Neil sudah meninggal, suami yang terobsesi padaku, meninggal dalam senyuman... menyatakan perasaannya.
"Jika aku dapat mengulangi waktu, aku tidak akan membiarkanmu mati..." janjiku dalam tangis.
Bagaikan sebuah doa yang terdengar, kala tubuh kami terbakar bersama. Tiba-tiba aku kembali ke masa itu, masa SMU, 11 tahun lalu, dimana aku dan Neil tidak saling mengenal.
Tapi...ada yang aneh. Suamiku yang lembut entah berada dimana. Yang ada hanya remaja liar dan mengerikan.
"Kamu lumayan cantik...tapi sayangnya terlalu membosankan." Sebuah penolakan dari suamiku yang seharusnya lembut dan paling mencintaiku. Membuatku tertantang untuk menaklukkannya.
"Setan! Aku tau di bagian bawah perutmu, tepat sebelum benda pusakamu, ada tahilalat yang besar!" Teriakku padanya. Membuat dia merinding hingga, menghentikan langkahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Forever
Suasana hening sesaat tidak ada jawaban dari Reza yang kemudian tertidur setelah menikmati minumannya.
Hazel terdiam sesaat, memegang dadanya. Jantungnya berdegup cepat, perlahan bibirnya tersenyum. Apa benar Cheisia pendonor hati untuknya?
Air matanya mengalir, entah kenapa ada yang aneh baginya. Rasa bahagia yang begitu...
"Apa benar?" Gumamnya seorang diri berharap ini adalah kenyataan. Dirinya tidak perlu melindungi atau selalu berpihak pada Bianca.
"A...aku akan mencari tau." Hazel melangkah pergi, meninggalkan temannya yang tengah mabuk. Benar-benar laknat bukan? Tapi jika sudah cinta maka segala hal akan dilupakan, bahkan tahi kucing menjadi rasa coklat. Upil rasa kaviar.
Mengambil kunci mobil, menyetir menuju rumah sakit tempat dirinya melakukan operasi. Rumah sakit yang tidak bersedia membocorkan identitas pendonor.
Menghela napas berkali-kali, segalanya hanya berdasarkan asumsinya dan pernyataan Bianca. Tidak ada sama sekali bukti nyata, bahwa Bianca yang mendonorkan hatinya.
Hingga kala mencapai tempat parkir, dirinya segera turun. Berjalan berlalu menuju resepsionis.
Entah kenapa segalanya kembali terbayang dalam benaknya. Pernyataan cinta yang ditahan olehnya akibat vonis penyakit kanker hati. Tidak ingin Cheisia bersedih karena ajal dapat menjemputnya kapan saja.
Setelah operasi, dirinya berhutang budi pada Bianca, hingga kembali menahan perasaannya. Bagaimana Bianca selalu mengatakan Cheisia memperlakukannya dengan buruk. Bagaimana dirinya mau tidak mau membela Bianca apapun yang terjadi.
Hingga kala langkah terhenti di depan ruangan dokter yang dulu menanganinya. Tanpa memedulikan apapun dirinya masuk. Tidak peduli ada pasien yang berkonsultasi atau apapun.
"Dok." Panggilnya.
Sang dokter menghela napas kasar."Tolong masuk mengikuti antrian."
"Maaf! Tapi aku tidak akan pergi sebelum dokter menjawab pertanyaanku. A...apa benar yang mendonorkan hatinya padaku bernama Bianca?" Tanyanya, mengepalkan tangannya yang gemetaran, menunggu jawaban.
Sang dokter membuka kacamatanya. Menghela napas kasar."Sebaiknya kamu keluar dan menunggu antrian untuk konsultasi. Jika tidak, aku akan memanggil security."
"Dok! I...ini penting, aku melukai perasaan orang seharusnya aku lindungi. Katakan sejujurnya, apa namanya Bianca?" Tanya Hazel lagi, tidak mempedulikan keberadaan pasien di ruangan ini.
"Pendonor tidak ingin mengungkapkan identitasnya. Tapi aku pastikan bukan seseorang bernama Bianca yang mendonorkan hatinya padamu. Jika orang itu menipu dan ingin mengambil keuntungan darimu, lebih baik berhati-hati." Ucap sang dokter terdengar bijak, dirinya tidak bisa membocorkan data pasien begitu saja.
"Cheisia Muller bu...bukan?" Tanyanya pelan, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Sang dokter mengernyitkan keningnya, memilih untuk bungkam.
"Cheisia Muller bukan!?" Bentak Hazel, dengan air mata tidak henti-hentinya mengalir.
Tidak ada jawaban dari sang dokter yang hanya dapat bungkam. Tapi bukankah bungkamnya merupakan jawaban.
"Aku bertanya Cheisia Muller bukan?" Kali ini Hazel memegang kedua lengan sang dokter. Tapi tetap tidak ada sanggahan.
Perlahan tubuhnya bagaikan kehilangan tenaga. Berlutut di hadapan sang dokter."Apa yang sudah aku lakukan terhadap penyelamat hidupku?" tanyanya.
Sekujur tubuhnya bagaikan gemetaran, kepercayaan buta pada Bianca, yang dianggapnya sebagai penyelamat. Bukankah yang seharusnya dilindunginya adalah Cheisia, wanita yang dicintainya?
Sang dokter masih diam, hanya menepuk bahunya."Sudah aku katakan, pendonor begitu ikhlas padamu, hingga tidak ingin identitasnya disebutkan. Karena itu aku hanya diam setiap kamu bertanya."
"Cheisia..." Gumamnya menangis dalam senyuman. Bagaikan menemukan cahaya matahari di tengah hujan. Bagaimana rasa hangat cinta, dan sesal akibat begitu dingin dirinya memperlakukan cinta pertamanya.
