Terjebak dalam kesalahpahaman di masa lalu, menyebabkan Lauren dan Ethan seperti tengah bermain kejar-kejaran di beberapa tahun hidup mereka. Lauren yang mengira dirinya begitu dibenci Ethan, dan Ethan yang sedari dulu hingga kini tak mengerti akan perasaannya terhadap Lauren. Berbagai macam cara Lauren usahakan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu, namun berbagai macam cara pula Ethan menghindari itu semua. Hingga sampai pada kejadian-kejadian yang membuat kedua orang itu akhirnya saling mengetahui kebenaran akan kesalahpahaman mereka selama ini.
“Lo bakal balik kan?” Ethan Arkananta.
“Ke mana pun gue pergi, gue bakal tetap balik ke lo.” Lauren Winata.
Bagaimana lika-liku kisah kejar-kejaran Lauren dan Ethan? Apakah pada akhirnya mereka akan bersama? Apakah ada kisah lain yang mengiringi kisah kejar-kejaran mereka?
Mari ikuti cerita ini untuk menjawab rasa penasaran kalian. Selamat membaca dan menikmati. Jangan lupa subscribe untuk tahu setiap kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Choi Jaeyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Dia?
Malam ini seperti biasanya, sirkuit balapan akan dipenuhi oleh orang-orang yang akan menyaksikan pertandingan pembalap favoritnya. Seminggu yang lalu, pembalap yang di favoritkan semua orang itu sudah memenangkan pertandingan dan pasti hasilnya sangat memuaskan bagi semua orang yang menyaksikan.
Kemudian malam ini dia pun kembali ikut bertanding karena mendapat informasi dari manajernya bahwa ada yang kembali menantangnya untuk balapan. Hal itu tentu saja dia terima dengan senang hati, selama orang itu menantangnya secara baik-baik, kenapa tidak. Toh, jika dia memenangkan pertandingan dia akan mendapat komisi yang cukup besar.
Berbicara tentang pembalap favorit itu, untuk saat ini para penonton belum melihat keberadaannya, baik itu di paddock area ataupun di pinggir jalur. Memang benar di sana, sudah ada motor sport nya yang terparkir rapi dan sedang dipersiapkan oleh beberapa orang untuk bertanding nanti. Tetapi pemiliki motor sport itulah yang dicari semua penonton, entah kenapa pembalap itu sama sekali belum menampakkan dirinya di sirkuit balap.
Sementara semua orang tengah mencari keberadaannya, gadis itu malah mengasingkan dirinya dari sirkuit balap. Saat ini dia berada di bawah pohon yang berada tak jauh dari sirkuit balap yang sudah dipenuhi banyak orang itu.
Tak seperti biasanya, malam ini dia sedikit gelisah sembari memikirkan hal yang akhir-akhir ini terus bergentayangan di kepalanya. Karena itu pula, dia terpaksa meminjam sepeda milik staff yang bekerja di area balap tersebut, dan di sinilah dia sekarang, duduk santai di bawah pohon dengan tangannya yang memegang rokok elektrik.
Padahal waktu untuk bertanding sebentar lagi akan dimulai, tapi hal itu sama sekali tak mengusik ketenangan yang dibuat oleh Lauren. Jika dia benar-benar harus bertanding malam ini, setidaknya dia harus memberi dirinya waktu untuk merasa tenang walau hanya sebentar.
“Sialan. Kenapa gue refleks bilang gitu sih, ke dia.”
Lauren mengacak rambutnya kasar, dia benar-benar merasa frustasi saat ini. Niat hati ingin mengasingkan diri untuk menenangkan dirinya, ternyata tak semudah itu terwujud. Rupanya Lauren masih mengingat kalimat yang baru dia ucapkan beberapa hari yang lalu, dan kalimat itulah yang menyebabkan dirinya seperti ini sekarang. Dia merasa karena kalimatnya itu, dia menjadi terlihat sangat lemah di mata Ethan.
Tidak seharusnya dia menunjukkan sisi lemahnya karena sikap laki-laki itu, jika sudah begitu Ethan sudah pasti tersenyum bangga akan sikapnya selama ini, karena sudah berhasil membuatnya sedikit menderita.
Drrrt drrrt drrrt
Serasa-rasa Lauren ingin mengumpat saat ini juga, kenapa harus ponselnya itu tiba-tiba berdering sekarang. Tanpa melihat siapa yang sudah meneleponnya itu, Lauren sudah tahu akan sosok dibalik panggilan tersebut. Seketika dia menyesali keputusannya yang menerima tantangan balapan malam ini, sebab sekarang dia sangat ingin melarikan dirinya dari semua orang terutama manajernya sendiri.
“Lo ilang ke mana, kampret?!”
Lauren refleks menjauhkan ponselnya itu, suara nyaring itu sungguh memenuhi telinganya dan hampir membuatnya berdengung jika dibiarkan begitu saja. Padahal dia sudah yakin tidak menggunakan pengeras suara saat mengangkat panggilan itu, tetapi anehnya suara di seberang sana sangat menggema dengan kerasnya.
“Gue nggak ilang kok.”
“Kalo nggak ilang, trus di mana? Gue sama sekali nggak liat lubang hidung lo di sini.”
