NovelToon NovelToon
Battle Scars

Battle Scars

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Apa jadinya kalo cinta pertama lo sekarang jadi bodyguard lo???

Apa sih yang dipikirin sama Appa dan Eomma?

Orang yang udah dianggap keluarga, Kakak, bahkan dia udah jadi cinta pertama gue saking deketnya...

Tiba-tiba sekarang dia dateng setelah belasan taun ngilang dan Appa bilang kalo dia jadi bodyguard gue?

Pantesan aja dia ngilang, ternyata dia disekolahin sama Appa dan Eomma buat dilatih dan dididik jadi bodyguard gue.


terus ditambah sekarang...

Mana sifatnya yang penyayang?

Mana kebaikan yang dulu dia kasih buat gue?

Mana sosok Kakak sekaligus cowok yang perfect buat gue jadiin pacar sekaligus calon suami???

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mimpi Buruk

"Alief, ba'... ta'... "

"Tsa', jiem,' "

"Tsa', jiem ... ha',

kho'... dal... "

"Dzal, ro', "

"Dzal, ro'... zain, sien... "

Balqis sejak tadi berusaha membaca Iqro sebisa mungkin, meskipun terbata-bata tapi Maryam dengan sabar menuntunnya.

Dia tahu, butuh kesabaran yang ektra untuk mengajari Balqis. Bukan hanya karena ketidak bisaannya, melainkan karena sikap dan bicaranya.

"Selesai!"

Balqis menutup Iqro begitu saja. Kemudian kembali ke tempat duduk untuk menjahili Indah. Padahal bagian mengajinya belum selesai, dia belum dites do'a-do'a.

"Qis, maju lagi ke depan! Tesan doa-doa nya belum," titah Maryam.

"Ustadzah, saya cuma hapal doa makan aja. Yang lain belum bisa," sahut Balqis.

"Tidak apa-apa cuman satu pun. Biar Ustadzah dengar," balas Maryam.

Balqis pun kembali ke depan. Dengan malas dia memberikan buku berisi doa makan, kemudian membacanya dengan lancar.

"Kamu belajar hapal doa yang lain, ya?"

"Iya, kalo mau. "

Maryam tersenyum. Kemudian memperhatikan Balqis yang kembali ke tempat duduknya. "Jangan mengganggu Indah. Biarkan dia fokus menghapal."

Balqis seketika langsung memanyunkan bibirnya, karena tidak bisa mengganggu Indah akan membuatnya gatal.

Dia yang harus menunggu waktunya pulang menyandarkan dirinya ke tembok.

Matanya menatap hamparan sawah yang menguning. Pikirannya memutar mengingat lagi moment dimana dia melihat Daddynya yang terluka menyuruhnya pergi melarikan diri. Sesaat dia menyentuh bekas luka tusukan di perutnya yang sudah mengering juga luka baru yang dia dapatkan kemarin di telapak tangannya karena menolong Indah dari para preman.

Hah... Gue adalah gadis yang penuh dosa... Apa gue bakal bisa jadi cewek sholehah?

Hah... Hahahaha...

Miris banget hidup jadi gue, sekalinya gue suka sama seseorang, kenapa sukanya sama cowok yang sholeh dan taat sama agama? Sedangkan gue???

Dia juga pasti maunya sama cewek yang kayak Annisa.... Baik, lembut, penurut, sholehah... Lah Gue? Gue kan nak dari Ketua Organisasi dan mungkin bakalan masuk juga kesana...

Tangisan tergugu yang sangat sesak tertahan di tenggorokan, dia tidak bisa mengeluarkannya karena terlalu sakit.

"Balqis!"

"Balqis!"

"Balqis..."

"Hah? Apa?"

Lamunan Balqis buyar. Dia mengerjap kaget karena Indah menggoyangkan bahunya.

"Jangan melamun nanti kesambet!"

"Cih.."

Balqis berdecak kesal. Kemudian beranjak dan ikut menyalami tangan Maryam untuk pertama kalinya.

"Balqis, apa kamu baik-baik saja?" tanya Maryam. Dia sejak tadi memperhatikannya yang melamun.

Dia tahu ada sesuatu yang tengah dipikirkan Balqis, karena dilihat dia begitu sesak.

"Santai saja, Ustadzah! Saya baik-baik aja kok." jawab Balqis.

Setelah Balqis menyalami punggung tangan Maryam, dia berlalu pergi tanpa menoleh kembali.

"Dia seperti memiliki pikiran yang berat. Dilihat dari bola matanya yang berbeda." gumam Maryam sambil memperhatikan semua santri pergi.

