Alaish Karenina, wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu belum juga menikah dan tidak pernah terlihat dekat dengan seorang laki-laki. Kabar beredar jika wanita yang akrab dipanggil Ala itu tidak menyukai laki-laki tapi perempuan.
Ala menepis semua kabar miring itu, membiarkannya berlalu begitu saja tanpa perlu klarifikasi. Bukan tanpa alasan Ala tidak membuka hatinya kepada siapapun.
Ada sesuatu yang membuat Ala sulit menjalin hubungan asmara kembali. Hatinya sudah mati, sampai lupa rasanya jatuh cinta.
Cinta pertama yang membuat Ala hancur berantakan. Namun, tetap berharap hadirnya kembali. Sosok Briliand Lie lah yang telah mengunci hati Ala hingga sulit terbuka oleh orang baru.
Akankah Alaish bisa bertemu kembali dengan Briliand Lie?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfian Syafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Patah Hati
"Datang ke sini, gue lihat cowok lo jalan sama cewek lain. Cepet, jangan lama-lama!"
Ala membaca pesan yang dikirimkan oleh teman dekatnya. Kebetulan dia kekasih dari teman pacar Ala. Gadis itu segera bergegas ke rumah sang kekasih untuk memastikan jika kabar itu tidak benar.
Dengan degup jantung yang berdebar seperti genderang mau perang, Ala terus mengayuh sepeda mininya. Sepeda yang menjadi saksi bisu betapa besar perjuangan cinta Ala kepada laki-laki bernama Brian itu.
Ala bahkan tidak peduli jika nantinya dia kena marah oleh kedua orang tuanya karena pergi tanpa pamit. Cuaca siang yang sangat terik pun tidak membuat Ala urung untuk pergi menemui kekasih hatinya. Cinta pertama Ala yang memiliki kisah berliku.
"Kamu dimana?"
Ala mengirim pesan kepada Brian tapi tak kunjung dibalas. Dia menitipkan sepedanya di tetangga Brian karena jalan menuju rumah Brian itu jalannya nanjak jadi daripada Ala capek dia selalu menitipkan sepeda itu di sana.
Berkali-kali Ala menelpon Brian tapi nggak ada jawaban. Dia terus berjalan menuju rumah Brian.
"Lagi pergi nggak tahu kemana. Coba di telpon aja, La," kata mamanya.
Ala pun melangkah dengan gontai, menuju rumah teman dekat Brian. Di sana ada seorang perempuan yang sedang duduk di teras sambil memangku bayinya.
"Eh Ala, kok sendiri? Mana Brian?"
Ala menggeleng lemah, lalu duduk di sebelah perempuan yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Menatap bayi mungil yang sedang terlelap dari tidurnya.
"Mbak pasti tahu dimana Brian? Katakan dimana sekarang dia dan sama siapa?" Ala bertanya dengan tatapan penuh intimidasi.
Perempuan itu tersenyum lembut, "Kontrol emosi kamu, La. Sabar ya, Brian sedang gila. Mbak yakin kok kalau dia tetep sayang sama kamu." Ucapan itu bukan malah menenangkan Ala tapi menghadirkan rasa nyeri di ulu hatinya.
Betapa sakitnya hati Ala dengan kenyataan ini, jika Brian telah mendua. Briannya telah mengkhianati kepercayaan yang dia berikan. Tidak ada air mata yang menetes pada kedua netra Ala. Dia pun membuka gawai yang sedari tadi ada pada genggaman tangannya.
Pesan dari Mia, temen dekat Ala itu membuat emosi Ala semakin bertambah. Rupanya sudah banyak yang tahu tentang hubungan Brian dan gadis lain, hanya Ala yang tidak tahu apa-apa dan seperti gadis bodoh di sini.
"Gue liat Brian ciuman di tepi sungai. Ceweknya cantik. Tinggi, putih bersih kayak model."