Seharusnya batang hidung, kenapa Yara malah menyebut lubang hidung. Tak sadar lagi Lauren memutar bola matanya malas karena ucapan tak jelas sahabatnya itu. Lauren jadi berpikir keras, seandainya dia bisa mengembalikan waktu. Mungkin dia tidak akan memilih sahabatnya yang cerewet itu untuk menjadi manajer balapnya.
“Cepetan balik nggak lo! Bentar lagi lo mau balapan.”
“Ck, iya iya. Nih, gue mau balik,” mau tak mau Lauren berdiri dari posisi yang sebenarnya sudah sangat nyaman baginya. “Gue otw,” setelah berucap demikian, gadis itu pun memasukkan rokok elektriknya ke dalam saku jaketnya.
Tak lupa sebelum menunggangi sepeda yang dipinjamnya, gadis itu terlebih dahulu memakai topi dan maskernya yang tadi sempat dia lepaskan. Walaupun dia jauh dari sirkuit balap, Lauren tidak akan semudah itu membiarkan wajahnya terekspos begitu saja.
Karena tak ingin membuat Yara semakin mengamuk, Lauren pun segera mengayuh sepeda itu dengan kecepatan penuh. Gadis itu sangat fokus dengan sepedanya, sehingga dia tak menyadari keberadaan orang yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang pohon yang satunya lagi.
Sebenarnya posisi pohon tersebut tidak terlalu jauh dari pohon di mana Lauren berada. Tetapi karena suasana gelap di malam hari, menyebabkan Lauren benar-benar tidak menyadari orang tersebut.
“Tunggu sebentar lagi,” gumam orang tersebut seraya tersenyum miring menatap Lauren yang semakin jauh mengayuh sepedanya.
...*****...
Sudah tak terhitung berapa kali helaan napas gelisah itu terdengar, sedari masih berada di lantai dua hingga kini dirinya sudah berada di anak tangga terakhir. Tatapannya tak terlepas ke arah orang yang tengah duduk santai di ruang keluarga dengan ponsel yang berada di tangannya.
Tak seperti biasanya dia bersikap seperti ini, hanya untuk berbicara dengan orang itu tiba-tiba dia menjadi gelisah, hal itu memunculkan kebingungan di kepalanya. Apakah karena akhir-akhir ini dia memang jarang berbicara dengan itu? Sebab itulah dia menjadi gelisah, kalau-kalau orang itu tidak mau menghiraukan dirinya.
Tetapi dibalik itu semua, dia tak ingin menyerah. Sebab hal yang diperlukannya sekarang lebih penting daripada perasaan gelisah yang sekarang melandanya. Jika dia tidak mendapatkan hal yang diperlukan itu dari orang tersebut, dari mana lagi dia harus mendapatkannya.
Kini dia sudah berdiri di belakang sofa di mana orang itu duduk, cukup lama berdiri di tempatnya hingga akhirnya dia mengeluarkan suara perlahan. “Ehm, Nath.”
“Mau apa? Kalo ada perlu cepetan bilang, ngapain segala cosplay jadi pilar rumah lo di situ.”
Tubuh Ethan sedikit terlonjak, tentu saja saat ini dia begitu terkejut. Sebab dia tak menyangka kembarannya itu ternyata sudah menyadari kehadirannya sedari tadi. Padahal jika dilihat-lihat, laki-laki itu tengah memainkan game di ponselnya. Kenapa bisa dia tahu kalau Ethan berdiri di belakangnya tanpa menoleh sekali pun?
“Mau ngapain?” Nathan kembali bertanya setelah merasa tidak mendapat sahutan dari laki-laki di belakangnya itu.
“Gue mau minta kontak wa.”
Nathan mengernyitkan dahinya bingung setelah mendengar jawaban Ethan. “Bukannya lo udah punya kontak wa gue, kenapa minta lagi?”
“Bukan kontak wa lo.”
Nathan refleks menghela napasnya gusar. Dia menggerutu dalam hati, bisakah makhluk hidup yang satu ini mengutarakan keinginannya secara to the point saja?
Niat awal yang ingin bersantai bermain game, menjadi tak terwujud sebab Ethan yang memerlukan sesuatu tetapi tidak mengutarakannya sekaligus. Untung saja sesi permainannya setelah selesai, dia pun dapat mengalihkan perhatiannya sejenak untuk berbicara kepada saudara kembarnya itu.
“Trus kontak wa siapa?” tanya Nathan seraya berputar menghadap ke arah Ethan yang masih berdiri di belakangnya.
Bukannya segera menjawab, Ethan malah terdiam di tempat dengan tatapan kosong yang entah-berantah tak tahu ke mana arahnya. Seperti ada pikiran yang entah apa itu melayang di kepalanya, sehingga dia tak mampu menerapkannya menjadi sebuah kalimat.
Hal itu tentu saja membuat Nathan hampir emosi, jika saja tidak mengingat sebelumnya mereka berdua berkelahi hanya karena dia yang tak dapat menahan emosinya. Kejadian sebelumnya saja keduanya belum saling meminta maaf, hanya berlalu seperti angin saja. Jadi Nathan tak ingin semakin menambah permasalahan di antara mereka. “Ethan, harus banget kah gue nanya lo dua kali mulu?”
Seakan baru tersadar dari lamunannya, laki-laki itu dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Maaf.”
Sekali lagi Nathan menghela napas gusar dibuatnya. “Yaudah, sekali lagi gue tanya. Kalo bukan kontak gue yang mau lo minta, trus kontaknya siapa?”
“Kontak wa Lauren.”