Alya, seorang gadis desa, bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga kaya di kota besar.
Di balik kemewahan rumah itu, Alya terjebak dalam cinta terlarang dengan Arman, majikannya yang tampan namun terjebak dalam pernikahan yang hampa.
Dihadapkan pada dilema antara cinta dan harga diri, Alya harus memutuskan apakah akan terus hidup dalam bayang-bayang sebagai selingkuhan atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. PULANG KAMPUNG
PULANG KAMPUNG
🌸Selingkuhan Majikan🌸
Selama beberapa hari terakhir, Alya merasa rumah ini semakin sunyi. Tidak ada lagi rasa tegang atau desakan yang biasa ia rasakan setiap kali Arman berada di dekatnya.
Setiap kali Arman hendak pergi ke kantor pagi hari, Alya tidak pernah melihat sosoknya lagi. Bahkan, ketika sore hari Arman pulang, Alya mencoba mencari kesempatan untuk sekadar memastikan keberadaannya, tapi tidak pernah berhasil.
Suatu sore, ketika Alya sedang membersihkan ruang tamu, ia mendengar suara mobil Arman tiba di depan rumah.
Ia dengan cepat melirik ke arah jendela dan melihat Arman turun dari mobilnya. Ia berharap akan ada momen singkat di mana tatapan mereka bertemu, seperti biasa, tetapi kali ini Arman tidak menoleh sedikit pun ke arahnya.
Arman hanya berjalan lurus, memasuki rumah dengan wajah datar. Tidak ada senyuman, bahkan tidak ada isyarat apapun.
Alya menghela napas, jantungnya sedikit berdegup tak menentu. "Kenapa tuan Arman jadi seperti ini?," batin Alya, ia merasa aneh dengan perubahan sikap Arman.
***
Keesokan harinya, Alya sedang membersihkan ruang makan saat ia mendengar langkah kaki Arman dari kejauhan.
Ia melirik dengan cepat, berharap bisa melihatnya, namun lagi-lagi Arman hanya lewat tanpa berkata apapun.
Tatapan matanya dingin, seolah-olah ia tidak pernah mengenalnya. Alya menggigit bibirnya pelan, merasa bingung dengan perubahan sikap Arman yang begitu drastis.
Lalu, dalam satu kesempatan, saat Alya keluar dari dapur untuk membawakan air minum untuk Dinda yang sedang membersihkan teras, ia melihat Arman di kejauhan, sedang berbicara dengan seorang tamu di ruang kerja.
Mereka berbincang dengan serius, dan sekali lagi, tidak ada sedikit pun perhatian dari Arman ke arah Alya.
“Syukurlah, kalau Tuan Arman melupakanku, aku jadi tenang bekerja di rumah ini,” batin Alya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, ada perasaan aneh yang terselip di dalam hatinya. Ia tidak bisa memungkiri, ada bagian dari dirinya yang terbiasa dengan perhatian Arman, meski dengan rasa bersalah.
Saat malam tiba, Alya duduk di tempat tidurnya seraya memandangi kartu ATM yang berisi cukup banyak uang yang menjadi saksi bisu hubungan mereka, yang kini terasa semakin jauh dan tidak terjangkau.
"Kenapa aku merasa seperti ini?," gumam Alya, menggelengkan kepalanya karena merasa resah. "Mungkin ini yang terbaik... mungkin inilah yang seharusnya terjadi."
Lalu Alya membuka buku tabungan dan merasa puas dengan jumlah nominal yang tertera disana. "Mungkin ini cukup untuk pulang kampung dan membawa keluargaku pergi dari desa itu," gumam Alya lagi.
**
Satu minggu kemudian...
Di pagi yang tenang, Alya menyampaikan keinginannya untuk pulang kampung kepada Andin.
Saat Andin sedang duduk di ruang keluarga sambil menyeruput secangkir kopi, Alya dengan hati-hati menghampirinya.
"Nyonya, maaf mengganggu," ucap Alya pelan sambil menundukkan kepalanya.
Andin menoleh lalu tersenyum hangat. "Iya, Alya? Ada apa? Ada yang mau kamu sampaikan?."
Alya mengangguk dengan sedikit ragu karena khawatir tidak di beri izin, namun akhirnya berani bicara, "Nyonya, saya ingin meminta izin... untuk pulang kampung sebentar. Saya ingin menengok keluarga di desa."
Mendengar permintaan Alya, Andin sejenak terdiam. Wajahnya berubah serius, namun masih dengan senyuman kecil di bibirnya. "Oh, tentu saja kamu boleh pulang, Alya. Kamu pasti rindu dengan keluargamu. Tapi... apa kamu yakin? Bukannya di desamu, kamu sering diperlakukan tidak baik?," tanya Andin.
