Letnan Hiroshi Takeda, seorang prajurit terampil dari Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II, tewas dalam sebuah pertempuran sengit. Dalam kegelapan yang mendalam, dia merasakan akhir dari semua perjuangannya. Namun, ketika dia membuka matanya, Hiroshi tidak lagi berada di medan perang yang penuh darah. Dia terbangun di dalam sebuah gua yang megah di dunia baru yang penuh dengan keajaiban.
Gua tersebut adalah pintu masuk menuju Arcanis, sebuah dunia fantasi yang dipenuhi dengan sihir, makhluk fantastis, dan kerajaan yang bersaing. Hiroshi segera menyadari bahwa keterampilan tempur dan kepemimpinannya masih sangat dibutuhkan di dunia ini. Namun, dia harus berhadapan dengan tantangan yang belum pernah dia alami sebelumnya: sihir yang misterius dan makhluk-makhluk legendaris yang mengisi dunia Arcanis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sapoi arts, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua jiwa dalam bahaya
Hiroshi terdesak, tubuhnya nyaris tak mampu menahan gelombang serangan brutal dari makhluk itu. Setiap serangan terasa seperti gempa yang menghancurkan pertahanan terakhirnya. Napasnya semakin berat, langkahnya goyah, dan pandangannya mulai kabur.
Sebuah cakar tajam melesat ke arahnya, menyentak tubuh Hiroshi hingga terlempar ke dinding gua. Suara benturan terdengar mengerikan, disusul percikan darah yang keluar dari kepalanya, mengalir di sisi wajahnya.
Sesaat dia terhuyung-huyung, lalu jatuh berlutut, tangan gemetar memegang gagang katananya.
Di kejauhan, Seraphine berdiri dengan wajah pucat pasi, air mata deras mengalir di pipinya. Matanya terbelalak, penuh ketakutan.
"Hiroshi! JANGAN MATI! TOLONG!" jeritnya, suaranya pecah, seolah memohon pada nasib yang kejam.
Hiroshi mendongak, darah mengalir di pelipisnya, menutupi satu mata. Dia berusaha tersenyum, meskipun bibirnya gemetar.
"Lari... Seraphine... jangan kemari..." suaranya serak, hampir tak terdengar.
Dengan wajah basah air mata, Seraphine terdiam, tangannya gemetar di mulutnya, tidak mampu bergerak.
"TIDAK! AKU TAK BISA MENINGGALKANMU!" teriaknya penuh kepanikan, matanya menatap Hiroshi yang semakin lemah.
"Cepat... LARI!" Hiroshi memaksa suaranya keluar, tapi tubuhnya tak lagi menurut. Pingsan, dia terjatuh ke tanah. Seraphine, dengan jeritan pilu, akhirnya berbalik dan lari menjauh, meskipun air matanya tak pernah berhenti mengalir.
Kegelapan Menyergap
Di tengah kegelapan tanpa harapan, sesuatu di dalam diri Hiroshi mulai bergerak. Dalam kesadaran yang samar, tubuhnya mulai bangkit perlahan, meski matanya masih terpejam.
Nafasnya terdengar pelan namun teratur, seolah ada kekuatan yang lebih besar membimbingnya. Bibirnya bergerak, menggumamkan sesuatu yang tak pernah dia ingat.
..
...
....
"Magadachi..." bisiknya.
Sekilas, tubuh Hiroshi bergetar. Lalu, dalam satu gerakan tajam, katananya terhunus, memancarkan aura gelap yang berkilauan. Setiap gerakannya tampak bagaikan tarian, penuh presisi dan kekuatan.
Makhluk itu, yang tadi mengira Hiroshi sudah kalah, menatap dengan rasa takjub yang terdistorsi. Cakarnya melesat ke arah Hiroshi, tapi dengan satu gerakan anggun, Hiroshi berputar dan menghindari serangan itu dengan mudah.
Serangannya, bagai bayangan hitam, menghantam makhluk itu dengan kekuatan yang tak terduga.
Wajah Makhluk Itu Mendistorsi dalam Rasa Takut.
Hiroshi, matanya masih terpejam, terus bergerak seperti bayangan yang tak terhentikan. Dia tidak menyerang membabi buta, setiap tebasan terasa terencana, dihitung, dan penuh kemurnian.
Wajahnya tenang, hampir tidak manusiawi, tapi ada kekuatan tersembunyi di balik ekspresi itu—kekuatan yang terbangun di ambang kehancuran.
"Issen!" serunya, hampir tanpa emosi, tapi suaranya seakan merobek udara. Katana-nya bergerak dengan kecepatan kilat, meninggalkan jejak tinta hitam yang membelah makhluk itu. Teriakan kesakitan keluar dari makhluk itu, namun Hiroshi tak menunjukkan belas kasihan.
Mata Makhluk Itu Membelalak, Muncul Rasa Putus Asa.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara Seraphine yang memanggilnya. "Hiroshi... tolong!" Suara itu membuat sesuatu dalam dirinya tersentak. Napasnya terhenti sejenak, lalu dia membuka matanya, yang bersinar dengan cahaya samar.