"Apa terjadi sesuatu, Umi?" tanya Yusuf yang baru datang.

"Tidak ada, Aby." jawab Maryam tersenyum manis.

"Kita masuk ke dalam?" Yusuf berjalan lebih dulu. Kemudian disusul Maryam yang memiliki tanda tanya besar terhadap Balqis.

*****

Cinta. Aku tidak mengetahui apa itu? Tapi sebisa mungkin aku berusaha tidak mengenalnya

Liik, ana milki liik

Ta'ala arrob dummini, makhtaga liik

Hanya padamu, diri ini hanya untukmu

Datanglah mendekat, air mataku mengalir, mengharapkanmu

Liik, u rukhi fiik

Ya hobba 'umrana' umri kullu hakhyishu liik

Hanya padamu dan jiwaku padamu Wahai kasihku usiaku, seluruh hidupku untukmu

Hawak huwal hayah

Wintall ana ba' ashyak hawa

Cintamu adalah hidupku

Dirimu membuat kita merasakan

sebenar-benarnya cinta

Kaan albi muna agmal malak

Yikuun ma'ah

Hatimu di sini, keindahanmu milikku

Jadi bersatu

Yah albi nadak witmannak tib anta wayaya

Yah ba'd esniin shuk wa haniin alaiik hina ma' aya

Hatiku memanggil, harapkan engkau senantiasa setia Selepas bertahun-tahun lihatlah sayang kita berjumpa di sini dan bersama

**

Balqis yang mendengarkan beberapa santri menyayangikan lagu bahasa arab memiringkan kepalanya. Dia memperhatikan mereka di ambang pintu madrasah sambil menunggu Melodi.

Dia tidak tahu arti lagu itu, tapi dia merasa ikut terhanyut dalam sya'irnya. Apalagi suara mereka begitu merdu.

Setelah lagu pertama selesai dinyayikan, mereka mengambil beberapa alat musik yang berbunyi bila dipukul tangan.

Mata Balqis berbinar, dia terkejut saat mereka menyayikan sebuah lagu diiringi dengan musik itu.

"Qis, ayo pergi? Katanya mau belajar masak nasi,"

Balqis menahan Melodi yang menarik tangannya. "Itu mereka lagi ngapain, Mel?"

"Shalawatan. Mereka itu tim hadroh perempuan. Mereka juga sering tampil di berbagai acara, seperti pernikahan, khitanan atau yang lainnya,"

"Ouh! Jadi mereka terkenal dong?"

"Iya. Mereka juga juara satu tingkat kabupaten,"

Balqis mengangguk-ngangguk. "Trus kenapa nggak ikutan?"

"Nggak ada ahli aku dibidang seperti itu? Pernah mencoba ikutan tapi ternyata tidak bisa,"

"Terus lo bisanya apa?"

"Aku enggak bisa apa-apa, Qis. Cuman bisa dengerin saja,"

Balqis kembali mengangguk. Dia percaya saja bila Melodi tidak bisa apa-apa seperti perkataannya, padahal tanpa sepengetahuannya Melodi adalah seorang qoriah. Dia juga pernah menjadi juara satu tingkat nasional dalam berdakwah.

"Ayo, Qis? Kita belajar masak nasi,"

"Ok!"

Balqis pun mengikuti Melodi di belakang. Setelah mereka berdua mengambil beras, Balqis pun belajar mencucinya. Dia juga baru tahu bila air beras berwarna putih seperti susu.

"Eh, kok aernya dipake buat cuci muka sih, Mel? bukanya itu kotor ya?"

Balqis tertegun melihat Melodi menggunakan air beras untuk mencuci wajahnya. "Iiihh.. Itu kan kotor, Mel..."

"Jangan yang kotornya juga, Qis. Sebenarnya aku selalu memakainya kok, Qis. Katanya air beras bagus untuk kulit wajah,"

"Hah... Yang bener? Kata siapa itu?"

"Kata Queen Honey. Dia suka pakai air beras untuk mencuci wajahnya. Itu pun tidak rutin, hanya dipakai bila sedang mencuci beras saja,"

"Ouh! Emang ada efeknya ya, Mel?"

"Dia bilang sih nggak. Tapi katanya bikin putih,"

Balqis yang baru mengetahui rahasia itu, ikut-ikutan membasuh wajahnya dengan air beras.

Setelah selesai, mereka pun mengukur airnya. Kemudian memasukkannya ke dalam penanak nasi.

"Bagaimana sulit nggak, Qis?"

"Susah banget, Mel. Ribet! Masa iya gue harus ngukur aer segala. Kenapa aernya nggak sampe penuh aja?"

"Nanti seperti bubur dong!"