Jadi orang tulus itu rupanya sakit. Selama ini perjuangan Ala untuk Brian rupanya nggak berarti apa-apa. Dia sudah menorehkan luka terlalu dalam di hati Ala. Hanya saja gadis itu sudah kuat dan air mata telah habis sehingga sesakit apapun hal yang dia alami tidak membuatnya menangis. Apalagi didepan orang lain. Meski tenggorokan terasa sakit, ucapan tercekat, napas ngos-ngosan karena bayangan Brian sedang berciuman dengan gadis lain itu terus menari di pikirannya.
Ala hanya bisa mengepalkan kedua tangan karena meluapkan emosi pun percuma. Dia akan meledakkan emosinya nanti kepada Brian. Sudah cukup hari ini dia menemukan fakta yang selama ini menjadikan tidurnya tidak nyenyak. Firasat Ala tidak pernah meleset jika terjadi sesuatu kepada Brian.
Laki-laki itu nampak berbeda tapi Ala diam karena yakin jika fakta akan terkuak dengan sendirinya.
"Aku pergi dulu ya, Mbak!"
"Lho baru juga sampai. Mau kemana?"
Ala tidak menjawab, langkahnya tergesa menuju sungai yang pernah dia lalui bersama Brian. Laki-laki itu sering mengajaknya menikmati udara di dekat sungai. Kalau capek Brian akan menggendongnya. Kenangan itu berputar menemani setiap langkah Ala untuk memergoki Brian dan cewek yang Mia katakan.
"Caringin .... Caringin ...."
Suara dari kernet bus itu membuat Ala tersadar dari tidurnya yang lelap. Kedua netranya basah, rupanya dia bermimpi tentang masa lalunya yang menyakitkan.
Ala bersiap untuk turun ketika bus itu berhenti tepat di halte yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Ala tinggal nyebrang lalu menyusuri jalan aspal yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Belok kanan menyusuri jalan setapak yang sepi karena habis hujan dan pasti orang-orang pada di dalam.
Kebanyakan sih sedang pergi menikmati hari minggu setelah lelah bekerja selama enam hari kemarin. Ala memutar kunci pintu kostnya. Lalu segera mengisi daya gawai yang sudah mati satu jam yang lalu.
Dia merebahkan tubuhnya di kasur lantai yang empuk, energinya habis karena berada di kafe yang ramai. Beruntung tadi busnya tidak penuh jadi Ala bisa duduk dengan anteng dan tertidur di sana. Meskipun mendapatkan mimpi buruk.
Ala mendesah pelan, "Mimpi itu lagi, gue udah capek-capek lupain tapi hadir lagi. Heran deh kenapa sih bayang-bayang masa lalu itu terus hadir setelah hati gue udah baik-baik aja!" ujarnya.
Gadis itu pun segera mengaktifkan benda pipih itu, kemudian membuka aplikasi Facebook dan mengetikkan nama pada kolom pencarian.
Ala melihat postingan seseorang yang diunggah kemarin. Foto seorang laki-laki sedang bersandar pada sebuah tiang dan sepertinya suasana itu bukan ada di Indonesia.
Beberapa komentar membanjiri postingan tersebut. Kebanyakan cewek-cewek yang kagum dengan ketampanannya.
"Ah, memang nggak berubah sampai kapan pun dia tetap buaya yang selalu memangsa cewek sempurna!"
Ala keluar dari aplikasi tersebut lalu meletakkan gawainya asal. Merebahkan kembali tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Rasa-rasanya Ala sudah tidak percaya jika laki-laki yang tulus itu ada. Nyatanya jadi orang tulus memang semenyakitkan itu. Memberikan luka teramat dalam sampai susah buat mengobatinya kembali. Butuh waktu yang tidak sebentar.
"Dia makin tampan aja, sayangnya ganjen. Mungkin udah lupa sama gue!"
Sebenarnya selama ini Ala diam-diam berteman dengan akun Facebook Brian. Hanya saja Ala menggunakan akun fake. Jadi Brian tidak akan pernah tahu jika Ala berada dilist pertemanannya. Nggak ada maksud apa-apa, Ala cuma mau tahu kabar laki-laki itu. Hanya saja sudah hampir lima bulan Ala tidak kepoin akun itu lagi dan fokus sama hidupnya. Entah kenapa akhir-akhir ini Ala jadi sering kepoin akun Brian.