Dengan satu serangan terakhir, "Magadachi Issen!" suaranya menggema di seluruh gua, dan katana-nya berputar sekali lagi, menghempaskan energi mematikan ke arah makhluk itu. Dalam satu gerakan halus namun mematikan, Hiroshi menebas makhluk itu tepat di jantung, menutup semua kemungkinan perlawanan.
Wajah Makhluk Itu Terbelalak dalam Kengerian, Menatap Serangan Terakhir.
Makhluk itu terhuyung, tubuhnya mulai hancur perlahan, hingga akhirnya jatuh ke tanah, tak bernyawa. Kegelapan yang melingkupi gua mulai memudar, sementara Hiroshi, dengan napas tersengal-sengal, jatuh ke lututnya.
Darahnya bercucuran, tubuhnya gemetar, tapi tatapan matanya menunjukkan tekad yang tak bisa dihapus.
Di luar gua, Seraphine yang masih menangis, menatap dengan cemas. Dia tahu, meskipun Hiroshi menang, pertarungan ini meninggalkan bekas yang dalam. Hiroshi adalah satu-satunya harapan mereka—dan dia harus bertahan, apa pun yang terjadi.
____
Hiroshi membuka matanya perlahan, disambut oleh kegelapan gua yang samar. Suara napasnya terdengar keras di telinga, dan kepalanya berdenyut hebat.
Ketika kesadarannya kembali, dia merasakan sesuatu yang hangat menetes di pipinya. Dengan sedikit berusaha, dia mendapati bahwa itu adalah air mata.
Di sampingnya, Seraphine tampak terisak. Wajahnya basah oleh air mata, dan ketakutan jelas tergambar di matanya.
"Hiroshi! Kamu jangan mati!" teriaknya, namun suaranya dipenuhi dengan tangisan.
Hiroshi bingung, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
"Seraphine? Apa yang terjadi? Apakah makhluk itu masih di sini?"
Dia berusaha berdiri, namun rasa sakit menyebar di seluruh tubuhnya. Kenangan pertempuran terakhir berputar di benaknya—serangan brutal, suara raungan makhluk itu, dan serangan terakhir yang dia luncurkan.
Seraphine menggelengkan kepala, air matanya masih mengalir.
"Makhluk itu… aku tidak tahu. Tadi… aku pikir kamu sudah mati. Saat kau terjatuh, aku sangat takut."
Mendengar kata-kata Seraphine, Hiroshi merasakan kepanikan menyergapnya.
"Tapi… makhluk itu… aku merasa aku telah mengalahkannya." Dia menatap ke arah kegelapan gua, berusaha melihat apakah ada tanda-tanda keberadaan makhluk itu.
“Tapi kenapa kamu menangis? Apakah ia masih ada?”
Seraphine mengusap air matanya, dan Hiroshi bisa melihat ketakutan yang terperangkap di matanya.
"Tidak, makhluk itu… dia menghilang setelah seranganmu. Tapi saat itu aku sangat ketakutan. Kau terlihat seolah… tak berdaya.”
Hiroshi merasakan sesuatu di dalam dirinya, antara rasa lega dan bingung. Dia tidak sepenuhnya yakin tentang apa yang terjadi, tapi satu hal pasti—serangan terakhirnya mungkin telah mengusir makhluk itu, meskipun tidak tanpa biaya.
"Jadi… kita aman sekarang?" Hiroshi bertanya, berusaha menenangkan dirinya dan Seraphine.
Seraphine mengangguk perlahan, tetapi air matanya masih menetes.
"Iya… tapi… aku tidak ingin kehilanganmu, Hiroshi. Kamu sangat berani. Aku hanya berharap kau baik-baik saja."
Hiroshi menatap gadis itu, melihat ketulusan dan kekhawatiran di wajahnya. Dia berusaha tersenyum meskipun rasa sakit masih menyiksa tubuhnya.
"Jangan khawatir. Aku masih di sini. Kita akan keluar dari sini bersama. Dan kita akan menemukan cara untuk mengalahkan makhluk itu jika ia kembali."
Mendengar kata-kata Hiroshi, Seraphine menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
“Tapi bagaimana kalau ia datang lagi? Apa yang akan kita lakukan?”
Hiroshi mengatur pikirannya, berusaha meredakan kecemasan di dalam diri mereka berdua.
"Aku tidak tahu, tapi kita harus tetap bergerak. Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Aku rasa makhluk itu akan kembali, dan kita harus siap."
Seraphine mengangguk, matanya kini dipenuhi tekad. Hiroshi merasakan dorongan untuk melindungi gadis itu, merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertempuran yang dihadapi.
"Aku akan melindungimu, Seraphine. Kita akan keluar dari sini."
Dengan langkah pelan, Hiroshi dan Seraphine melanjutkan perjalanan mereka melalui gua, meskipun ketidakpastian masih menggantung di udara.
Dalam setiap langkah, Hiroshi berusaha untuk tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga memahami kekuatan baru yang mengalir di dalam dirinya—kekuatan yang mungkin dapat mengubah nasib mereka berdua di dunia yang tidak mereka kenali ini.