Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hampir Sampai
Setelah sukses menjadi sopir odong-odong dadakan di TMII, Kimi dan Adi melanjutkan perjalanan ke arah timur. Bajaj kuning yang mereka kendarai melintasi lagi di sisi utara Museum IPTEK, masih dengan hiasan batik, boneka, dan bunga-bunga meriah di atapnya, yang membuat kendaraan itu terlihat seperti habis pulang karnaval.
Mereka sempat tersesat beberapa kali, tetapi dengan bantuan peta offline dan bertanya ke orang-orang di sekitar, pukul setengah dua siang mereka akhirnya menemukan Jalan Pagelarang. Jalanan di sana tampak lancar.
Di sepanjang jalan, mereka menjadi pusat perhatian. Seorang pengendara motor hampir menabrak trotoar karena terlalu fokus melihat bajaj mereka. "Lihat itu! Kendaraan macam apa itu?" seru pengendara motor tersebut, sambil terbengong-bengong dengan teman yang diboncengnya.
Sementara itu, seorang anak kecil di pinggir jalan berteriak kegirangan, "Mama, mama, aku mau naik yang itu!" serunya, menarik lengan ibunya. Wanita itu kebingungan melihat bajaj aneh yang tak biasa melintas di sana.
Suasana jalan yang lebar dan lebih lengang membuat Kimi dan Adi dapat mengobrol lebih santai.
Kimi teringat dengan tunangan Adi yang sempat mengatakan hal tida-tidak kepadanya lewat telepon. Gadis itu bertanya dengan nada penasaran, “Perempuan tadi itu beneran tunangan kamu ya?”
“Oh… Karin. Iya dia tunanganku!”
Adi tersadar, sudah beberapa bulan ia bertunangan dengan Karin, dan beberapa hari lagi akan menikah. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa Karin belakangan ini semakin menunjukkan sisi egoisme dan kecenderungan mendominasi yang membuatnya semakin kewalahan.
“Mmm… kenapa dia bisa semarah itu, tadi… lewat telepon? Maaf loh, Di, aku tidak meneruskan panggilannya ke kamu. Soalnya… tadi kamu lagi sibuk nyopir bajaj. Aku takut kamu tidak konsentrasi, dan kita malah terlempar keluar dari jembatan penyeberangan,” ucap Kimi, polos.
“Kamu ini, ya nggak mungkin lah, kan ada pagarnya,” sahut Adi terkekeh. Kemudian Adi menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Ya, itulah Karin. Dia memang cantik dan pintar, tapi akhir-akhir ini aku baru menyadari sisi egois dan dominasi dalam dirinya yang cukup… mmm… bikin pusing sih. Tapi… aku… harus menerimanya. Pernikahan kami sudah dekat, undangan juga sudah disebar. Gedung sudah dipesan dan… semua sudah dipersiapkan, kecuali… fitting baju pengantin. Dan tadi pagi dia marah soal itu.”
“Terus gimana? Kamu malah keluyuran gini…” kata Kimi, merasakan lagi rasa bersalahnya.
“Aku sudah meyakinkan Karin bahwa fitting baju pengantin bisa dilakukan siang atau besok, tapi… Karin tidak mau tahu, meski aku berusaha menjelaskan bahwa hari ini aku tiba-tiba harus ketemu klien dari Prancis.”
“Oh… kamu bertengkar soal itu ya…”
“Ya, dan hal lain soal… bahwa menurut Karin aku lebih mementingkan pekerjaan daripada dirinya. Hhhhh… aku tidak bisa menyelami jalan pikiran Karin… Padahal semua ini demi dirinya juga…”
Kimi hanya mengangguk, merasakan beban di balik kata-kata Adi. Sementara itu, mereka terus melaju beralih ke Jalan Raya Hankam, bajaj yang mereka tumpangi masih menarik perhatian beberapa pengendara lain yang tak bisa menahan senyum saat melihat hiasan-hiasan karnaval di atapnya.
Kimi dan Adi diam tak bereaksi. Mereka tenggelam dalam keheningan. Keheningan yang menyiratkan lebih banyak hal tak terucapkan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
Tiba-tiba, sebuah kendaraan bermotor melaju cepat melewati mereka. Laki-laki mengendarainya, dan seorang perempuan di belakang memegang kamera yang terpasang pada tongkat anti getar. Dari cara mereka bergerak dan tertawa-tawa, tampaknya mereka adalah vlogger yang sedang mencari konten menarik untuk direkam.
Saat melihat bajaj Adi yang penuh dengan hiasan warna-warni dan terlihat mencolok, mereka langsung tertarik dan memutuskan untuk merekamnya.
