Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAKAN SIANG BERSAMA
Setelah mendengar penjelasan Damian tentang proyek tersebut, Raka tiba-tiba menyandarkan tubuhnya sambil melirik Damian dengan senyum tipis. "Oh iya, Damian," katanya santai, "gue ada satu permintaan kecil buat bantu kita berdua lebih efektif ngurus proyek ini."
Damian menatapnya penuh perhatian. "Permintaan apa, Rak?"
Raka melirik Andi sejenak sebelum melanjutkan, "Gue minta dibikinin satu ruangan di sini buat gue sama Andi. Jadi kalau kita ada perlu atau diskusi langsung soal proyek ini, kita bisa datang ke sini kapan aja tanpa perlu ngatur tempat lagi."
Andi mengangguk setuju. "Bener, gue rasa itu bisa bikin kita lebih fleksibel dan nggak ganggu ruangan lain kalau rapat mendadak."
Damian tersenyum tipis, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Oke, gue rasa itu ide bagus. Gue bisa atur ruangan khusus buat kalian berdua di lantai yang sama. Jadi kalau ada yang perlu dibahas, kalian bisa langsung datang."
Raka tersenyum lebar, tampak puas. "Mantap, terima kasih, Man. Dengan gitu, proyek ini bisa kita pantau lebih dekat."
Damian mengangguk. "Sama-sama. Gue juga pengen proyek ini berjalan lancar. Jadi kalau ada yang kalian butuhin, tinggal bilang aja."
Mereka bertiga saling bertukar pandang, menyadari bahwa proyek ini akan menjadi tantangan besar, namun dengan persiapan yang matang, peluang keberhasilannya jauh lebih besar.
Setelah percakapan mereka usai, Damian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia melirik sejenak ke arah Andi dan Raka yang sibuk memeriksa dokumen proyek, lalu tanpa berpikir panjang, ia mengetikkan pesan untuk Annisa.
"Nis, nanti siang makan bareng, ya? Ada hal yang ingin aku bicarakan."
Damian terdiam sejenak setelah menekan tombol kirim, menunggu reaksi dari Annisa. Ini pertama kalinya ia mengajak Annisa makan siang secara langsung seperti ini. Biasanya, mereka hanya berkomunikasi singkat seputar urusan rumah atau hal-hal sederhana. Namun, sejak beberapa waktu terakhir, Damian merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—ada dorongan untuk mengenal Annisa lebih dalam, untuk memberi perhatian yang selama ini mungkin terabaikan.
Tidak lama setelah pesannya terkirim, ponselnya bergetar. Sebuah balasan singkat dari Annisa muncul di layar.
"Baik, Pak Damian. Jam berapa kita bertemu?"
Damian tersenyum kecil, merasa senang atas balasan itu. Dia segera mengetik lagi, "Jam 12, aku jemput kamu di lobi."
Andi dan Raka yang memperhatikannya dari sudut mata hanya saling pandang, sedikit heran melihat Damian yang tampak serius mengetik pesan. Tapi mereka memilih tidak berkomentar, sementara Damian menyimpan kembali ponselnya dan kembali fokus pada rencana proyek mereka.
Andi yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Damian akhirnya tidak tahan lagi dan bertanya, “Gimana perkembangan hubungan lo sama Annisa?”
Damian menatap Andi sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Masih tahap pendekatan,” jawabnya jujur. “Tapi kali ini, kami serius. Gue sadar selama ini mungkin terlalu sibuk sama diri sendiri. Sekarang gue coba mulai dari awal, bangun pertemanan dulu sama Annisa.”
Raka mengangguk paham, sementara Andi menyipitkan matanya, tertarik mendengar cerita Damian lebih jauh. “Lo benar-benar niat kali ini, ya?”
Damian mengangguk pelan, lalu menatap ke luar jendela sejenak sebelum melanjutkan, “Iya. Gue nggak bisa tiba-tiba bilang gue jatuh cinta sama dia, Di. Tapi setelah gue kenal dia lebih dalam... Annisa itu wanita yang gampang buat dicintai. Dia punya cara sendiri yang bikin orang nyaman, dan gue mau belajar menghargai itu pelan-pelan.”
