Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 Mendapat Restu
Ibunya Naya jelas terkejut dengan pernyataan Naya terhadap lelaki asing yang berada di hadapannya.
"Kamu bicara apa, Nay? Mana mungkin bisa kamu mengatakan kalau lelaki ini calon suamimu, sementara Ammar dengan jelas adalah suami kamu yang sah!" ujar Ibunya Naya marah dan kecewa dengan kelakuan anaknya.
Naya menghampiri Ibunya, menatapnya dengan lembut.
"Maafkan Naya Bu. Dia sahabatnya Mas Ammar, namanya Dikara,"
Dikara mengangguk sambil tersenyum manis.
"Jadi sahabatnya Ammar yang akan merebut posisi Ammar, begitu? Ibu tidak habis pikir dengan kelakuanmu Naya. Bisa-bisanya kamu berpaling dengan sahabatnya Ammar. Apa jangan-jangan anak yang kau bawa itu hasil selingkuhanmu dengan lelaki ini?" Sarkas Ibu yang terus saja bicara tanpa memberi kesempatan Naya dan Dikara untuk menjelaskan.
"Ibu benar-benar kecewa sama kamu, Nay!" Ibu berdiri menatap satu persatu orang yang berada di hadapannya. Lalu beranjak pergi ke kamar, meninggalkan mereka dengan wajah memerah.
"Bu...Ibu salah paham! Ibu jangan menuduhku seperti itu!" Naya tidak terima Ibunya mengatakan hal demikian. Seraya hendak menyusul Ibunya, namun dicegah Dikara.
"Nay...Biarkan Ibumu sendiri dulu, beliau butuh ruang untuk menenangkan diri. Kita maklumi. Ia pasti syok, kamu datang dengan lelaki lain bukan suamimu,"
"Tapi Mas, ini tidak seperti yang Ibu pikirkan, aku tidak serendah itu,"
"Iya Mas tahu. Itu karena Ibumu belum tahu kebenarannya. Berilah penjelasan pada kedua orang tuamu nanti. Aku akan menunggu jawabanmu secepatnya. Mas yakin orang tuamu pasti akan mengerti. Mas tidak ingin kehadiranku di sini memperkeruh suasana. Sebaiknya Mas pulang ya! Jaga dirimu dan anakmu baik-baik!"
"Iya Mas. Hati-hati!"
Naya menatap punggung Adikara sampai ia menghilang dengan mobilnya.
Naya mengetuk pintu kamar ibunya dengan pelan. Tanpa menunggu jawaban, ia masuk ke kamar tersebut.
Terlihat Ibunya duduk di sisi kasur, ia menangis, menatapnya dengan sengit. Ia merasa telah gagal mendidik anaknya menjadi orang baik.
Naya mendekati Ibunya dengan hati-hati.
"Jangan mendekat! Ibu tidak sudi disentuh oleh anak yang tidak setia dengan suaminya!" Sergah Ibunya dengan sengit.
Naya menghentikan langkahnya. Ia masih terus mendengar ucapan Ibunya yang sudah salah paham terhadapnya.
"Kamu tuh harusnya bersyukur punya Ammar yang setia dan sayang sama kamu. Kamu malah bermain api dengannya. Ibu malu Nay, punya anak seperti kamu! Apa yang akan Ibu katakan pada keluarga Ammar kalau kelakuan kamu seperti ini? Ibu sangat membenci perselingkuhan. Dan kamu sudah melakukan sesuatu yang Ibu benci selama ini. Pergi kamu dari rumah ini, Ibu tidak sudi punya anak model kamu!" hardiknya, dengan wajah memerah menahan amarah.
Naya menatap Ibunya dengan wajah sedih. Ia tetap mendekati Ibunya kemudian terduduk bersimpuh memeluk kaki Ibunya. Ada penolakan dari Ibunya, namun ia terus memeluk kaki Ibunya.
Ibunya berdiri hendak pergi, namun ditahan Naya yang terus memeluk kakinya.
"Maafkan Naya Bu...Ini tidak seperti yang Ibu pikirkan. Naya tidak pernah selingkuh dari Mas Ammar. Mas Ammar...Mas Ammar sudah tiada Bu. Mas Ammar sudah meninggal. Mas Ammar jatuh dari bus yang ugal-ugalan. Mas Ammar tewas di tempat..." dengan tersengal-sengal Naya berusaha menceritakan kejadian yang menimpa Ammar. Ia menangis pilu, tidak kuat melanjutkan cerita itu.
