Setelah bertahun-tahun berpisah, hidup Alice yang dulu penuh harapan kini terjebak dalam rutinitas tanpa warna. Kenangan akan cinta pertamanya, Alvaro, selalu menghantui, meski dia sudah mencoba melupakannya. Namun, takdir punya rencana lain.
Dalam sebuah pertemuan tak terduga di sebuah kota asing, Alice dan Alvaro kembali dipertemukan. Bukan kebetulan semata, pertemuan itu menguak rahasia yang dulu memisahkan mereka. Di tengah semua keraguan dan penyesalan, mereka dihadapkan pada pilihan: melangkah maju bersama atau kembali berpisah, kali ini untuk selamanya.
Apakah takdir yang mempertemukan mereka akan memberi kesempatan kedua? Atau masa lalu yang menyakitkan akan menghancurkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alika zulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebaris Kata,Sekelumit Rasa
"halo, Al. Gimana keadaan lo? bisa sendirian di sana, kan?" tanya Alice, suaranya terdengar jelas karena loudspeaker handphone yang menyala.
"aman, aman banget. Eh, lo khawatir ya sama gue? Udah deh, sini aja jagain gue. Aaa, tangan gue lemes banget nih, ngga bisa minum," jawab Alvaro, pura-pura manja, tanpa sadar kalau ucapannya itu juga didengar oleh orang tua Alice yang sedang duduk di teras.
Alice langsung panik. Bangke, Ro! Lo ngapain sih ngomong gitu? gerutunya dalam hati, melirik sekilas ke arah orang tuanya. Wajah mereka tersenyum penuh arti, membuat Alice semakin kikuk.
"gila lo, Ro," Alice buru-buru mematikan telepon tanpa menunggu jawaban.
Menyadari tatapan kedua orang tuanya yang tak berhenti memandangnya, Alice berusaha menguasai diri. "dia baik-baik aja kok, Bu. Biarin aja sendirian di sana," ucapnya, mencoba bersikap santai, meski jelas ada kegelisahan di wajahnya.
Ibunya, Arini, tersenyum sambil menggeleng pelan. "ada-ada aja anak-anak zaman sekarang," komentarnya, seolah memaklumi keusilan remaja.
Alice hanya bisa tersenyum tipis, menunduk sambil berharap percakapan barusan segera terlupakan. Namun, perasaan canggung tetap menggantung di udara, membuat sore yang biasanya nyaman terasa sedikit janggal.
sedangkan di seberang sana, seorang lelaki tersenyum kecil sambil menahan gejolak di dadanya. perutnya terasa dipenuhi kupu-kupu saat menyadari kekhawatiran Alice untuknya.
"kenapa gue senyum-senyum sendiri, bangke," gumam Alvaro, setengah tertawa. meski begitu, senyumnya tak kunjung hilang. ia merebahkan tubuhnya yang masih terasa nyeri di sana-sini, namun hati seolah tak peduli lagi pada rasa sakit itu.
pagi itu cerah, dan entah kenapa hari-hari ini terasa lebih ringan bagi Alice. Segalanya seakan berjalan lancar, tidak ada beban yang membuatnya lelah seperti biasanya.
"bu, hari ini Alice pulangnya jenguk Alvaro, ya?" ucap Alice meminta izin kepada ibunya.
"Alvaro berapa hari dirawat, Kak?" tanya Arini, ibunya, sambil mengangkat bahu, tak tahu pasti jawabannya.
Alice hanya membalas dengan anggukan kecil. "Aku juga nggak tahu, Bu."
"Yaudah, tapi sebelum jam sepuluh udah pulang, ya," putus Arini, setuju dengan syarat.
"Siap, Bu," sahut Alice, menyalami tangan ibunya yang sedang bersiap berangkat kerja.
Setibanya di tempat kerja, Alice langsung disambut antusias oleh teman-temannya. Hari ini adalah hari pertama Alice kembali bekerja setelah kejadian kemarin.
"Al! Al! Cepet sini!" seru Dewi, teman kerjanya, sambil menarik lengan Alice, menyeretnya masuk ke dalam toko dengan cepat.
"Eh, eh, kenapa Wi?" tanya Alice, bingung dengan sikap tergesa-gesa Dewi.
"Lo nggak papa, kan?" tanya Dewi, matanya memeriksa sekujur tubuh Alice.
"Kenapa? Gue baik-baik aja, Dewi," jawab Alice, tersenyum menenangkan.
"Tapi kata bos, lo cuti karena..." ucapan Dewi terputus, takut jika kata-katanya akan memicu trauma Alice.
"Emm... Udah, nggak papa kok," potong Alice, sudah mengerti kenapa sikap Dewi terlihat begitu cemas.
"Em... Lo laper nggak? Udah sarapan? Atau mau gue beliin sarapan?" tanya Dewi, berusaha mengalihkan suasana dengan penuh perhatian.
Alice mengernyit heran, tapi kemudian menyadari alasan di balik perhatian berlebihan Dewi. "Lo mau gue cerita, kan?" tanyanya dengan senyum tipis.
"Ya... tau gitu, tapi... lo beneran nggak papa cerita?" tanya Dewi lagi, masih ragu, takut menyinggung perasaan Alice.
***
Alice mulai menceritakan semua kejadian beberapa hari lalu, tanpa ada satu pun yang tertinggal. Wajahnya sedikit tegang saat mengisahkan setiap detil yang ia alami.
g pa" belajar dari yg udah berpengalaman biar bisa lebih baik lg, sayang lho kalo ceritanya udah bagus tp ada pengganggu nya di setiap part nya jd g konsen bacanya karna yg di perhatiin readers nya typo nya tanda petik koma titik tanda tanya selain alur cerita nya
bu, aku minjem ini, ya," dan masih bnyk kalimat yg tanda titik baca komanya g sesuai thor