Janetta, gadis empat puluh tahun, berkarier sebagai auditor di lembaga pemerintahan. Bertahan tetap single hingga usia empat puluh karena ditinggalkan kekasihnya yang ditentang oleh orang tua Janetta. Pekerjaan yang membawanya mengelilingi Indonesia, sehingga tanpa diduga bertemu kembali dengan mantah kekasihnya yang sudah duda dua kali dan memiliki anak. Pertemuan yang kemudian berlanjut menghadirkan banyak peristiwa tidak menyenangkan bagi Janetta. Mungkinkah cintanya akan bersemi kembali atau rekan kerja yang telah lama menginginkan Janetta yang menjadi pemilik hati Janetta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arneetha.Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 27
Mataku sembab karena menangis. Akan banyak pertanyaan dari Reyvan jika melihat mataku sembab begini. Kuambil tasku dan kukeluarkan masker mata yang selalu kubawa. Karena aku punya kebiasaan menonton drama Korea berepisode-episode dari malam sampai subuh. Akibatnya kantung mataku muncul dan seperti mata panda. Masker mata adalah jalan ninjaku agar tidak kelihatan kurang tidur.
Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu kamarku. Aku keluar dengan tetap mengenakan masker mata plus masker wajah. Aku takut Reyvan yang di depan kamarku, melihatku baru menangis dan bertanya-tanya. Sementara aku tidak tahu harus menjawab apa.
"Astaga, kaget aku melihatmu,"kata Reyvan dengan senyum mengembang.
Reyvan kelihatan bahagia sekali. Aduh, Rey, aku jadi semakin merasa bersalah padamu, batinku.
"Kenapa Rey? Udah bisa istirahat lho, jam tiga pagi kita harus berangkat ke bandara,"kataku.
"Hehe, aku cuma ingin melihatmu sebelum tidur. Aku super excited, Jane. Aku tidak sabar sampai di Medan dan mempertemukan kamu dengan mamaku,"
"Kamu bisa saja, yang sabar toh, besok kan kita sudah sampai di Medan,"
"Baiklah, selamat malam, Janetta, calon istriku,"
"Malam, Rey,"sahutku ikut tersenyum membalas senyumannya yang masih sumringah.
Reyvan masuk ke kamarnya, begitupun aku. Kurebahkan tubuhku di kasur dan berusaha memenjamkan mata. Aku menyerah dan membiarkan penguasa dunia dan alam semesta mengendalikan jalanku. Jika memang takdir membawaku ke dalam sebuah pernikahan dengan Reyvan, aku akan mencoba menjalaninya.
Tidak bisa kubayangkan akan satu tempat tidur dengan Reyvan. Sampai detik ini, aku hanya merasakan perasaan nyaman dan sayang padanya. Tidak ada getaran dan desiran aneh ketika berdekatan dengan Reyvan. Tidak ada degupan tak beraturan saat aku tanpa sengaja bersentuhan dengannya. Entahlah apa aku bisa menjadi istri yang sesungguhnya untuk Reyvan.
Kami tiba tepat waktu di bandara dan sampai dengan selamat di Medan setelah transit di Surabaya. Pukul dua belas siang kami sampai di Medan. Aku dan Reyvan menuju salah satu restoran di bandara dan mengisi perut dulu sebelum menuju rumah sakit tempat mama Reyvan dirawat.
Saat makan kami membicarakan persiapan pernikahan kami. Hanya saja kami belum bisa memutuskan apa-apa karena tentunya rumit bagi kami untuk menikah dengan segera sementara ada perbedaan keyakinan antara kami berdua. Reyvan akan menghubungi ustadz di lingkungan rumahnya untuk mempertanyakan prosedur seperti apa yang harus kami jalani agar bisa segera menikah.
Namun satu hal yang kami sepakati, bahwa kami tidak akan mengadakan resepsi hingga mama Reyvan sembuh. Rencananya kami akan menikah secara agama dan sipil dahulu. Lalu jika kesehatan mama Reyvan membaik, barulah kami akan mengadakan pesta pernikahan kami dan mengundang teman dan rekan kerja.
