Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu yang menggelegak.
Di sudut kantin Angkasa Corporation, ada Maha yang sedang duduk sendirian, tangannya bertopang dagu diatas meja. Tatapannya kosong, pikirannya pun melayang jauh, memikirkan pertemuan yang tidak terduga dengan Saka semalam. Dua tahun lamanya mereka tak saling berkomunikasi, tidak ada kabar, seolah Saka lenyap ditelan bumi.
Semalam, kehadirannya membuat Maha terkejut. Ia melihat Saka dengan mata kepalanya sendiri, tetapi ada jarak yang tidak bisa dijelaskan diantara mereka. Saka tampak acuh, seakan Maha hanyalah bayangan masa lalu yang ingin dihindari nya. Bahkan, untuk sekedar melirik, Saka seolah enggan.
Hati Maha bergelut dengan berbagai perasaan. Ada kebingungan, ada luka yang masih terasa samar dan ada kerinduan yang sulit diabaikan. Perasaan itu menyatu, membuatnya terjebak dalam lamunan yang tak berujung.
Ternyata dunia ini memang tidak seluas daun kelor, ya? Siapa yang sangka, ternyata Saka itu ternyata temennya Sadewa? Terus, selama aku kerja disini juga nggak pernah ketemu atau ada tamu, kayak Abimana dan Saka berkunjung ke kantor? Astaga, batin Maha sambil berdecak pelan, mencoba mencerna kenyataan yang baru disadarinya.
Iya juga, sih, secara Saka dan Sadewa itu, ‘kan, sama-sama berasal dari keluarga ningrat dan punya bisnis besar. Wajar, sih, kalau circle pertemanan mereka diisi sama orang-orang berpengaruh. Mungkin memang begitu, orang-orang sukses berkumpul dalam lingkaran yang sama, batin Maha lagi.
Maha menyandarkan punggungnya ke kursi, tatapannya mengarah ke langit-langit kantin. Hatinya masih bergelut dengan pertanyaan dan perasaan yang campur aduk. Rasanya seperti menemukan potongan puzzle yang hilang, tetapi masih belum bisa menyusun nya menjadi gambaran utuh.
“Ngelamun aja, nih? Boleh duduk nggak?” Celetuk Niken, membuat Maha terperanjat dari lamunannya.
Namun, perhatian Maha bukan pada Niken, melainkan pada Danu yang datang bersama sahabatnya itu. Danu tersenyum manis ke arah Maha, lalu menarik kursi di depan Maha untuk duduk. Senyumannya seolah membawa kehangatan yang tidak terduga.
“Kalian datangnya janjian, ya?” Maha mengerucutkan bibirnya, menampilkan ekspresi cemburu bercampur canda, seolah menuduh Niken.
“Nggak, ya! Tadi itu aku nggak sengaja ketemu sama Mas Danu di lift, sumpah,” Niken buru-buru menjelaskan sambil mengangkat kedua jarinya, membentuk huruf V, seakan menegaskan dirinya tidak bersalah.
“Iya, Maha. Tadi kita ketemu di lift. Karena Niken bilangnya mau ketemu kamu, jadi aku ikut,” sambar Danu dengan nada santai, menambahkan senyum yang membuat Maha merasa lebih tenang.
Maha tersenyum hangat, mencairkan suasana yang sempat dingin.
“Eh, nanti malam nonton, yuk? Ada film bagus, Nenek adalah maut,” seru Niken, membuat Maha spontan menatap Danu, ia menunggu reaksinya
“Memangnya kamu mau nonton? Hm?” Tanya Danu dengan tatapan penuh kasih, seolah menanyakan lebih dari sekadar kesediaan untuk menonton.
Maha mengangguk cepat, senyumnya mengembang dengan mata berbinar seperti anak kecil yang mendapatkan permen favoritnya. Melihat itu, Danu tidak bisa menahan diri untuk terkekeh kecil, merasa terhibur oleh ekspresi Maha yang begitu menggemaskan.
“Ya udah oke, ayo. Jam berapa nanti?” Danu mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya ke Niken, menunggu informasi lebih lanjut.
“Jam tujuh, Mas,” jawab Niken, kemudian menambahkan dengan santai, “Kalian, nih, cocok loh. Kenapa nggak jadian aja?” Ucapnya tanpa sadar akan dampaknya.
Danu terlihat kikuk, tangannya menggaruk tengkuknya dengan canggung. Sementara itu, Maha hanya memutar bola matanya, menahan rasa malas mendengar ocehan Niken yang terkesan sembarangan.
“Udah, deh. Jangan mulai, Ken,” sahut Maha, berusaha mengakhiri topik yang mulai membuatnya tak nyaman.
Niken hanya terkekeh kecil, sementara Danu dan Maha saling bertukar pandang sejenak, menciptakan keheningan yang mengisyaratkan perasaan tak terucap diantara mereka.
Danu terkekeh. “Karena jadi teman itu lebih seru. Iya, ‘kan, Maha?”
Maha mengangguk samar, namun ada sesuatu yang tertahan di matanya. Bukan jawaban seperti itu yang diharapkan dari Danu. Kata-kata Danu terasa seperti tamparan halus yang mengingatkannya pada kontrak Sadewa. Padahal, jauh di lubuk hati, Maha menginginkan hubungan yang lebih dari sekadar pertemanan dengan Danu.