Kamera pun mengarah ke bajaj Adi, dan tawa kedua vlogger itu semakin keras. Mereka terlihat begitu antusias, seolah-olah menemukan konten yang sangat menarik. Salah satu dari mereka melambai, meminta Adi untuk menghentikan bajaj. Meski sedikit ragu, Adi akhirnya menepikan bajajnya, dan mereka pun mulai menghampiri.
"Wow, bajaj siapa nih? Keren banget! Kayak baru pulang dari karnaval, ya!" seru si laki-laki sambil tertawa dan mendekat. Perempuan yang memegang kamera ikut tertawa, merekam setiap sudut bajaj dengan detail.
"Mas, boleh kita wawancara sedikit? Lagi ada acara apa ini? Kok bajajnya unik banget!" tanya si laki-laki sambil mengarahkan mikrofon kecil ke arah Adi.
Adi, yang sebenarnya merasa sedikit canggung, mencoba untuk tetap tenang. "Ehm, kami... habis bertugas di TMII," jawab Adi dengan nada ragu. "Tapi ya sudahlah, lupakan saja. Sekarang kami sedang dalam misi mendesak, jadi maaf, maaaaf banget, kami nggak bisa berlama-lama."
Dua orang vlogger itu tampak sedikit kecewa mendengar jawaban Adi. Mereka berharap bisa mendapatkan lebih banyak konten, namun menyadari bahwa Adi dan Kimi tampaknya tidak ingin terlalu lama berbicara. "Oh, gitu ya. Sayang banget, padahal keren banget nih buat di-upload," gumam si laki-laki dengan nada kecewa.
"Ya udah, Mas. Hati-hati di jalan ya. Semoga misinya sukses!" tambahnya sambil melambaikan tangan, lalu mereka pun melanjutkan perjalanan, meninggalkan Adi dan Kimi yang kembali menghela napas lega. Bajaj pun melaju lagi, melintasi Jalan Parpostel di Kota Bekasi ke arah tujuan yang tak jauh lagi.
Saat itu mereka melihat beberapa truk sampah pulang pergi. Adi dan Kimi pun segera berkonsentrasi memperhatikan tiap truk sampah dengan ciri-ciri sesuai petunjuk. Mereka mulai memperhatikan truk-truk sampah yang melintas.
Ada yang kosong, ada juga yang membawa beban bau tak sedap dan kotoran menyelimuti badan truk. Adi dan Kimi berkonsentrasi penuh, mata mereka tajam mengamati setiap detail truk yang lewat, terutama perbedaan pelek depan dan belakangnya.
"Silver depan, hitam belakang... betul kan, itu yang dibilang si pendorong gerobak tadi pagi?" tanya Adi, berusaha mengingat. Matanya berusaha tidak melewatkan satu pun truk yang melaju di hadapan mereka.
"Ya, betul, Di. Semoga saja cepet ditemukan," sahut Kimi sambil terus memandang ke jalan. Meski suaranya berusaha tenang, jelas terlihat bahwa ia juga merasa cemas.
Truk demi truk berlalu, tapi tak satu pun yang sesuai dengan ciri-ciri yang mereka cari. Pekikan mesin truk yang bising menambah kepeningan di kepala mereka.
Adi mulai terlihat tertekan, tangannya menggenggam setang bajaj dengan kencang. "Hhhh… percuma saja Kimi, kita hanya menghabiskan waktu, tapi nggak ada satupun truk yang sesuai…" keluh Adi dengan nada putus asa.
Kimi menoleh, mencoba menenangkan. "Jangan nyerah, Di. Kita belum sampai di Bantar Gebang, mungkin truk itu ada di sana. Atau mungkin petugas di sana sempet melihat truk dengan ciri-ciri itu. Kalau kita tak menemukannya sendiri, mungkin nanti kita bisa bertanya pada orang-orang di sana, dan setelah itu mungkin… kita bisa tahu sampahnya dibuang di sebelah mana," saran Kimi, meski dengan sedikit perasaan ragu.
Adi menatap Kimi dengan mata yang sedikit murung. "Baiklah… kamu benar. Hhhh… ya sudah, kita lanjut deh. Tapi tolong kamu bantu perhatikan ya, setiap truk yang pulang-pergi nanti. Siapa tahu bisa ditemukan sebelum kita sampai di Bantar Gebang." Kata Adi setengah berteriak melawan suara bising lalu lalang kendaraan.
“Oke Di, insyaAllah nanti aku perhatikan,” jawab Kimi berusaha menguatkan Adi.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.