Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si pembuat onar
Saat Naya hampir mencapai mobil di mana Widuri sudah menunggunya, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kejauhan.
"Kak Naya!" suara itu memanggil dengan keras. Naya menoleh, dan melihat adiknya, Andre, berlari tergesa-gesa menghampirinya.
Naya mengerutkan kening, merasa bingung kenapa Andre belum kembali ke kelas. Setibanya di dekat mobil, Andre langsung membuka pintu belakang dan masuk ke dalam dengan santai, seolah-olah ia sudah selesai dengan semua urusan sekolahnya.
"Kak, aku ikut pulang ke rumahmu, ya!" Andre berkata dengan wajah penuh harap, meski jelas dia mencoba menghindari pelajaran terakhir di sekolah.
Naya yang sudah kesal dengan masalah yang terjadi pagi ini, menatap adiknya dengan tajam. "Kau gila? Sekolah belum selesai tapi kau mau pulang? Kau pikir ini liburan atau apa?" omelnya dengan nada penuh frustrasi.
Andre tersenyum, mencoba meredakan suasana dengan candaannya. "Ayolah, Kak. Lagi pula, 20 menit lagi juga bel pulang. Tidak akan ada yang menyadari kalau aku pergi sekarang," jawab Andre dengan sikap santai, mengelak dari tanggung jawabnya.
Widuri yang duduk di kursi pengemudi mengangkat alisnya sambil menahan tawa melihat dinamika kakak beradik itu. "Serius, Andre? Masalah baru selesai dan kamu malah mau kabur dari sekolah?" Widuri berkomentar, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Naya memutar matanya dengan frustrasi, lalu menoleh kembali ke Andre. "Dengar, Andre. Kamu baru saja terlibat perkelahian dan sekarang kamu mau bolos? Apa kamu mau membuat masalah lagi?"
Andre mendesah pelan, terlihat seolah tidak menganggap serius teguran kakaknya. "Kak, ini cuma 20 menit, nggak akan ada yang merhatiin. Lagipula, aku juga udah capek sama sekolah hari ini."
Naya menatap adiknya dengan tegas, namun perlahan rasa marahnya mulai mereda. Meskipun dia kesal, Naya tahu Andre mungkin butuh waktu untuk menjernihkan pikirannya setelah semua yang terjadi. Namun tetap saja, bolos sekolah bukanlah solusinya.
"Kalau sampai ketahuan kamu kabur dari sekolah lagi, aku tidak akan membelamu, Andre. Ini kali terakhir aku biarkan kamu pulang lebih awal," kata Naya akhirnya, menyerah pada desakan adiknya.
Andre tersenyum lebar, merasa menang dalam situasi ini. "Makasih, Kak! Aku janji nggak bakal buat masalah lagi."
Widuri menghela napas panjang, lalu mulai menyalakan mesin mobil. "Baiklah, kita pulang. Tapi Andre, serius, jangan bikin hidup kakakmu tambah susah, ya."
Andre tertawa kecil dari kursi belakang. "Tenang aja, aku bakal jadi anak baik mulai sekarang."
Meski Naya masih merasa kesal, ia berharap Andre benar-benar belajar dari kejadian ini. Perjalanan pulang pun dimulai, dengan Widuri mengemudi sementara Naya merenung di kursi depan, berpikir tentang tanggung jawab yang semakin bertambah dalam hidupnya. Bagaimanapun, Naya tahu bahwa meski kesal, ia tetap akan selalu ada untuk adiknya, tak peduli betapa sulitnya situasi yang harus mereka hadapi.
Setibanya di rumah, Naya langsung melepaskan sepatunya dengan cepat dan berjalan ke ruang tamu. Ia berbalik, menatap Andre yang mengikuti di belakangnya dengan wajah tak bersalah. Naya sudah menahan diri sejak dari sekolah, tapi sekarang ia tak bisa lagi menunda. Ada sesuatu yang perlu dibicarakan, dan ia tidak akan membiarkan masalah ini berlalu begitu saja.
"Andre, duduk," perintah Naya tegas sambil menunjuk ke sofa. Andre mematuhi dengan enggan, tahu bahwa sesi interogasi dari kakaknya akan segera dimulai.
"Jadi, sekarang ceritakan padaku," Naya memulai sambil duduk di kursi seberangnya, menatap adiknya dengan tajam. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu bisa sampai berkelahi dengan adiknya Dante? Apa masalahnya?"
Andre mendesah pelan, tidak suka dengan suasana ini. "Kak, itu bukan salahku. Yuda yang mulai duluan."