Balqis mendengus kesal. Dia pun beranjak menghampiri jendela. Sedangkan Melodi mengambil kitab dan membukanya. Dia mulai membaca dan sesekali menghapalnya.

Balqis lebih suka diam ketimbang menghapal, menurutnya itu sangat sulit. Kepalanya puyeng bila harus dipaksa berpikir. Dia pun membuka jendela untuk menikmati pemandangan.

Meskipun pemandangannya persawahan, kemudian pegunungan, tapi dia menikmati suasana menyejukkan itu. Kali ini pikirannya bersih dari pikiran Daddy nya.

Nggak kerasa gue udah lebih satu minggu tinggal di sini. Meskipun tempatnya nyaman, tapi gue tetep harus pergi. gue nggak bisa hidup tanpa fasilitas gue, nanti gue juga bakalan kurus kering kao lama-lama tinggal disini.

Balqis melirik Melodi. Dia yang duduk tidak jauh darinya sangat begitu tekun. Kini dia tengah menutup matanya dan bibirnya membacakan kitab.

"Gue keluar dulu ya, Mel." Ucapnya sambil berlalu keluar kamar.

Keadaan kobong siang ini sangat sepi, semua santri memutuskan tidur siang sebelum kembali mengaji nanti.

Langkahnya terus melaju dan lagi-lagi ide kaburnya berkoar. Rasanya sangat muak untuknya terus bertahan. Dia ingin cepat-cepat pergi sesegera mungkin.

Tap!

Balqis mendengus kesal. Ini entah sudah ke berapa kalinya dia gagal kabur. Karena yang didapatinya selalu sama, gerbang terkunci, tidak ada jalan lain, teralihkan Alditra dan dijaga santriwan.

Semuanya seperti tidak mendukung dia pergi, semuanya seakan-akan sudah terencanankan.

"Please... Keluarin Gue dari sini?"

Meskipun sudah beberapa kali gagal, tapi Balqis tetap melakukannya. Dia tidak menyerah sedikit pun, dia tetap mencoba walaupun hasilnya nihil.

Tenaganya saat ini hilang, dia menyandarkan kepalanya ke gerbang sambil memegang juruji. Dia kehabisan akal untuk kabur, tapi dia tidak ingin bertahan.

Untuknya bertahan di tempat ini tidak ada alasan, selain menyelamatkan diri. Karena dia sendiri yakin keadaan di luar sana sepertinya sudah aman, dia bisa pergi menemui sang ayah.

"Keluarin gue dari sini."

Dengan lemas Balqis memukul-mukul gerbang. Kemudian berbalik menyandarkan dirinya. Dia menatap lingkungan pesantren yang sepi.

Menurutnya sepi tidak ada orang sama sekali, padahal empat santriwan tengah mengawasinya. Kemudian Arsalan juga tengah mengawasinya juga di balik gorden.

Mereka semua selalu mengawasi Balqis karena takut melakukan hal yang tidak-tidak. Apalagi untuk saat ini keadaannya sedang tidak aman.

"Haah! Hidup gue emang selalu sial kataknya!"

Sebelum pergi, Balqis menendang gerbang terlebih dahulu. Dia kesal karena rencana kaburnya selalu tidak beruntung.

Tap!

Langkahnya terhenti. Dia melihat Fatimah bersama Azizah tengah membersihkan beras. Dia pun berjalan mengendap-endap untuk mendengarkan obrolan mereka.

"Umi, bila Ning Annisa menolak Al bagaimana?"

"Tidak apa-apa. Berarti itu tandanya Ning Annisa bukan jodohnya,"

Nadia mengangguk. "Lalu, apa Umi akan kembali menjodohkan Al?"

"Tentu. Bila Ning Annisa menolak, Umi akan mencoba menjodohkan Al dengan Melodi,"

What? Magsudnya apa nih?

Degh!

Mata Balqis membulat sempurna saat mendengarnya. Dia pun semakin mendekati mereka untuk mendengar lebih jelas.

"Kenapa harus Melodi, Umi?"

"Melodi itu perempuan shalehah. Dia sopan santun, tutur katanya juga sopan, dia baik, murah senyum, dia juga pintar, dia akan bisa menggantikan Umi ngajar,"

"Bagaimana bila Al menolak?"

"Umi yakin Al tidak akan menolak. Karena Umi yakin dia menyukai Melodi. Kalau soal Melodi, dia pasti akan menerima,"

"Apa Umi yakin?"

"Zah, setiap orang tua menginginkan anaknya memiliki pendamping yang sholeh dan sholehah, begitu pula dengan Umi yang menginginkan istri untuk Al yang sholehah. Umi tidak ingin dia salah memilih,"

Azizah pun mengangguk. Dia mengerti apa yang dikatakan Fatimah.