"Iya, Nyonya. Tapi saya harus melihat keadaan mereka. Saya janji, tidak akan lama," balas Alya meyakinkan.
Namun Andin masih tampak ragu. "Aku sebenarnya ingin sekali mengantarmu sendiri, Alya. Mengingat apa yang kamu ceritakan soal keluargamu dan bagaimana orang-orang di desa memperlakukanmu, aku khawatir. Tapi sayangnya, aku ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Bagaimana kalau supir kami saja yang mengantarmu?."
Alya tersenyum tipis, meski dalam hati ia merasa lebih nyaman pergi sendiri. "Terima kasih, Nyonya. Tapi tidak usah, saya akan baik-baik saja. Saya lebih suka naik angkutan umum."
Andin mengangguk, meski masih terlihat sedikit khawatir. "Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Tapi tolong hati-hati, Alya. Jangan sampai ada masalah lagi di sana."
"Iya, Nyonya. Saya akan berhati-hati," jawab Alya sambil tersenyum karena sangat bersyukur.
Setelah percakapan itu, Alya pun segera bersiap untuk perjalanan pulang esok hari dengan memasukkan beberapa barang ke dalam tas kecilnya.
Dan ketika esok hari tiba, Alya merapikan kamar sebelum berangkat. Saat ia melangkah keluar dari kamar, perasaan di hatinya bermacam-macam, antara rindu dan takut akan apa yang mungkin terjadi di desa nanti.
Kemudian, ketika Alya hendak keluar rumah di dampingi Dinda, para art yang lain melihatnya dan bertanya, "Alya, mau kemana?."
Alya tersenyum tipis, "Aku mau pulang kampung, Ada urusan keluarga."
Mereka mengangguk pelan, namun tampak penasaran, "Pulang kampung? Semoga aman ya, Alya."
Alya mengangguk, lalu melangkah keluar rumah. Sesampainya di gerbang menuju jalan raya, ia segera mencegat angkutan umum yang membawanya menuju desa.
Hatinya berdebar kencang, membayangkan apa yang akan ia hadapi di kampung halamannya. "Semoga baik-baik saja."
**
Alya duduk diam di dalam angkutan umum sambil memandang ke luar jendela untuk mencoba menikmati pemandangan. Namun, tiba-tiba terdengar suara keras dari depan kendaraan.
Sreeeet!
Sebuah mobil hitam melaju cepat, menyalip dan berhenti tepat di depan angkutan umum yang Alya tumpangi hingga kendaraan itu pun terpaksa mengerem mendadak.
"Astaga, kenapa ini?!," gerutu salah satu penumpang.
"Mobil siapa tuh?!" tanya penumpang lainnya sambil melihat ke arah depan.
Supir angkot pun membunyikan klakson berkali-kali. Tidid! Tidid! "Woy, geser dong! Jangan parkir sembarangan!," teriaknya, kesal.
Alya lalu melihat keluar jendela karena penasaran. Ketika ia fokus pada mobil hitam yang menghalangi jalan, jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. "Mobil itu... Tuan Arman?," gumamnya.
Alya tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lalu ia memastikan kembali, dan benar, itu mobil Arman. Bingung dan khawatir, Alya segera membuka pintu angkot dan turun, berjalan ke arah mobil Arman.
Tidid! Tidid!
Sementara supir angkot masih membunyikan klakson keras-keras. "Cepet, minggir dong!."
Tok tok tok!
Alya mengetuk kaca mobil Arman dengan hati-hati. Perlahan, kaca mobil diturunkan dan memperlihatkan wajah Arman di baliknya.
"Tuan Arman? Apa yang Anda lakukan di sini?," tanya Alya, setengah terkejut dan setengah bingung.
Arman menoleh dan menatap Alya dengan wajah serius. "Masuklah," perintahnya singkat.
Melihat ekspresi Arman, Alya pun merasa canggung dan tidak enak. "Tapi, Tuan... saya sedang dalam perjalanan. Saya tidak bisa meninggalkan angkot ini begitu saja."
"Masuklah, Alya. Sekarang," seru Arman lagi memotong ucapannya dengan tegas.
Alya langsung menunduk dan bingung harus melakukan apa. Melihat tidak ada pilihan lain, ia lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari tasnya untuk membayar ongkos angkot lebih dulu.
"Maaf, Pak. Saya turun di sini," katanya kepada supir yang menatap heran.
Setelah membayar, Alya berjalan ke pintu mobil Arman, membukanya, dan duduk di kursi penumpang. Begitu pintu tertutup, mobil itu langsung melaju perlahan meninggalkan angkot.
Di dalam mobil, suasana saat ini terasa tegang. Alya tidak tahu harus berkata apa, dan hanya duduk diam menatap ke depan.
"Kenapa kamu menolak untuk diantar?," tanya Arman tiba-tiba.
