Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Dingin dan Rapuh
Keluar dari kamar, pemandangan malam tampak begitu indah dan tenang, meski baru bisa ku lihat dari kaca jendela. Langit sedikit cerah serta udara terasa bersih. Sebab, di kejauhan sana, di sebelah barat cakrawala, mendung tebal menggantung, seakan mengancamku.
"Pak?" ku cari Pak Bima di ruang tamu. Tempat yang semula kami sepakati untuk berkumpul jika sudah siap.
Dia pasti sudah menunggu ku di sana. Tapi, astaga, sesampainya di ruang tamu ternyata ruangan itu kosong. Dimana Pak Bima? Apakah masih belum siap?
Aku khawatir terjadi sesuatu yang mengganggunya. Takut keributan dengan mantan pacarnya itu sungguh merusak suasana hati dan menambah pikirannya. Gelisah menguasaiku. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa selain berdiri bengong di dekat tangga, di panggang rasa cemas.
Di saat itulah tiba-tiba muncul telapak tangan dari belakangku dan menyentuh pundakku sekilas.
"Akhirnya kamu siap juga."
"Loh, Pak Bima sudah ada sejak kapan?"
"Dari tadi. Aku sudah tunggu kamu hampir lima belas menit."
"Ya ampun, maaf Pak. Saya tadi mandi dulu sekalian siapkan pakaian Lily di kamar."
"Tidak, tidak."
Dia tersenyum, manis sekali. Seolah kejadian tadi bukan apa-apa baginya. Padahal terakhir yang aku dan Lily katakan bahwa Pak Bima akan selalu sedih tiap Mbak Maya datang. Apalagi tadi dia menangis walau cuma sebentar.
"Kenapa diam? Memang ada lagi yang belum siap?"
"Tidak, tidak. Semua sudah siap Pak, selimut juga sudah saya bawa. Saya diam karena tunggu Pak Bima yang jalan duluan."
"Ada-ada saja kamu ini, ayo jalan."
Aku cuma mengangguk dan kulempar senyum terlebarku untuknya karena akhirnya aku lebih tenang, dia tidak berpenampilan kecut karena masalah pribadinya tadi.
Sampainya di rumah sakit, Pak Bima memarkir mobilnya tepat di barisan paling ujung. Nampaknya, pengunjung datang tak henti-hentinya, atau memang pasien rumah sakit yang sedang banyak? Semoga mereka lekas diberikan kesehatan.
Sambil berjalan, sesekali kupandangi Pak Bima. Dan dia balik menatapku, tapi dengan mimik dingin, untuk melihat reaksi ku.
"Apa yang kamu lihat?" tanyanya.
"Pak Bima."
"Ada apa dengan ku? Ada yang lucu?"
"Tidak ada."
"Terus kenapa?"
"Ehm----" aku kebingungan. Beruntung, di tengah pembicaraan, kami akhirnya sampai di depan kamar Lily. Nampaknya dokter masih memeriksa, dan tak lama keluar membawa nakas berisi obat-obatan.
"Keadaannya sudah membaik, tapi masih harus diawasi dulu sampai besok."
"Oke," jawab Pak Bima, kemudian masuk ke kamar Lily, aku menyusul dari belakang.
Di dalam ruangan rupanya Lily menyambut kami dengan kekesalan, layaknya anak kecil pada umumnya. Dan aku tahu, dia memang akan bereaksi seperti itu.
"Kenapa lama?" sahutnya.
"Maaf, ya." Jawab Pak Bima setelah menarik kursi di samping ranjang dan mendudukinya. Sementara aku menyusun pakaian dan meletakkan tas di dalam lemari.
"Papa tunggu Mama mandi dulu, kasihan dari tadi belum mandi. Bau!" Lanjutnya sembari mencemoohku sambil tangannya mengibas-ngibas di depan wajah, seolah orang yang menderita di tong sampah.
Bibir ku sontak mengerucut. "Apa sih Pak, bawa-bawa saya terus."
"Duh, kamu ini. Berisik sekali. Lihat, kamu malah terkesan lucu. Tapi, sudahlah, kamu mau mandi ataupun tidak kami berdua Lily tetap sayang padamu. Sayang banget ...." ujarnya, membuatku tersipu malu. Walau cuma bohong, sekedar untuk memperkuat peran keluarga palsu di depan anaknya.
"Eh, makanan Lily sudah ada nih, mau makan sekarang?" Lanjutnya seraya membuka tutup kotak makanan di meja.
"Terserah Papa."
"Oke. Papa suapi untuk Lily. Mau?"
"Mau."
Sementara gumpalan awan dari tepian cakrawala kian membentuk mendung tebal, Lily tertidur. Makannya memang tidak habis, tapi lumayan untuk ukuran orang sakit.
"Kamu mau makan apa?"
"Hah?"
"Saya tanya," Pak Bima mengulangi kata-katanya. "Kamu mau makan apa?"
"Nasi, nasi goreng. Atau sandwich seperti yang kubuatkan waktu itu? Lanjutnya sambil mengelus-elus kening Lily.
"Samakan dengan punya Bapak saja."
"Apa, ya?" dia berpikir sejenak, terus mengelus kening Lily. "Oh atau ini saja, jus jeruk dan nasi ayam bakar."
"Boleh," jawabku, kemudian dia pergi dari kamar menuju ke kantin rumah sakit.
Aku menatap kepergiannya dan ditelan kesepian, dan entah sejak kapan aku merasa demikian. Seolah aku sudah terbiasa dengan kehadiran mereka di sisi ku, dan kalau salah satunya pergi aku akan menderita dinginnya sepi.
