DIBUANG ANAKNYA, DIKEJAR-KEJAR AYAHNYA?
Bella tak menyangka akan dikhianati kekasihnya yaitu Gabriel Costa tapi justru Louis Costa, ayah dari Gabriel yang seorang mafia malah menyukai Bella.
Apakah Bella bisa keluar dari gairah Louis yang jauh lebih tua darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Keesokan paginya.
Matahari masih malu-malu menembus jendela kamar. Bella mengerjapkan mata dan menyadari tubuhnya terbalut selimut putih. Di sampingnya, Louis tertidur lelap dengan wajah tenang. Bella menatapnya lama.
"Apa yang sudah aku lakukan semalam?" gumam Bella.
Ia bangkit perlahan, berusaha agar tempat tidur tidak bergerak dan membangunkan Louis. Perlahan, Bella turun dari tempat tidur. Tubuhnya terasa lemas, tapi perasaan berdebar tak juga hilang. Ia berjalan menuju cermin besar di sudut kamar dengan keadaan kakinya yang pincang akibat gempuran tadi malam oleh rudal besar.
"Kenapa rasanya berbeda sekali?"
Di cermin, ia melihat dirinya dengan jelas. Rambut berantakan, mata sembab, dan kulitnya ada banyak tanda merah di sana. Bella mengusap wajahnya kasar mencoba mengendalikan perasaan yang bercampur aduk.
"Apa ini semua nyata? Atau hanya mimpi buruk?"
Tangannya menyentuh tanda-tanda merah itu, mengingat setiap adegan semalam yang perlahan kembali dalam ingatannya. Wajahnya memerah, rasa malu dan takut menyergapnya.
Louis tiba-tiba bergerak di atas tempat tidur lalu menggeliat seperti bayi yang baru bangun. Bella panik dan segera mengalihkan pandangannya, berusaha menghindari tatapan Louis yang mungkin akan segera terbuka.
"Pagi, Sayang. Kamu sudah bangun?" tanya Louis.
Bella terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan tanpa menoleh.
"Iya, aku hanya ingin melihat ini."
Louis duduk dan memperhatikan punggung Bella yang menghadap cermin. Ia tersenyum kecil.
"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Louis.
"Iya, aku baik-baik saja."
Mereka saling menatap sejenak, namun suasana canggung masih terasa menggantung di antara mereka. Bella mencoba mengalihkan pandangannya ke jendela, merasa perlu menyegarkan pikirannya.
"Maaf, kalau aku terlalu bersemangat tadi malam," ucap Louis.
Bella menatap cermin sambil menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Ia berbalik, menatap Louis yang kini duduk di tepi tempat tidur dengan mata yang masih setengah tertutup.
"Louis, apa aku akan hamil?" tanya Bella.
"Mungkin saja, Bella. Kita lihat nanti saja."
"Tapi aku belum lulus kuliah. Bagaimana kalau benar hamil?"
Louis bangkit dari tempat tidur, lalu mendekati Bella. Ia menyentuh bahu Bella dengan lembut lalu mencoba menenangkan istrinya yang tampak semakin panik. Louis mendekat lebih dekat ke Bella, menangkup lembut kedua pipinya. Ia menatap mata Bella dalam-dalam.
"Dengar! Justru bagus kalau kamu hamil. Itu berarti pernikahan kita semakin kuat dan ada ikatan yang lebih nyata," kata Louis.
"Aku belum siap punya anak. Aku bahkan belum tahu apa yang harus dilakukan," jawab Bella.
"Kita bisa belajar bersama-sama."
Bella menarik napas dalam-dalam, masih merasa berat di hatinya. Ia tiba-tiba mundur satu langkah dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa frustrasi dengan dirinya sendiri.
"Bodohnya aku! Kenapa aku tidak membicarakan ini sebelumnya denganmu?" ucap Bella.
"Kenapa aku tidak memikirkan jauh-jauh soal ini?" sambung Bella yang semakin gelisah.
Tiba-tiba ponsel Louis yang tergeletak di atas meja kecil berdering nyaring. Louis melirik layar ponsel itu dan mendapati nama yang sudah sangat dikenalnya yaitu asistennya. Ia menarik napas lalu menjawab panggilan tersebut dengan cepat.
"Halo, Alister. Ada apa?"
