Bertransmigrasi kedalam tubuh Tuan Muda di dalam novel.
Sebuah Novel Fantasy terbaik yang pernah ada di dalam sejarah.
Namun kasus terbaik disini hanyalah jika menjadi pembaca, akan menjadi sebaliknya jika harus terjebak di dalam novel tersebut.
Ini adalah kisah tentang seseorang yang terjebak di dalam novel terbaik, tetapi terburuk bagi dirinya karena harus terjebak di dalam novel tersebut.
Yang mau liat ilustrasi bisa ke IG : n1.merena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu Dan Anak.
Di sebuah gazebo yang tenang di tengah taman istana, aku dan ibuku duduk bersama. Taman ini begitu indah dengan bunga-bunga bermekaran, warna-warni kelopak mereka memancarkan aroma yang memikat, sementara angin sepoi-sepoi meniup lembut, membawa suara gemericik air dari kolam kecil di dekat kami. Suasana terasa magis, seolah dunia berhenti sejenak untuk memberi kami ruang bertemu kembali.
"Ronan, kamu... Ronan, kan?" Suara ibuku terdengar bergetar, penuh kerinduan yang tak terbendung. Matanya dipenuhi air mata, namun pandangannya tetap lembut. Dengan kedua tangannya yang halus, dia menyentuh wajahku, mengusap pipiku dengan jari-jarinya yang gemetar. Aku bisa merasakan setiap emosi yang dia rasakan melalui sentuhan itu. Hangat dan penuh cinta.
Aku meraih tangannya dengan hati-hati, menenangkannya dengan sentuhan lembutku. "Tentu saja, Bu. Aku Ronan, pangeran kecilmu," bisikku lembut sambil tersenyum. Senyumku tidak hanya untuk menenangkan hatinya, tapi juga untuk menenangkan diriku sendiri—untuk meyakinkan bahwa pertemuan ini nyata.
Air mata yang ditahan ibuku akhirnya tumpah, dia memelukku erat, lebih erat dari yang pernah aku rasakan sebelumnya. Pelukan itu bukan sekadar sebuah sentuhan fisik, melainkan pelukan yang dipenuhi dengan segala kerinduan yang terkumpul selama bertahun-tahun. Tangannya mengelus rambutku dengan lembut, sementara isak tangisnya terdengar lembut di telingaku, namun terasa begitu dalam di hati.
Aku memeluknya balik dengan kuat, ingin memastikan bahwa dia tahu aku merasakan hal yang sama. Kami terdiam, larut dalam momen itu, membiarkan setiap detik berlalu tanpa peduli pada dunia luar. Taman istana yang biasanya ramai kini seolah menjadi saksi bisu reuni kami, hanya suara angin dan burung-burung yang terdengar dari kejauhan.
Setelah beberapa lama, ibuku perlahan melepaskan pelukannya, namun dia tetap menatapku dengan sorot mata yang dalam dan tak tergantikan. Aku bisa melihat, ada rasa takut di matanya—takut aku akan pergi meninggalkannya.
"Tenang saja, Bu. Aku tidak akan pergi," ucapku pelan dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Ibuku tersenyum lembut, mengusap matanya yang basah. "Ibu tahu, tapi ibu hanya ingin melihat pangeran kecil ibu lebih lama," katanya sambil tersenyum, meski air matanya masih mengalir di pipinya. Senyumnya kini lebih tenang, seolah dia akhirnya bisa bernapas lega setelah sekian lama menahan beban di dadanya.
Aku tersenyum kecil, berusaha ikut meringankan suasana. "Lihat, siapa yang kecil? Aku sudah dewasa sekarang," candaku sambil mengangkat bahu, memperlihatkan tubuhku yang telah bertumbuh jauh dari bayangan anak kecil yang mungkin ada di benak ibuku.
"Hihihi... itu benar. Pangeran ibu sudah dewasa," balasnya sambil tertawa kecil, wajahnya kini jauh lebih cerah dari sebelumnya. Meski begitu, sorot mata penuh kasih itu tetap melekat, seolah-olah dia ingin mengingat setiap detail tentangku yang mungkin dia lewatkan selama bertahun-tahun.
Aku tertawa kecil bersama dengannya, tapi kemudian aku menggoda lagi. "Tapi kalau diperhatikan, sekarang ibu yang terlihat seperti anak kecil," candaku, mengangkat alis sambil menyeringai.
Ibuku tertawa kecil, senyumnya semakin lebar. "Kalau begitu, biarkan ibu jadi anak kecil lagi, supaya pangeran ibu bisa menjemput dan melindungi ibu," jawabnya, kali ini dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah kebahagiaannya tak bisa lagi ditahan.
Kami tertawa bersama untuk beberapa saat, tawa yang terdengar ringan namun penuh makna. Rasanya seperti kami kembali ke masa lalu—masa di mana aku masih seorang anak kecil yang selalu dikelilingi oleh cinta dan perhatian ibuku.
Setelah tawa kami mereda, ibuku menatapku dengan serius, meski senyum itu masih menghiasi wajahnya. "Bagaimana kabar Damian?" tanyanya akhirnya, nadanya serius namun lembut.
Aku menghela napas dan tersenyum kecil, memutar mataku seolah mengingat-ingat semua pelatihan keras yang telah aku lalui. "Dia baik-baik saja. Bahkan terlalu baik sampai dia bisa menghajarku dengan semangat setiap hari," jawabku sambil mengeluh sedikit, meski ada nada bangga di dalam suaraku.
"Kenapa dia menghajar pangeran kecil ibu?" Suara ibuku terdengar seperti ibu singa yang siap melindungi anaknya dari bahaya. Sorot matanya berubah tajam, meskipun dia tetap lembut.
"Katanya, kalau aku ingin bertemu dengan ibu, aku harus jadi lebih kuat. Jadi, dia melatihku dengan keras," jawabku sambil bersandar di bahunya, seolah mengadu seperti anak kecil yang baru saja mendapat hukuman.
Ibuku mengusap kepalaku dengan penuh kasih, senyum tipis muncul di bibirnya. "Berani sekali dia. Kalau ibu bertemu dengannya, ibu pasti akan menghajarnya juga. Dengan sangat keras," katanya dengan nada tegas, membuat kepalan tangan kecil untuk menunjukkan keseriusannya.
"Tolong, Bu, lakukan itu! Hajar dia dengan keras!" seruku penuh semangat, merasa bahwa kali ini aku punya sekutu yang kuat.
Dalam hati, aku tertawa penuh kemenangan, membayangkan ekspresi terkejut ayah ketika mengetahui bahwa ibuku berada di pihakku. Oh, betapa menyenangkannya ini akan jadi.
Namun tiba-tiba, suara keroncongan dari perutku terdengar keras, memecah keheningan. Aku merasa sedikit malu, menyadari betapa lamanya aku belum makan. "Ah..." Aku tersenyum kikuk, menggaruk kepala seolah mencoba menutupi rasa maluku.
Ibuku tersenyum lembut, menahan tawanya. "Sepertinya pangeran ibu kelaparan," katanya dengan nada hangat. "Mari ikut ibu ke kamar. Ibu akan memasak banyak makanan untukmu. Kau pasti sangat lapar," lanjutnya, berdiri sambil menarik tanganku dengan lembut.
Aku tertawa kecil dan mengangguk, membiarkan diriku ditarik. "Baiklah, Bu," jawabku, mengikuti langkahnya sambil tersenyum, merasa seperti anak kecil yang kembali pulang ke pangkuan ibunya.
the darkest mana
shadow mana
masih ada lagi tapi 2 itu aja cukup