Kesalahan di masa lalu membuat Maudy memiliki seorang anak.
Seiring bertambah usia, Jeri merindukan sosok seorang ayah.
"Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Maudy pada pria itu.
"Aku tidak mau!" tolaknya tegas.
"Kamu tahu, Jeri sangat menyukaimu!" jelas Maudy. Semua demi kebaikan dan kebahagiaan putranya, apapun akan dilakukannya.
"Aku tahu itu. Tapi, aku tidak suka mamanya!"
Akankah Maudy berhasil memberikan papa untuk Jeri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hai_Ayyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Kamu Berat
'Mak lampir datang!' batin Roni ketika melihat Maudy yang menatapnya tajam.
"Aku sudah jelas mengatakan padamu, untuk tidak mendekatiku lagi!" ucap Maudy menahan emosinya. Pria modus itu ternyata punya berbagai cara untuk terus mendekatinya. Padahal ia sudah menolak mentah-mentah.
"Nona, kamu salah paham!" Roni tidak menerima tuduhan tersebut.
"Papa yang mengajak Roni makan siang bersama, Maudy." Opa Agus ikut bicara. Memang ia yang memanggil Roni dan mengajak makan siang bersama.
"Pa, untuk apa mengajak dia makan siang bersama kalian?" tanya Maudy.
"Jeri tadi makan sama papa, ma. Kami makan ayam bakar, udang. Banyak deh, ma!" bocah kecil itu pun ikut bicara.
Maudy mendatangi anaknya dan akan meraih, tapi Jeri malah menjauh dan memeluk Roni.
"Jeri, ayo sama mama!" pintanya. Lagi-lagi putranya lengket dengan pria itu.
"Jeri mau sama papa, ma!" bocah itu mengeratkan pelukannya. Tidak mau melepaskan pria itu.
Maudy membuang nafasnya dengan kasar.
"Kenapa anakku bisa begitu dekat denganmu? Apa yang sudah kamu lakukan padanya?" tanya Maudy dengan nada kesal. Jika sudah bertemu Roni, putranya langsung lengket.
"Tidak ada yang kulakukan padanya. Aku juga bingung kenapa Jeri bisa dekat denganku!" jawab Roni membalas. Ia saja tidak tahu kenapa bocah itu begitu padanya.
"Mama, jangan marahi papa!" ucap Jeri mulai terisak. Papa dan mamanya selalu saja bertengkar.
"Mama tidak marahi om Roni, Jeri. Mama hanya bicara, nak!" Maudy membela diri. Ia malah dianggap begitu oleh Jeri.
"Papa, maafin mama ya. Papa jangan marah sama mama." Jeri mewakilkan mamanya meminta maaf. Ia tidak mau papanya pergi gara-gara sering di marahi mamanya.
"Mama harus sayang juga sama papa!" sambung Jeri kembali sambil mengusap air matanya.
Maudy memijat pelipisnya. Anaknya tah bicara apa. Ia malah disuruh menyayangi pria itu. Yang benar saja.
Roni pun kaget mendengar apa yang dikatakan anak itu.
Sementara papa dan mamanya Maudy senyum-senyum saja pada drama keluarga kecil itu.
Maudy kini melihat segit ke arah Roni. Pria itu pura-pura memasang wajah kaget seperti itu, padahal dalam hatinya pasti begitu senang karena merasa akan segera mendapatkan dirinya.
"Maudy, kamu sudah makan?" tanya opa Agus. Ia mengalihkan pembicaraan itu.
"Sudah, pa." jawab Maudy.
"Mari kita kembali ke kantor. Ayo, Ron!" ucap opa Agus kembali. Mereka telah selesai makan siang
"Biar aku saja yang menggendong Jeri!" Maudy akan meraih putranya.
Dan putranya malah makin mengeratkan pegangannya.
"Jeri mau sama papa!"
Maudy hanya dapat membuang nafasnya dengan kasar. Selalu putranya begitu. Seperti sudah dihipnotis pria itu.
Tak berapa lama mereka sampai di depan restauran.
"Ppa akan langsung kembali saja ke rumah. Kami akan pulang bersama Jeri." jelas opa Agus.
"Jeri, ayo kita pulang!" ajak oma Novia.
"Tapi, papa." ucapnya sambil melihati pria itu.
"Jeri pulang sama opa dan oma ya. Om mau kerja dulu." bujuk Roni. Setiap melihat wajah sedih Jeri, ia jadi tidak tega.
"Nanti Jeri boleh bertemu papa lagi, kan?" tanyanya berharap. Rasanya begitu enggan berpisah, takut papa Roni tidak akan menemuinya lagi.
Roni menganggukkan kepala pelan. Dan kini Jeri mau berpindah gendongan pada opanya.
"Aku akan pulang juga." ucap Maudy. Ia jadi malas kembali ke kantor.