Sambil berbicara, Louis melangkah menjauh dari Bella, menuju balkon kamar untuk menjaga privasi percakapan bisnisnya. Bella memandang ke arahnya sejenak, lalu menghela napas panjang.
Begitu Louis sudah berada di luar jangkauan pendengaran, Bella segera berbalik dan menuju kamar mandi. Ia mengunci pintu di belakangnya dan menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu. Wajahnya terasa panas, dan rasa malu kembali menyergapnya saat ia mengingat peristiwa semalam.
"Astaga! Kenapa aku harus berteriak seperti itu?"
Wajahnya merah padam saat ingatan tentang dirinya yang terus meneriakkan nama Louis malam kemarin. Bella merasa malu dan geli pada dirinya sendiri. Ia berjalan pelan ke arah wastafel dan menatap wajahnya di cermin.
"Apa Louis juga ingat soal itu?"
Ia meraup air dari keran dan membasuh wajahnya, berharap rasa panas di pipinya bisa sedikit mereda.
"Huuff... semoga saja nanti dia tidak membahasnya."
Setelah itu Bella keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih sedikit basah dan wajah yang terlihat sedikit lebih segar. Namun, pandangannya langsung tertuju pada Louis yang sudah mengenakan jaket tebal berwarna gelap. Louis tampak bersiap-siap, mengancingkan jaketnya dengan ekspresi serius. Udara dingin memang mulai terasa menusuk dari jendela yang sedikit terbuka.
"Kamu mau ke mana? Udara di luar dingin sekali," kata Bella.
"Ada urusan penting yang harus aku selesaikan. Aku harus keluar sebentar," jawab Louis.
"Berapa lama? Aku bisa ikut, kan?"
"Lebih baik kamu di sini saja, Bella. Jangan kemana-mana, oke? Tetap di hotel, ini untuk keselamatan kamu."
"Kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi, Louis?"
"Tidak ada apa-apa, Sayang. Ini cuma urusan bisnis biasa. Aku janji tidak akan lama. Kamu cukup tunggu di sini, oke?" ucap Louis meyakinkan Bella.
Bella mengangguk meski masih merasa ragu. Louis kemudian merapikan jaketnya sekali lagi, memastikan bahwa dirinya sudah siap untuk menghadapi udara dingin di luar. Ia mencium kening Bella sebentar sebelum akhirnya berbalik menuju pintu.
"Aku pergi dulu. Jangan khawatir, aku akan segera kembali."
Di tempat lain.
Alice duduk di tepi ranjang sambil menatap layar ponselnya dengan ekspresi kesal. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini tampak berantakan, tanda frustrasi yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan rasa marah yang terus bergejolak di dalam dadanya.
"Seandainya saja aku tahu lebih awal bahwa ayah Gabriel adalah Louis."
Ia mendengus, melemparkan ponselnya ke sisi ranjang dengan kasar. Tangannya meremas seprai putih yang ada di sampingnya. Alice merasa tertipu oleh pilihannya sendiri, seperti kesempatan besar yang lepas begitu saja dari genggamannya.
"Kenapa aku buang-buang waktu dengan Gabriel? Aku seharusnya mendekati Louis dari awal."
Pikirannya terus berputar, mengingat bagaimana ia selama ini berusaha untuk memenangkan hati Gabriel, tapi ternyata ada sosok yang jauh lebih berkuasa di balik semua itu yaitu Louis, ayah Gabriel. Alice merasa dirinya telah salah mengambil langkah, dan sekarang situasinya sudah terlanjur rumit.
"Louis punya segalanya, kekayaan, kekuasaan bahkan dia sangat tampan. Kenapa baru sekarang aku tahu?"
Ia bangkit dari tempat duduknya dan mulai berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Perasaan iri dan cemburu terus menggerogoti dirinya. Alice tahu bahwa mendekati Louis bukan hanya akan memberinya kehidupan yang lebih baik, tetapi juga status dan pengaruh yang selama ini ia impikan. Namun, kini Bella sudah bersama Louis.
"Aku tidak akan tinggal diam. Pasti ada cara untuk merebut Louis. Huh.... Kenapa juga harus Bella? Padahal aku jauh lebih oke. Aku harus minta bantuan Ayahku, dia pasti mengenal Louis Costa."