Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Freya dengan Ayu
Rini merasa hatinya hancur saat melihat Arman menampar Tama dengan penuh emosi. Tanpa berpikir panjang, dia segera berdiri di antara mereka, berusaha melindungi putranya dari kemarahan suaminya. Dengan nada tegas namun lembut, Rini berkata, "Arman, hentikan! Ini tidak baik untuk kesehatanmu."
Arman terdiam, napasnya terengah-engah, sementara Rini menatap Tama yang tampak terpukul oleh kejadian tersebut. "Masuk ke kamar, Nak," ucapnya kepada Tama, suaranya penuh kekhawatiran. "Kita bicarakan ini nanti."
Tama menundukkan kepala, mematuhi perintah ibunya, sementara Rini mencoba menenangkan Arman, yang terlihat masih dibakar oleh amarah.
***
Freya berusaha menenangkan diri saat mobilnya berhenti di depan rumah keluarga Tama. Ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di sana, dan meskipun Tama sedang bekerja, tujuannya datang bukan untuk bertemu dengannya, melainkan untuk bertemu dengan orang tua Tama.
Ketika pintu terbuka, Rini menyambutnya dengan senyum yang ramah. "Freya ... ada apa, Nak?" tanyanya dengan lembut.
Freya mengangguk dan mengikuti Rini ke dalam rumah. Suasana rumah itu terasa begitu berbeda dari yang ia bayangkan. Hati Freya berdegup lebih cepat saat mereka menuju ruang tamu. Di sana, ia melihat Arman duduk dengan wajah datar, tatapan tegas yang segera menelanjangi keberaniannya. Tak ada sapaan hangat dari pria itu, hanya isyarat tangan yang dingin, menyuruh Freya duduk di sofa.
"Silakan duduk," ujar Arman dengan nada yang sulit diartikan, tak ada keramahan dalam suaranya.
Freya merasakan ketegangan dalam ruangan itu. Ia perlahan duduk, mencoba menjaga ketenangan meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan. Ini adalah pertama kalinya dia berhadapan langsung dengan ayah Tama, dan ia tahu bahwa pertemuan ini bukan akan berjalan mudah. Arman jelas ingin menjaga jarak, tapi Freya bertekad untuk membuka percakapan yang penting.
Sebelum Freya sempat berkata apa-apa, Arman menatapnya dengan mata yang dalam, seolah-olah membaca seluruh isi hatinya. "Saya tahu kenapa kamu di sini," katanya, memotong keheningan. "Tapi sebelum kita bicara, ada satu hal yang perlu kamu pahami. Tama tidak bisa terus berada di sisimu."
Freya menelan ludah, merasakan bobot kata-kata itu. Arman ingin langsung ke pokok permasalahan, dan itu membuat Freya semakin waspada.
Dengan suara yang bergetar, namun tetap tegar, dia berkata, "Pak, Bu, saya mohon berikan saya kesempatan. Saya benar-benar mencintai Tama, dan saya tahu dia juga mencintai saya. Kami tidak bisa hidup tanpa satu sama lain."
Rini tampak gelisah di samping Arman, seakan ada bagian dari dirinya yang ingin bersimpati pada Freya. Namun, Arman tetap tak tergoyahkan. Wajahnya tidak berubah, ekspresi dingin yang seolah sudah membuat keputusan sejak awal.
Ia menatap Freya dengan pandangan tajam dan berkata dengan nada tegas. "Cinta saja tidak cukup untuk menjalani kehidupan ini, Freya. Ada tanggung jawab yang lebih besar dari itu. Tama adalah anak saya, dan saya tahu apa yang terbaik untuknya."
Freya berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. "Tolong, beri kami kesempatan. Saya akan melakukan apa pun, bahkan saya siap jika memang harus mengikuti keyakinan Tama," katanya, suaranya penuh kepedihan.
Namun, Arman hanya menghela napas pelan, seolah tak tersentuh oleh kata-kata Freya. "Saya sudah membuat keputusan. Kamu punya waktu tiga hari. Selesaikan hubungan ini dengan Tama, atau saya yang akan turun tangan. Saya tidak peduli bagaimana perasaan kalian. Apa yang penting bagi saya adalah masa depan Tama, dan kamu bukan bagian dari rencana itu."
Arman bangkit berdiri lalu melangkah meninggalkan sang istri bersama Freya di ruang tamu. Sementara Rini, menatap sedih ke arah wanita yang meremas ujung bajunya.