Bertahun-tahun Ala melupakan laki-laki itu, cinta pertamanya tapi rupanya tetap nggak bisa. Rasa sakit yang seringkali dia ingat membuat Ala semakin membenci Brian. Ala pergi meninggalkan laki-laki itu karena terlalu mencintainya, Ala lelah seolah bucin sendirian sementara Brian malah mencari yang lain. Kata setia hanya isapan jempol, cinta dan sayang yang selalu Brian ucapkan hanya bualan semata.
Brian hanya memanfaatkan Ala dan bodohnya Ala selalu bertahan dalam hubungan yang sudah menggoreskan luka itu, karena cinta membuat orang menjadi bodoh.
"Gue harap lo bakal terima karmanya. Lo bakal rasain semua yang udah lo lakuin ke gue, Bri!" kata Ala, seolah Brian ada di hadapannya saat ini.
Ala mengepalkan kedua tangannya, rasa sakit itu masih terasa bahkan wajah cewek yang menjadi selingkuhan Brian masih teringat jelas. Ala pernah bertemu secara langsung, gadis itu tersenyum saat melihat Ala. Seolah tidak terjadi apapun diantara mereka. Memilih diam dan bersikap baik pada selingkuhan Brian. Sadar diri kalau Ala ini nggak ada apa-apanya dibandingkan cewek itu. Dia sempurna dan pantas saja Brian menyukainya.
"Intan!" gumam Ala sambil tersenyum sinis.
"Gue pastiin lo berdua bakal ngerasain apa yang gue rasain dulu!"
Hati Ala semakin memanas ini semua karena masalah di kafe tadi. Ala paling malas di ajak ketemuan sama cowok apalagi dijodohkan seperti itu. Ala udah tahu maksud Laras. Dia memang bermaksud baik tapi Ala sedang nggak mau berurusan dengan hati. Buat sembuh dan terlihat baik-baik aja seperti sekarang ini nggak mudah. Butuh proses yang panjang.
"La, lo di dalam?"
Ketukan pintu membuat Ala harus bangkit dari tidurnya. Ala sebenernya malas buat ketemu siapapun. Energinya sudah habis dan dia ingin memulihkannya kembali sebelum besok mulai bekerja. Hari minggu segera berakhir berganti hari Senin yang pastinya hari yang lelah dan banyak pekerjaan menanti.
"Apaan," tanya Ala sinis , setelah membuka pintu kamarnya.
"Maaf ya soal tadi," kata Laras sambil meringis.
Ala memutar kedua bola mata malas. "Lo pasti mau jodoh-jodohin gue lagi kan?" Ala memicingkan kedua netranya.
Laras cuma bisa nyengir aja, sudah menduganya kalau Ala pasti tahu maksud Laras tadi karena itu bukan kali pertamanya Laras mengajak Ala bertemu dengan laki-laki. Ujungnya ya selalu gagal tapi tetap saja Laras berusaha buat tidak gagal.
"Makasih! Gue bisa cari sendiri tanpa perlu lo kenalin ke temen-temen lo! Gue belum nikah bukan berarti nggak laku ya, tapi gue masih pengen sendiri dulu. Kumpulin duit yang banyak biar sukses, karena menikah itu nggak semudah dan seindah yang dibayangkan." Ucapan Ala menohok hati Laras.
"Seumur hidup itu lama jadi harus bener-bener cari pilihan yang pas!"
Memang benar ucapan Ala, kalau waktu bisa di ulang kembali, tentu saja Laras masih ingin menikmati masa mudanya. Nggak mau nikah muda dan menghabiskan masa mudanya untuk mengurus anak. Ah, penyesalan memang selalu datang di akhir. Semua udah terjadi jadi untuk apa disesali kan?
Ala saja yang belum bisa buka hati buat orang baru karena di lubuk hatinya yang paling dalam masih tersemat nama Briliand Lie.
Bersambung......
cintanya mas bri udah stuk di kamu
semangat kakak,