Sedangkan Balqis yang sejak tadi sembunyi kini memilih pergi. Hatinya mendadak sakit mendengar obrolan itu.

Cih.. Setiap orang emang pengen yang terbaik buat anaknya.

Balqis seketika dibuat berbeda. Hatinya terluka, mendengar hal itu hatinya benar-benar sakit?

Tap!

Balqis memperhatikan Melodi yang menuruni anak tangga sambil membawa sayuran.

"Balqis, ayo kita masak?"

Langkah Balqis kembali bergerak, dia mengikuti Melodi ke dapur. Dia juga tidak membantu seperti biasanya selain memperhatikan tangan Melodi yang lihai.

Hmmmm... Mungkin kalo Om Gus sama Melodi, perutnya bakalan kenyang soalnya dia jago banget masak!

Gret!

Balqis memilih mendudukkan dirinya, matanya masih memperhatikan Melodi yang anteng.

Melodi emang cocok banget buat Om Gus. Tapi kok hati gue nggak rela kayak gini, ya? Kalo kaya gitu gue nggak boleh jatuh cinta sama Om Gus.

Balqis bergelut dengan pikirannya sendiri. Kemudian menghela nafas dalam-dalam.

Hmmm, bagaimana caranya supaya bisa kayak Melodi?

"Balqis!"

"Apa?!"

Balqis tersentak kaget saat Amel berteriak di ambang pintu. "Gue masih punya kuping, nggak usah teriak-teriak juga kali,"

"Makanya jangan bengong!" sahut Amel.

"Ck... Sorry ya! Gue nggak punya waktu buat bengong, soalnya masih ada duit gue yang perlu diitung," balas Balqis sambil mengeluarkan uang receh dari sakunya. "Nih, buat lo lima ribu? Cukup buat beli minuman," sambungnya sambil memberikan uang.

"Cuman segini?" tanya Amel.

"Iyalah. Soalnya duit yang berwarna coklat enggak selevel sama gue," jawab Balqis. "Kalau duit warna ungu sama ijo ini? Bolehlah buat gue."

Amel memperhatikan uang yang tengah dihitung Balqis. Entah berapa jumlahnya, karena uangnya seabregan.

"Eh.. Ini duit apa'an?"

Balqis memperhatikan selembar uang yang pertama kali dilihatnya. "Ini duit jaman purba mana? Emang masih bisa digunain?"

"Itu masih bisa digunakan, Qis... Di jaman sekarang juga. Bukan jaman purba," Amel mengambil uang yang tengah diperhatikan Balqis. "Ini uang seribu. Masa kamu nggak tahu?"

"Hooo... Jadi ini duit serebu? Waw, gue nemuin yang baru setelah dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, dua puluh ribu," ujar Balqis dengan mata berbinar.

"Masa sih?" sahut Amel.

"Soalnya gue nggak selevel sama lo yang suka pegang duit beginian, Gue tuh biasa pegang duit merah paling banter warna birulah..." balas Balqis.

Amel memutar matanya malas karena lagi-lagi Balqis sombong, kemudian dia mendekati Melodi untuk membantunya mengambil mangkuk.

"Mel, aku dengar-dengar Ustadz Gilang suka sama kamu,"

Melodi tidak menanggapi, dia hanya fokus mengaduk masakan di wajan.

"Mel, kamu tidak ingin tahu apa kenapa Ustadz Gilang suka sama kamu? Sejak kapan? Dan bagaimana?" tanya Amel.

"Untuk apa?" Melodi bertanya balik.

"Orang-orang pasti langsung senang kalau bila disukai seseorang. Tapi kamu? Biasa saja," jawab Amel.

"Karena itu tidak penting, Amel." sahut Melodi.

Balqis yang sejak tadi memperhatikan hanya diam.

Melodi tuh emang beda sama cewek laen. Om Gus bakalan untung banget kalo beneran jadi sama Melodi.

Balqis yang hanya duduk kini beranjak. Dia pergi keluar dapur untuk mengangkat jemurannya. Lebih tepatnya bukan mengangkat jemuran sih, melainkan duduk di bawah jemuran. Entah apa yang dipikirkannya sampai termenung diam.

"Jangan ngelamun nanti kesambet!"

Balqis menoleh. Kemudian beranjak mengangkat jemuran.

"Sekarang sudah terbiasa ngangkat jemuran, nih?" ucap Risma.

