! Kamu—kita melakukannya tanpa paksaan, atau bisa dikatakan kita melakukannya atas dasar suka sama suka setelah akad perjanjian kamu batalkan!"
Astaganaga!
Egi syok di tempat. Vincent membuat kata-katanya rumit, tapi Egi mengerti. Akses melawan Vincent sudah diblok dari segala arah.
"Jadi jika kamu ingin hutangmu lunas, jadilah istriku! Kita menikah dan aku jamin kamu hidup layak bersamaku!"
Syok! Vincent bahkan masih punya istri sah di rumahnya.
"Jika tidak maka kita harus buat surat perjanjian hutang, dimana kamu akan melunasi dengan batas waktu yang aku tetapkan, dan jika kamu tidak mampu membayarnya tepat waktu, maka kamu akan dipenjara!"
Egi melongo. Vincent bohong, kan? Ini gertakan sambel belaka, kan?
"Aku menunggu jawaban kamu selagi membuat surat perjanjian hutang kita! Satu jam kurasa lebih dari cukup!"
Egi tidak bisa lebih syok dari ini. Astaga, ini bagaimana?
Pikiran Egi kalang kabut sendiri.