Bagaikan petir yang menyambar tubuh Ibu yang bernama Yeni itu. Kakinya lemas, ia terduduk di kasur. Ia menatap Naya tidak percaya akan ucapannya.
"Kamu bohongkan? Kamu mengatakan ini untuk menutupi kesalahanmu! Kamu bohong Naya!" Bu Yeni sangat terpukul dengan berita tersebut.
Menantu yang sangat ia sayangi sudah pergi untuk selamanya. Membuat dirinya merasa ada sebagian anaknya yang hilang.
"Maafkan Naya Bu...Naya baru bisa kasih tahu Ibu. Hape Naya hilang entah ke mana. Naya juga bingung untuk menghubungi Ibu dan ayah. Di saat yang bersamaan, Naya melahirkan cucu Ibu, anak Mas Ammar. Naya ditolong dokter Dikara yang ternyata sahabatnya Mas Ammar..." suaranya tercekat di tenggorokan.
Naya merasa tak mampu menceritakannya kembali. Seakan kejadian yang menimpa Ammar berputar kembali di dalam pikirannya, yang membuatnya tidak tahan untuk menangis.
Naya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan membiarkan air matanya mengalir begitu saja. Ia merasa sedih dan sakit ketika mengingat kejadian yang menimpa Ammar.
Ibu Yeni memejamkan matanya, menahan tangis. Ia mengusap air matanya dengan pelan kemudian ia menarik tubuh Naya dengan lembut.
"Bangunlah...Ibu merasakan apa yang kamu rasakan," titah Ibunya.
Naya berdiri dengan menunduk. Air matanya masih terus mengalir.
"Ibu belum tentu sekuat kamu, Nak. Ditinggal pergi saat melahirkan. Tidak ada keluarga yang menguatkanmu ketika kamu bertarung antara hidup dan mati...." Ibu membingkai wajah putrinya dengan lembut. Ia mengusap air matanya dengan tangan bergetar.
"Apapun alasanmu, suamimu belum lama meninggal Naya. Kamu tidak pantas untuk menikah lagi dengan lelaki itu. walaupun ia seorang dokter yang punya segalanya. Kamu harus tahu diri,"
Naya menggeleng-geleng masih sambil menangis.
"Bukan Bu, bukan kehendak Naya ingin menikah lagi. Itu semua keinginan Mas Ammar sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Ia menitipkan Naya dan anak Naya kepada dokter Dikara. Mas Ammar yang menyuruh Naya menikahi dokter Dikara...Bukan Naya Bu, bukan..."
Ibu Yeni menatap Naya tak percaya. Ia benar-benar terkejut dengan berita tersebut. Entah harus senang atau tidak, putrinya akan menikah dengan seorang dokter selepas ditinggal mati suaminya. Hal ini semua benar-benar di luar kendalinya sebagai orang tua.
Bu Yeni memeluk putrinya dengan erat. Ia mengusap punggung Naya seolah memberikan kekuatan agar Naya bisa tegar menghadapi takdir hidupnya.
"Kalau begitu kenyataannya, kita tidak bisa melawan takdir yang Allah kehendaki. Kalau memang dia jodohmu, sambut lah dengan suka cita. Ammar benar. Agar kau tak terpuruk, maka ia hadirkan dokter itu untuk menggantikan perannya sebagai suami dan ayah dari anakmu. Ibu restui kamu menikah dengannya. Tapi ingat pernikahan itu bukan main-main. Jadikan pernikahan itu sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Jangan sampai menyesali semua keputusan yang kau ambil!"
Naya merasa lega, ia tersenyum bahagia mendengar ucapan Ibunya. Ia memeluk Ibunya dengan erat.
"Terima kasih Ibu...terima kasih. Naya akan berusaha mengingat pesan Ibu. Naya akan menjaga amanah ini dengan baik dan tidak akan menyesali keputusan Naya. Naya janji Bu..." ujarnya penuh harapan dan keyakinan.
"Ya semoga kamu ataupun calon suamimu tidak mengingkarinya. Jangan sampai kamu atau calon suamimu merasa terjebak dengan amanah yang diberikan Ammar, Ingat amanah Ammar bukan jebakan sehingga kamu merasa menyesal sudah mengambil keputusan,"
Naya bergeming, ia mencoba mencerna ucapan Ibunya yang terkesan ambigu.