"Ck... nggak juga tuh. Gara-gara di sini aja nggak ada laundry, jadi kepaksa gue ngelakuin ini. Itu pun kalo matahari kehalangin awan, kalo panas tar kan kulit gue jadi item kayak lo!" sahut Balqis sinis.

Risma berdecak kesal. Bertanya pada Balqis bukanlah hal yang bagus, melainkan membuat jantung tidak aman.

Setelah mengangkat jemuran. Balqis pergi ke kamar dengan lemas. Tenaganya kembali hilang seperti tadi.

"Sit, sekalian lipetin baju gue ya?"

Balqis menggeser bajunya. Dia mengambil kesempatan di saat Siti tengah melipat baju.

"lelah banget gue... Gara-gara harus ngangkat jemuran juga. Jadi tenaga gue udah abis."

"Terus kalau kamu enggak lipat baju, kamu mau ngapain?" tanya Siti.

"Rileks! Diem! Istirahat! Rehat!" jawab Balqis sambil merentangkan badannya. Dia menutup mata agar dirinya tenang.

"Jangan malas, Is. Kamu itu harus ngerjain tugas kamu," ujar Siti.

"Shhutt, diem! Lipetin baju gue aja, tar gue kasih duit," Balqis mengeluarkan uang recehnya. Kemudian mengambil satu lembar dan diberikan pada Siti. "Itu cukup buat seminggu,"

"Hmmm... Iya cukup seminggu kalau nggak dibelikan." ketus Siti karena Balqis hanya memberinya uang warna kuning satu.

"Kamu harus pandai berhemat, jangan boros-boros," ucap Balqis.

"Iya berhemat, kalau dikasih uang banyak. Kalau segini mana bisa berhemat," sahut Siti.

"Nih, Gue tambahin deh," Balqis memberinya satu lembar uang lagi. "duit itu buat tiga hari dan nggak ada tambahan lagi!"

"Pelit amat, Qis. Katanya uang kamu banyak tapi ngasih cuman 10 ribu, itu pun untuk ngelipat baju kamu tiga hari berturut-turut," ujar Siti.

"Gue bukan pelit, tapi lagi ngajarin lo cara menghemat uang." balas Balqis.

Siti tidak bicara lagi.

Dia melanjutkan melipat baju yang masih menumpuk karena ditambah baju-baju Balqis.

"Ayo makan?"

Balqis langsung bangun dari rebahannya saat Melodi dan Amel datang membawa masakan. "Karena hari ini aku yang masak nasi, jadi kalian kebagian cuman sedikit,"

"Masa seperti itu, Qis?" tanya Amel.

"Gue yang bakalan atur ," Balqis mengatur nasi ke setiap piring. Perutnya harus kenyang sampai dia menyisakan banyak nasi yang cukup untuk tiga orang. "Ini bagian gue."

Balqis menggeser bagiannya menjauh dari yang lain. Dia juga mengambil lauk pauknya paling banyak dan membuat Siska tidak kebagian.

Mereka hanya membiarkan saja untuk menjauhi keributan. Karena bila tidak dibolehkan yang ada Balqia akan marah besar.

Setelah selesai makan, Balqis menggeser bagiannya tadi yang tidak habis. "Haaah gue kenyang!"

"Qis, lain kali jangan ngambil makanan banyak. Lihat? Makanan ini sudah diacak-acak sama kamu, kita harus membuangnya," ujar Siska.

"Sayang jadi mubazir," timpal Siti.

"Ck.. Bisa diem nggak?! Gue ngantuk," sahut Balqis.

"Jangan tidur sesudah makan, Balqis,"

Amel menarik tangan Balqis agar terbangun. Tapi bukannya terbangun dia malah langsung tidur.

"Sudah, biarkan saja!" titah Raras.

Balqis yang perutnya kekenyangan tertidur pulas. Padahal dia tengah tertidur tapi keringatnya bercucuran. Dia terlihat gundah seperti bermimpi buruk.

"Aaaa, Nggaaaaakkk!"

Balqis terbangun dengan deru nafas yang hos-hosan. Dia pun melirik jam yang menunjukkan pukul tiga sore.

"Ternyata yang barusan cuma mimpi."

Tangan mungilnya mengusap keringat di dahi. Ini untuk pertama kalinya dia bermimpi buruk sampai serasa begitu nyata.

"Qis, cepat mandi! Nanti tidak kebagian air."

Balqis langsung bangun. Dia mengambil handuk dan berlalu ke kamar mandi. Dia harus membersihkan otaknya agar bebas dari mimpi buruk barusan.

1
sukronbersya'i
mantap seru, gan , jgn lupa mampir juga ya
Tara
wah...dasar preman Yach😅😂
Tara
hope happy ending
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!