Naya menatapnya lebih tajam. "Bukan itu pertanyaanku. Aku mau tahu kenapa kalian berkelahi. Masalah apa yang bisa membuat kalian sampai adu fisik?"
Andre tampak ragu sejenak, menggeser tubuhnya di atas sofa, seolah mencari cara untuk menghindar dari topik ini. Namun, melihat tatapan serius Naya, ia tahu tak ada gunanya berbohong.
"Ini soal... cewek, Kak," akhirnya Andre mengaku dengan enggan. "Yuda suka sama cewek yang sama dengan aku. Namanya Anisa."
Naya langsung menghela napas panjang, tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. "Jadi kamu berkelahi hanya karena cewek?" Nada suaranya terdengar lebih frustasi daripada marah. "Kamu tahu, Andre, itu masalah yang sangat sepele. Ada banyak cara lain untuk menyelesaikan masalah seperti itu tanpa harus pakai kekerasan."
Andre menggeleng, tampaknya tidak terima dengan penilaian Naya. "Aku nggak mulai, Kak. Yuda yang nyolot duluan. Dia yang nuduh aku mendekati Anisa padahal aku bahkan belum bikin gerakan apa-apa. Terus dia yang mulai mendorong aku, jadi aku cuma membela diri."
Naya memijat pelipisnya, mencoba mencerna situasi. "Dan kamu pikir itu alasan yang cukup untuk berkelahi di sekolah? Bukannya lebih baik kamu abaikan saja? Bertengkar soal wanita di usia kamu, Andre... itu benar-benar tidak perlu."
"Ya, tapi aku nggak salah, Kak!" Andre bersikeras, suaranya meninggi. "Dia yang terlalu posesif sama Anisa, padahal cewek itu juga punya hak buat milih. Aku nggak bakal diam aja kalau Yuda mau ngontrol segalanya. Aku nggak salah di sini."
Naya menatap adiknya dengan campuran kelelahan dan kekhawatiran. Meskipun dia memahami semangat Andre, dia juga tahu bahwa masalah ini bisa semakin rumit jika tidak diselesaikan dengan kepala dingin. Apalagi, mengingat bahwa Yuda adalah adik dari Dante—seseorang yang penting dalam karier Naya saat ini—situasi ini bisa memengaruhi lebih dari sekadar kehidupan sekolah Andre.
"Andre, dengar," Naya akhirnya berkata dengan nada lebih lembut. "Aku paham kamu merasa tidak salah, tapi berkelahi bukan solusi. Ini tidak hanya membuat masalahmu lebih besar, tapi juga bisa membuat situasi jadi buruk untuk banyak orang, kau mengalah saja, itu tidak akan membuat kau jadi kalah" ujar Naya tidak ingin adiknya terlibat jauh.
Andre mendesah, terlihat sedikit menyesal. "Kakak, tidak mengerti masalanya, dia yang salah, aku orang pertama yang mendekati Anisa, tapi dia malah ikut mendekatinya" ujar Andre kesal
Naya mendekati Andre, duduk di sampingnya dan menepuk bahunya pelan. "Aku mengerti, tapi kita harus cari cara lain untuk menyelesaikan ini. Jangan biarkan masalah kecil seperti ini menghancurkan hubungan atau kesempatan yang lebih besar. Aku harap kamu bisa lebih dewasa, Andre. Kalau ada masalah lagi, bicarakan, jangan pakai tanganmu."
Andre mengangguk pelan, meskipun ia masih terlihat sedikit kesal. "Iya, Kak. Aku bakal lebih sabar. Tapi serius, Yuda itu nyebelin banget."
Naya tertawa kecil, meskipun ia tahu masalah ini belum sepenuhnya selesai. "Oke, asal kamu janji nggak bakal terlibat perkelahian lagi. Kalau sampai terjadi lagi, aku nggak akan bisa menolongmu."
Andre tersenyum tipis dan mengangguk, merasa sedikit lega setelah berbicara dengan kakaknya. "Aku janji, Kak."
Meskipun masalah ini telah sedikit mereda, Naya tahu bahwa ada hal-hal yang lebih dalam yang perlu diselesaikan, terutama mengingat hubungan profesionalnya dengan Dante. Namun, untuk saat ini, dia hanya ingin memastikan Andre menghindari masalah lebih lanjut.
"Baiklah," kata Naya akhirnya, mengusap rambut Andre dengan lembut. "Sekarang masuk ke kamar, istirahat, dan jangan bikin masalah lagi."