"Kamu lanjut kerja saja!" ucap oma menolak Maudy untuk ikut. Akan membiarkan kedua orang itu.
"Roni, kami pulang dulu ya. Terima kasih untuk waktunya." nada bicara oma Novia begitu lembut pada Roni.
Mendengar itu membuat Maudy mencibir. Mamanya bicara begitu lembut pada pria itu, sedang dengannya malah pakai nada melengking.
"Terima kasih juga. Hati-hati, pak, bu." ucap Roni sedikit menundukkan kepala tanda hormat.
Opa, oma dan Jeri pulang bersama supir. Mereka melambaikan tangan pada kedua orang itu.
"Dadah, mama! Dadah, papa!" Jeri melambai-lambaikan tangan. Dan Roni ikut melambai.
Setelah mobil berlalu, Roni pun akan bergegas kembali ke kantor. Ia akan berjalan keluar pagar dan menunggu ojeknya di sana.
Tadi ke restauran ini ia naik mobil bersama Jeri dan opa omanya. Kini ia akan pulang sendiri ke kantor.
"Kamu mau ke mana? kita perlu bicara!" ucap Maudy yang kesal. Pria itu jalan begitu saja tanpa mengatakan sesuatu padanya.
"Hei, aku mau bicara denganmu!" sambung Maudy memanggil kembali.
Karena tidak direspon, Maudy pun mengejar pria itu. Ia perlu bicara dan memperingatkan.
Maudy setengah berlari mengejar pria itu, sepatu hak yang dipakainya begitu tinggi. Dan,
"Akhhh!" teriak Maudy. Ia terjatuh karena kakinya terpletok.
Mendengar teriakan, Roni pun berbalik dan melihat wanita kepedean itu sudah terduduk saja di jalan.
"Nona, kenapa kamu duduk di sini?" tanya Roni menghampirinya.
Maudy menunjukkan sepatu yang haknya sudah patah. Ia terjatuh, bukan sengaja memang ingin duduk di jalan.
"Kamu kenapa budek sih, dipanggili dari tadi nggak dengar!" ucap Maudy dengan nada sinis. Sepatu haknya patah lantaran mengejar pria itu.
"Kenapa anda memanggil saya?"
"Karena kita perlu bicara!"
"Maaf, nona. Aku tidak tertarik padamu!" Roni langsung menolak saja. Sudah pasti wanita itu akan mengatakan untuk tidak mendekatinya. Tah siapa juga yang mau mendekati wanita aneh itu.
Rasanya Maudy ingin menggigit pria itu. Menyebalkan sekali perkataannya.
"Bangkitlah, nona. Orang-orang melihatimu!" ucap Roni melihat sekitar.
Dan Maudy akan bangkit tapi tidak bisa. Ia terduduk kembali.
"Kakiku." Maudy memegangi kakinya. Rasanya sakit sekali.
Dengan terpaksa Roni membantunya berdiri. Ia memegangi wanita itu.
"Aku akan mengantarmu ke rumah sakit!" ucap Roni. Kaki wanita itu sedikit membengkak.
"Tidak mau! Aku mau pulang saja!" Maudy tidak mungkin kembali ke kantor dengan kaki kesakitan seperti ini.
"Akan ku panggilkan taksi!"
"Tidak. Aku bawa mobil!" Maudy tadi mengendarai mobil ke restauran ini.
Roni membuang nafasnya dengan kasar, ia kini memapah wanita yang melangkah dengan tertatih-tatih. Tah kapan mereka akan sampai ke parkiran restauran itu.
"Ka-kamu mau apa?" tanya Maudy kaget karena tiba-tiba Roni berjongkok.
"Naiklah!" pinta Roni. Ia akan menggendong wanita itu biar cepat.
"Ti-tidak usah! Aku bisa jalan!" tolak Maudy. Ia merasa tidak nyaman.
"Ayo, cepat! Aku mau kembali ke kantor, pekerjaanku masih sangat banyak, nona!" paksa Roni. Jika saja wanita itu bukan atasannya, sudah ia tinggal saja.
Jika sekarang ia meninggalkan Maudy, yakin sekali besok ia sudah dipecat wanita itu. Mana belum gajian lagi.
Beberapa saat kemudian,
Roni menggendong Maudy di punggung belakangnya menuju parkiran mobil.
Maudy menyembunyikan wajahnya, ia malu sekali. Orang-orang melihati mereka.
"A-apa aku berat?" tanya Maudy. Ia sebenarnya canggung digendong seperti ini.
"Iya, kamu sangat berat!" jawab Roni.
"Beraninya kamu bilang aku berat!" Maudy tidak terima dibilang begitu. Ia itu wanita langsing dan juga seksi.
"Kamu memang berat, nona. Keberatan dosa!" ledek Roni sambil tersenyum tipis.
"Apa kamu bilang?" Maudy pun mencekik leher pria itu.
.
.
.