“Iya.” Jawab Maha singkat, suaranya nyaris berbisik. Ia menunduk untuk menghindari tatapan Danu, mencoba menyembunyikan kekecewaannya.
Niken yang menyadari suasana canggung itu, kini merasa bersalah atas ucapannya tadi. Seolah ada dinding besar yang tiba-tiba memisahkan Maha dan Danu.
“Oke, berarti nanti kita ketemuan di Xoxo, ya?” Ucap Niken dengan nada ceria, mencoba menghidupkan kembali suasana.
Danu dan Maha mengangguk serempak, meski keheningan diantara mereka terasa begitu berat. Masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka, menyimpan perasaan yang tak terucap, berharap waktu bisa memberikan jawaban atas rasa yang mulai tumbuh di hati mereka.
Setelah berbincang hangat di kantin. Maha, Danu, dan Niken akhirnya sepakat untuk menonton film yang baru saja rilis malam nanti. Percakapan mereka mengalir ringan, di penuhi tawa dan candaan membuat suasana terasa akrab.
Ketika mereka beranjak dan melangkah menuju lift, suasana ceria itu masih terus terbawa. Danu sesekali melirik Maha, senyumnya tak pernah surut. Maha sendiri, meski tertawa bersama mereka, tidak bisa sepenuhnya mengusir perasaan hangat yang perlahan menyelimuti hatinya.
Lift berdenting lembut saat pintunya terbuka, dan mereka bertiga masuk. Ruangan kecil itu dipenuhi suara tawa dan canda, seolah melupakan sejenak hiruk-pikuk dunia luar. Danu berdiri disamping Maha, mencuri pandang sekilas saat ia tertawa. Ada sesuatu dalam senyum Maha yang selalu membuat hatinya berdegup lebih kencang, meski ia tahu batas-batas yang harus dijaga.
Disudut lain gedung Angkasa Corporation, Sadewa baru saja tiba bersama Maya, asistennya, serta beberapa staf inti perusahaan. Dengan langkah tegap dan penuh wibawa, ia memasuki lobi. Matanya yang tajam secara tak sengaja menangkap sosok Maha yang tengah berjalan beriringan dengan Danu.
Senyum tipis namun penuh makna terlukis di wajah Sadewa, sebuah seringai yang menyiratkan lebih dari sekadar kesenangan biasa. Ia melangkah mantap menuju lift, pikirannya sudah dipenuhi dengan rencana.
“Setelah ini, suruh Maha untuk keruangan saya,” ucap Sadewa dengan nada yang tak terbantahkan, membuat Maya mengangguk tanpa ragu.
“Baik, Tuan.” Jawab Maya tegas, mengikuti perintah dengan cekatan.
Dibalik senyumnya yang dingin, hati Sadewa bergemuruh. Rasa marah yang menggelegak saat melihat Maha dekat dengan Danu, sosok yang baginya tak lebih dari seorang pesaing kecil. Maha adalah miliknya, ia sudah mengklaimnya.
Tapi kenapa Maha seolah tidak peduli dengan peringatan saya? Kenapa dia masih berinteraksi dengan cecunguk itu? Pikir Sadewa dengan amarah yang tertahan.
Sadewa tidak pernah suka dengan penolakan. Terlebih, sikap Maha yang tampak menganggap peringatannya hanya sebagai gertakan ringan. Hal itu benar-benar membuat darah Sadewa mendidih. Ia tidak terbiasa diabaikan, dan Maha perlu tahu bahwa ia tidak main-main.
Saya harus memberi Maha peringatan yang lebih keras, tekad Sadewa dalam hati, langkahnya semakin berat saat keluar dari lift wajahnya dingin seperti biasanya.
Sementara itu, di ruangan nya, Maha duduk dengan tenang, matanya melirik sosok Sadewa yang melintas dengan langkah tegap, tanpa sedikitpun menoleh ke arahnya. Seolah-olah kehadirannya tidak berarti apa-apa bagi pria itu.
Sapa aku, kek, katanya aku kekasihnya? Tapi nyatanya, dia lewat begitu saja! Batin Maha dengan kesal sambil merapikan kacamatanya. Namun, senyum kecil tiba-tiba muncul di sudut bibirnya saat mengingat sesuatu.
Eh, tapi aku, ‘kan, cuma kekasih pura-pura nya aja, pikir Maha dengan terkekeh kecil, mencoba menenangkan pikirannya yang terusik.
Sepertinya Maha lupa akan statusnya dengan Sadewa. Mungkin, di lubuk hatinya, ia hanya ingin diakui, bukan hanya dianggap saat Sadewa membutuhkan. Ingatannya kembali ke malam sebelumnya, ketika Sadewa memperlakukannya seperti ratu. Sikap manis dan perhatian pria itu masih terekam jelas dibenaknya. Bagaimana cara Sadewa menyentuhnya dengan lembut, dan memberikan kehangatan yang begitu nyata, membuat Maha merasa istimewa.
Sebagai wanita normal, Maha juga mendambakan kasih sayang yang tulus dari seorang pria. Perlakuan manis Sadewa semalam berhasil mengguncang hatinya, membuatnya memandang Sadewa dengan sudut pandang yang berbeda—lebih hangat dan lebih dekat.