Andi dan Raka saling bertukar pandang, lalu Raka berkata dengan nada setengah bercanda, “Lo kayaknya udah setengah jatuh cinta tuh, Man. Tinggal berani ambil langkah aja.”
Damian tersenyum, agak canggung, namun tidak menyangkal. "Gue berharap, dengan usaha yang gue lakuin, Annisa bisa lihat kalau gue bener-bener serius kali ini."
“Lo harus cepat-cepat lupain Annisa, Di!” pikir Andi membatin.
•••
"Kamu ingin makan apa, Nis?" Damian bertanya, tetap fokus menatap jalanan di depannya, sementara mobil mereka melaju tenang di tengah kota. Ia ingin memastikan makan siang mereka kali ini berjalan dengan nyaman.
Annisa melirik Damian sekilas, sedikit ragu. Sebenarnya, ada keinginan kecil di hatinya untuk makan sushi, terinspirasi dari status Donita yang kemarin malam makan sushi bersama kekasihnya. Namun, entah mengapa, ia merasa ragu untuk menyampaikan keinginannya. Bagaimana jika Damian tidak suka sushi? Atau malah menganggap permintaannya terlalu merepotkan?
"Eh... terserah kamu aja, Pak Damian," jawab Annisa akhirnya, berusaha menutupi keraguannya. “Aku ikut aja apa yang menurut kamu enak.”
Damian menghela napas ringan, seakan menyadari bahwa Annisa masih sungkan untuk mengutarakan pendapatnya. "Nggak usah formal begitu, Nis. Aku mau kita santai aja. Bukankah sekarang kita sudah tidak berada di kantor? Hari ini khusus buat makan yang kamu suka."
Annisa tersenyum kecil, mulai merasa sedikit nyaman. "Sebenarnya... aku lagi pengen makan sushi, Mas," katanya pelan, berharap Damian tidak keberatan.
Damian meliriknya sejenak dengan senyum tipis. "Sushi? Boleh, kok. Kebetulan, aku tahu satu tempat sushi enak di sini."
Annisa sedikit terkejut, tak menyangka Damian akan langsung menyetujuinya. "Benar, Mas? Kalau merepotkan, aku nggak apa-apa makan di tempat lain."
"Tidak masalah, Nis. Sekali-kali nggak ada salahnya. Lagipula, aku juga belum pernah coba makan di sana," jawab Damian dengan nada ringan.
Annisa hanya tersenyum, merasa sedikit lega. Di perjalanan, ia mulai merasa bahwa Damian benar-benar berusaha membuatnya nyaman, dan perlahan hatinya terasa lebih tenang.
Saat mereka tiba di restoran sushi yang Damian pilih, Damian segera memesan berbagai hidangan untuk Annisa. Tidak hanya satu atau dua porsi sushi, tetapi juga beragam jenis sushi lainnya—mulai dari sushi dengan salmon segar, tuna, hingga sushi gulung dengan alpukat dan kepiting.
Annisa menatap meja yang semakin penuh dengan menu, sedikit terkejut. "Mas, ini… banyak sekali. Aku nggak yakin bisa habiskan semuanya."
Damian hanya tersenyum. "Santai saja, Nis. Aku pesan ini biar kamu bisa pilih yang paling kamu suka. Kalau nggak habis, kita bisa bawa pulang." Lalu, dengan senyum tipisnya, ia melanjutkan, "Dan aku juga pesankan ramen berkaldu buat kamu. Siapa tahu kamu pengen coba sesuatu yang hangat."
Annisa merasa terharu melihat perhatian Damian yang begitu mendetail. "Terima kasih, Mas Damian. Ini lebih dari cukup."
Damian tersenyum sambil menatap Annisa. "Aku cuma pengen kamu menikmati waktu makan ini, Nis. Jadi, nggak perlu ragu. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku karena sudah sabar selama ini."
Annisa tersenyum malu, lalu mulai menikmati hidangan di depannya. Damian memperhatikannya dengan penuh ketenangan, merasa senang melihat Annisa yang tampak nyaman dan mulai bisa membuka diri sedikit demi sedikit.