Kulihat keluar jendela, memandang pada langit yang temaram penuh awan kelabu. Mendung memenuhi malam, bintang-bintang tenggelam di balik kabut yang menebal. Di tengah semua itu, aku kepikiran, murung dan gelisah; tentang keadaan Pak Bima. Meski titik jelas telah kutemukan : dia sudah menutup lembar hidupnya dengan Mbak Maya, dan hubungan mereka berakhir bukan tanpa alasan, mengingat Pak Bima masih mencintai mantannya itu.
"Bagaimana ya perasaan Pak Bima sekarang?" Aku menggumam. "Keributan tadi pasti sangat mengganggu pikirannya."
"Pikiran siapa?"
Mendadak dia datang, muncul tepat di belakangku. Persis seperti siluman yang siap menghantui. Aku lantas menoleh; dia datang sambil menenteng dua bungkus plastik makanan.
"Pak, bikin kaget saja!"
"Kamu melamun?"
"Tidak."
"Nih, minum jusnya, biar pikiranmu segar. Jangan diam melamun seperti itu."
Aku mengambil jus jeruk ku. Lezat sekali, tidak seperti buatanku. Kadang kemanisan, kadang kemasaman.
"Pak Bima tidak makan?"
"Sudah," jawabnya. "Tadi langsung makan di sana sambil tunggu es jeruk dibungkus."
"Pak Bima baik-baik saja?"
Aku menyesali pertanyaanku, malu sekali. Dia mengernyit, meski kali ini mukanya tidak menyebalkan seperti biasanya. Sementara aku kembali terdiam seperti semula, hanya kali ini lebih grogi dan gengsi.
"Seperti yang kamu lihat, Saya tidak sedang sekarat."
"Bukan itu.."
"Terus apa?"
Perasaannya ... Maksudku.
"Tahu, ah." Aku menggerutu. "Terserah kata Pak Bima saja."
...****************...
Selain bisa berpura-pura jadi Mama, aku juga ternyata bisa berpura-pura tidur. Sialnya, sudah hampir jam dua belas malam, mataku masih enggan lelap. Seolah ada banyak hal yang mengusikku, dan apakah itu? Ya, jawabannya tetap sama. Aku pun ragu.
Aku tidur di sofa dekat jendela, sedangkan Pak Bima duduk di kursi samping ranjang Lily. Mataku mengerjap-ngerjap menyaksikan sosok majikanku yang tinggi besar di sana. Kupikir tadinya dia tidur, ternyata tiba-tiba bangun dari kursi dan keluar kamar.
Malam begitu tenteram dalam keagungannya, rupanya hujan telah reda. Aku bangkit dari sofa.
Aku memutuskan keluar, mengikuti Pak Bima. Kupikir, dia sedang mencari udara segar, sama seperti ku, mungkin kesusahan tidur.
Lorong rumah sakit ternyata sesepi ini kalau malam. Kamar Lily di lantai tiga, jadi tidak sepadat di lantai satu. Di ujung lorong, tepatnya di balkon luar kudapati sosok Pak Bima di sana. Dia melamun, menatap langit yang legam dengan sayu.
"Pak ..."
Kusapa dia, tapi dengan suara super pelan sebab entah bagaimana malam ini aku merasa ketakutan dengan Pak Bima.
Sambil menyandarkan tangan di tiang balkon, Pak Bima merokok. Sungguh tak kuduga, sebab ini pertama kalinya kulihat ia menghisap tembakau.
"Pak ..."
"Kenapa keluar?"
Suara Pak Bima berubah total. Jauh lebih berat, sementara ekspresinya menjjadi lebih dingin. Matanya yang tajam menatap ku dengan cahaya keperakan yang menakutkan.
Aku menelan ludah dengan susah payah. "Iya, Pak." Mendadak aku menjadi sangat hormat padanya, tidak sesantai biasanya.
Pak Bima kembali mengisap rokoknya, pelan dan tenang. Lalu dia buang puntung rokok di lantai balkon dan menginjak--injak apinya sampai mati.
"Bukannya tidak boleh merokok di rumah sakit ya, Pak?"
"Sudah kumatikan."
"Pak Bima baik-baik saja?"
Kami saling bertatapan lagi, saling bertanya-tanya barangkali ada sesuatu yang tak terduga. Pak Bima tidak menjawab pertanyaanku, tapi dia mendekat.
Dengan tanpa ragu, dia menundukkan kepalanya di bahuku. Wajahnya yang tampan bersembunyi di atas pundakku yang keras. Tubuhnya yang tinggi besar bersandar pada tubuhku yang lebih pendek dua puluh lima senti darinya.
Inikah kamu, Pak Bima, begitu rapuh dibalik keperkasaan dan ketegaran yang kamu tunjukkan seharian inii di depanku dan Lily.
"Kamu ini... Bertanya itu terus..." bisiknya.
Langit kian temaram. Sebuah bintang yang sendiri berjalan merapat ke arah kerumunan bintang di sekitarnya. Bintang itu perlahan-lahan berbinar-binar dan tampak semakin tegar pada orbitnya di tengah alam semesta yang demikian luas dan gelap. Munggkin manusia tak jauh beda dari bintang itu. Setiap manusia harus berbagi segala apa yang dirasakannya, agar semakin kokoh dan kuat.
Berbagi dengan orang lain tak berarti mengurangi kesedihan, melainkan sekadar agar tidak terlalu pengap dan berat menanggung nasib yang dirasakan.
Itulah yang saat ini mungkin tengah dilakukan Pak Bima. Meski bibirnya terkatup rapat, jauh di dalam hatinya aku tahu dia rapuh.