Dengan berat hati, Freya akhirnya bangkit dari duduknya, merasa hancur. Tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia tidak bisa menyerah semudah itu. Tiga hari itu mungkin semua yang dia miliki sekarang, tapi dia harus berjuang untuk Tama, untuk cinta mereka.
***
Di tengah kesibukannya di tempat kerja, Tama dikejutkan oleh kedatangan tamu yang sudah lama tak dilihatnya, Ayu. Begitu melihatnya, Tama tersenyum hangat dan segera memeluknya seperti kakak menyambut adiknya yang lama tak bertemu.
"Ayu! Sudah lama sekali! Bagaimana kabarmu?" tanya Tama dengan gembira, meski ada sedikit kelelahan yang terselip di wajahnya.
Ayu tertawa kecil dan menepuk bahu Tama. "Kabar baik, Mas. Tapi, aku lebih penasaran sama kabarmu. Bagaimana kamu dan Freya?"
Pertanyaan itu membuat senyum di wajah Tama sedikit pudar. Ia hanya tersenyum tipis, tidak memberikan jawaban pasti. "Kita … baik-baik saja," jawabnya singkat, meski jelas ada sesuatu yang ia sembunyikan di balik kata-kata itu.
Ayu memperhatikan perubahan ekspresi Tama, menyadari ada yang tidak beres. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa, memberi Tama ruang untuk bercerita jika ia mau. "Aku harap kalian tetap baik-baik saja," ucap Ayu dengan lembut, mencoba menyemangati Tama.
Setelah melihat perubahan di wajah Tama, Ayu memutuskan untuk beralih topik. Dia menghela napas dan dengan ragu berkata, "Sebenarnya, aku ke sini karena butuh bantuanmu, Mas Tama."
Tama mengerutkan kening, penasaran. "Bantuan apa, Ayu? Ada apa?"
Ayu tersenyum tipis, agak malu-malu. "Aku agak kesulitan di kuliah. Beberapa materi susah banget, dan aku pikir ...
mungkin kamu bisa bantu aku."
Tama tertawa kecil, mengingat masa-masa mereka sering belajar bersama. "Oh, begitu! Tentu saja, aku akan bantu. Kamu kesulitan di bagian apa?"
Ayu tampak lega mendengar jawaban itu. "Ada beberapa mata kuliah yang bikin pusing, terutama tentang basis data. Aku bingung, Mas."
Tama mengangguk, senyumnya kembali lebih cerah. "Jangan khawatir, aku akan bantu. Kita bisa atur waktu untuk belajar bareng. Kamu datang ke sini kapan pun kamu perlu, oke?"
Ayu tersenyum penuh terima kasih. "Terima kasih, Mas. Kamu selalu bisa diandalkan."
Tanpa disadari oleh Tama dan Ayu, Freya tiba-tiba datang ke kantor Tama. Niatnya untuk bertemu dan membicarakan keputusan penting dengan Tama sirna ketika dia melihat pemandangan yang membuat hatinya bergetar. Di depan matanya, Tama sedang berbicara dengan wanita yang Freya tidak kenal dan yang paling menyakitkan bagi Freya, Tama tersenyum. Senyum yang begitu hangat, sesuatu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini.
Freya berdiri terpaku sejenak, jantungnya berdebar kencang. Siapa dia? Mengapa Tama bisa begitu nyaman dengannya? Pikiran-pikiran itu mulai menyerbu pikirannya. Rasa cemburu yang tak terduga muncul, menekan hatinya. Freya merasa tersisih, seperti ada seseorang yang bisa membuat Tama tersenyum lebih mudah daripada dirinya.
Dengan langkah ragu, Freya mendekat, wajahnya tegang. "Tama ...," suaranya terdengar lemah dan bergetar.
Tama dan Ayu langsung terkejut, menoleh ke arah Freya. Wajah Tama berubah, dari ekspresi hangat menjadi khawatir. "Freya? Kamu di sini?"
Ayu, yang melihat suasana berubah, langsung merasakan ketegangan di udara. Dia bisa melihat rasa cemburu di mata Freya, meskipun Freya berusaha menutupinya. "Oh, kamu pasti Freya," kata Ayu dengan senyum ramah, mencoba mencairkan suasana.
Namun, Freya hanya mengangguk singkat, tatapannya tak lepas dari Tama, menunggu penjelasan. Rasa tidak nyaman menyelimuti dirinya.