Alya hanya menunduk dan tidak berani menatap Arman. "Saya tidak ingin merepotkan, Tuan."
"Kamu tidak perlu merasa begitu. Aku yang akan mengantarmu," ucap Arman lagi seraya menatap lurus ke depan, dan dengan suara yang masih terdengar dingin.
Alya menggigit bibir karena merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Namun, ia tidak bisa menolak. Mobil pun terus melaju, membawa mereka pergi dari jalanan kota yang sibuk.
**
Kini, mobil hitam yang dikendarai Arman melaju tenang di jalanan yang semakin sepi. Alya yang semula hanya duduk dan menatap keluar jendela kini merasa penasaran sehingga mencuri pandang ke arah Arman dan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya dipikirkan laki-laki itu.
Tatapannya cepat-cepat beralih setiap kali ia merasa Arman mungkin menyadarinya.
Tapi kali ini, ketika Alya menoleh, mata mereka pun bertemu. Arman yang menyadari Alya telah memperhatikannya sejak tadi lalu tersenyum tipis dan berkata,
"Kenapa menatapku seperti itu?," tanyanya dengan lembut dan penuh karisma.
Alya terkejut dengan pertanyaan Arman yang tiba-tiba hingga merasa jika pipinya saat ini memanas, lalu segera menunduk. "Tidak, Tuan. Saya hanya…"
Arman tertawa kecil, suaranya rendah dan menenangkan. "Tidak usah malu, Alya. Kamu boleh menatapku. Lagi pula, kita sedang dalam perjalanan panjang bersama."
Alya semakin kikuk. Jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. "Maaf, Tuan… Saya tidak bermaksud…"
"Sudahlah, tidak perlu terlalu formal. Kita sedang santai sekarang, bukan di rumah." ucapnya sambil tetap fokus mengemudi.
Beberapa menit kemudian, Arman tiba-tiba membelokkan mobilnya ke sebuah kafe kecil di pinggir jalan.
Tempat itu tampak sepi dan hanya ada beberapa mobil lain di parkiran. Arman memarkir mobil dan menoleh ke Alya.
"Kita berhenti sebentar. Ayo, kita minum sesuatu," ajaknya dengan senyum yang membuat Alya semakin bingung, tapi juga sedikit senang.
"Kenapa lagi ini? Tuan Arman, dia berubah drastis lagi. Dia sangat ramah sekarang, berbeda dengan beberapa hari yang lalu," batin Alya.
Kemudian mereka berdua turun dari mobil dan masuk ke kafe. Di dalam kafe itu, suasananya hangat dan nyaman.
Arman memesan dua cangkir kopi dan duduk di sebuah meja di sudut ruangan. Sementara Alya mengikutinya dan masih merasa sedikit canggung.
Setelah duduk, Arman menatap Alya lalu berkata, "Jadi, ceritakan sedikit tentang desa tempat tinggalmu. Seperti apa tempat itu?."
Alya terkejut dengan pertanyaannya, namun ia segera menjawab. "Desa saya sederhana, Tuan. Tidak banyak yang istimewa. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani atau pedagang kecil."
Arman mengangguk pelan, sambil menyeruput kopinya. "Kamu bahagia hidup di sana?."
Alya menunduk lalu mengingat keluarganya. "Ya, meski ini pertama kalinya saya pulang. Saya selalu merindukan mereka. Tapi… ada hal-hal di desa yang membuat saya tidak nyaman."
"Apa itu?," tanya Arman dengan lebih serius.
Alya terdiam sejenak, lalu mengangkat wajahnya. "Ada orang-orang di sana yang suka menghakimi saya. Terutama karena saya dari keluarga yang tidak punya."
Arman tersenyum lembut mendengar tutur Alya dan seolah mengerti. "Jangan pedulikan mereka. Orang-orang seperti itu selalu ada di mana-mana."
Hati Alya merasa hangat mendengar kata-kata Arman. Pria di hadapannya tampak begitu karismatik hingga membuatnya merasa aman dan terlindungi. Ia pun mengangguk pelan dan merasa sedikit lebih lega.
"Kamu tahu, Alya, aku jarang bisa bersantai seperti ini," kata Arman lagi sambil menatap ke luar jendela. "Terima kasih sudah menemaniku," lanjutnya.
"Saya yang harusnya berterima kasih, Tuan. Anda sudah di repotkan sekarang."
Mereka berdua pun berbincang lebih santai, layaknya sepasang kekasih yang sedang menikmati momen bersama.
Setelah selesai, Arman membayar dan mereka pun kembali ke mobil.
Namun, Alya merasa suasana sudah berbeda. Di dalam mobil, mereka seperti tidak lagi sekadar majikan dan pekerja.
Rasanya, hubungan mereka telah berubah, entah menjadi apa, tapi yang Alya tahu perasaannya terhadap Arman semakin sulit disangkal.