"Ingat! Aku tidak mengatakan namanya, karena mengatakan namanya berarti melanggar janjiku. Tapi jika kamu sudah berbuat kesalahan, minta maaf dan perbaiki perlahan. Kamu masih muda, masih memiliki kesempatan mengejarnya. Dia wanita yang baik, bahkan sempat menjagamu saat kamu mengalami koma pasca operasi." Kalimat lembut membuat dirinya terdiam.
Hazel hanya mengangguk."Banyak cinta yang harus aku berikan untuk meluluhkannya..."
Hanya kalimat itu yang terucap. Hujan di tengah cahaya matahari, itulah perasaannya saat ini.
Mengirimkan pesan pada Cheisia. Sebulan pesan yang hanya berisikan satu kata.'Maaf...'
Pemuda yang akan memperbaiki semuanya. Mengatakan pada ibunya siapa sejatinya penyelamat nyawanya. Segalanya akan kembali seperti semula. Pertunangannya, juga kali ini dirinya yang akan melindungi gadis itu... Cheisia-nya.
*
Sementara itu di tempat lain. Suara pesan masuk dari Hazel, pesan yang sama sekali tidak dibaca oleh Cheisia.
Dirinya terlalu sibuk menghabiskan waktu bersama Yulia dan Sela. Siapa bilang menjadi anak yang baik harus bersikap dewasa?
Berpura-pura tegar, itulah yang dilakukan Cheisia sebelum waktu terulang. Tapi tidak kali ini, dirinya akan bersikap seperti remaja pada umumnya.
"Jadi kuning dan putih telurnya harus dipisah?" Tanya Cheisia, dengan hampir seluruh tubuh berlumuran tepung.
"Benar! Masukkan gula, lalu garam, kemudian..." Kalimat Yulia disela.
"Kapan ibu mertua akan PDKT dengan paman Enric?" Tanya Cheisia membuat Yulia mengernyitkan keningnya.
"Kami hanya teman." Yulia menghela napas kasar.
"Teman!? Omong kosong! Dari jaman dia ngompol di celana, karena melihat setan saat kemah. Sampai jaman dia bertekad menjadi dokter cinta, hanya kamu yang ada di hatinya." Sela membongkar segalanya. Menahan tawanya, mengingat bagaimana kisah cinta dua makhluk lawas.
"Aku sudah menikah dan punya anak. Sekarang yang terpenting adalah pernikahan Neil." Kalimat dari Yulia berdamai dengan keadaan.
Brak!
"Kenapa tidak ceraikan saja pria br*ngsek itu!? Memang pernah dia menemui ibu mertua!?" Tanya Cheisia menggebrak meja murka.
Yulia menggeleng."Istri keduanya sering mengeluh sakit kepala. Jadi dia lebih memilih menjaganya, daripada datang berkunjung kemari. Aku tidak apa-apa..."
"Jelas tidak apa-apa! Ada Paman Enric yang menjaga. Kalau tidak mau makan, paman Enric akan memasak sendiri menggantikan koki. Setiap sore datang dengan alasan cek kesehatan. Itu namanya Om tua banyak modusnya!" Cheisia terkekeh, masih konsentrasi mengikuti resep membuat kue.
"Kami tidak seperti itu." Yulia menghela napas kasar.
"Tidak seperti itu? Apa seperti ini?" Tanya Cheisia menbuat tanda hati menggunakan adonan.
"Sudah!" Yulia melempar tepung pada Cheisia dan Sela. Kemudian berusaha memacu kursi rodanya kabur.
Tentu saja ibu dan anak itu segera menangkap Yulia. Membalas dendam dengan melumuri Yulia menggunakan tepung.
Suara tawa terdengar, pertanda Yulia bagaikan meninggalkan masa suramnya.
Tapi kala suara mobil itu terdengar maka sebuah memori bagaikan kembali. Tiga orang yang berhenti dengan aktivitas mereka. Pasca Neil tengah pergi mengurus usaha sang ibu.
"Suara mobil, apa Neil?" Tanya Cheisia antusias.
"Bukan suamiku Albert Andreas." Jawab Yulia dengan raut wajah berubah suram, mengenali suara mobil, pria yang sudah lama dicintainya.
Tapi terkadang cinta bisa kadaluarsa, kala terlambat menyadarinya. Apa Yulia masih mencintainya? Entahlah.
Berselisih beberapa detik, entah sebuah kebetulan atau tidak. Suara mobil lain terdengar.
Semenit, dua menit, tiga menit mereka menunggu tidak ada yang masuk.
Hingga mereka memutuskan untuk melihat ke arah teras.
"Dasar dokter sialan! Bagaimana bisa ada makhluk sepertimu! Sudah gemuk, sipit! Seperti ubur-ubur benyek!"
"Apa kamu berhak bicara seperti itu? Kuda binal, betapa cantik Yulia, seakan tidak cukup untukmu. Kamu cuma kuda jantan yang tidak bisa mengendalikan pisang kecilmu!"
Dua orang dewasa yang berkelahi hingga berguling di tanah, saling menarik kerah. Seperti...kaum pelangi yang bercinta?
Tiga orang wanita yang tidak dapat berkata-kata melihat segalanya.
"Aku tarik perkataanku. Kamu seharusnya menjanda selamanya..." Sela menghela napas berkali-kali.
Lagian pikiran orang sukses kebanyakan ga sempet ngurusin hidup orang lain mending dia ngembangin bisnis, ngumpul cari koneksi ngomongin hal penghasil cuan drpd cuma ngurusin hidup sm masalah orang, target pasar mu salah mbak bi 😅
kakanda katanya🤣🤣🤣🤣
kopi sudah otewe ya 👍💕😍