Mobil Reyvan sengaja ditinggal di bandara sehingga kami tidak kerepotan untuk akomodasi dari bandara menuju rumah sakit. Reyvan mengemudikan mobil dengan tenang dan masih dengan wajah yang kelihatan sekali bahagianya. Aku terpaksa ikut berpura-pura bahagia.
Ponselku bergetar dan kulihat pesan masuk dari Antonio.
"Kamu dimana, Neta? Aku rindu, ingin ketemu kamu. Mobilmu ada, tapi kata ibu kost kamu pergi dari kemarin dan belum pulang. Kamu solo trip lagi?"
"Sorry, An. Aku ada urusan penting. Nanti aku kabari ya,"jawabku singkat.
"Oke, hati-hati di jalan ya,"balasnya.
Hatiku mencelos, aku tidak tahu bagaimana reaksinya jika mengetahui rencana pernikahanku dengan Reyvan. Kecewakah? Atau aku yang berharap dia akan kecewa dan patah hati, seperti aku dahulu saat dia menikahi orang lain.
Tidak, Reyvan tidak pantas aku jadikan sebagai tameng balas dendam. Bukan itu maksudku. Sejak awal aku ingin menolak permintaan Reyvan. Namun aku tidak sanggup terang-terangan menolaknya karena ini demi ibunya yang sedang tidak stabil kesehatannya. Dan aku meyakini orangtuaku akan menolak lamaran Reyvan karena perbedaan diantara kami. Namun nyatanya orangtuaku setuju dan aku harus menepati janjiku pada Reyvan.
Kami sampai di ruangan tempat Mama Reyvan dirawat. Reyvan anak tunggal dan papanya sudah almarhum. Saat kami masuk ke kamar tempat Mama Reyvan dirawat ada Tante dan Oomnya Reyvan yang menjaga mamanya.
"Oom, Tante, ini Janetta, calon istri Reyvan," Reyvan memperkenalkan aku kepada mereka.
Kujabat tangan Oom Raka dan Tante Syara dengan memperkenalkan namaku. Oom Raka adalah adik kandung Mama Reyvan dan Tante Syara adalah istrinya.
"Mama sudah bagaimana, Oom?"tanya Reyvan sambil menggenggam tangan mamanya yang tertidur.
"Sudah lumayan, Rey. Mama baru minum obat maka dia tertidur. Sebaiknya kalian pulang saja dulu, istirahat, besok harus masuk kantor kan?"ucap Tante Syara.
"Tapi, Tante, Rey pengen mengenalkan Janetta ke Mama,"
"Iya, tapi Mama belum tentu terbangun sampai besok pagi karena pengaruh obat itu."Tante Syara menjelaskan.
"Sementara kalian baru saja sampai dari Manado. Kalian pasti lelah. Besok kalian datanglah kemari pukul sebelas siang, sebelum Mama minum obat, jadi kalian bisa bicara ke Mama,"kata Tante Syara disambut anggukan dari Oom Raka.
"Baiklah Oom, Tante. Kami pulang dulu. Besok kami datang lagi. Tolong kabari Reyvan kalau ada apa-apa ya, Oom, Tante,"
"Kamu tenang saja, Rey," jawab Oom Raka.
Reyvan dan aku keluar dari kamar rawat lalu menuju parkiran dan melaju menuju kostku. Aku turun dari mobil dan bersikeras agar Reyvan tidak usah turun dari mobil, karena sesungguhnya aku takut Reyvan bertemu dengan Antonio.
Dan benar saja, begitu aku naik ke lantai dua, ada Antonio, dengan secangkir kopi dan setangkup roti bakar yang wangi dihadapannya.
"Hai, Neta"sapanya menyongsongku dan meraih tas di tanganku.
"Hai, An. Wangi banget roti bakarmu,"
"Aku buatin untukmu ya. Pakai kopi atau teh?" tawarnya dengan manis.
"Kopi deh, aku butuh cafein kuat sore ini. Tapi aku mandi dulu ya, gerah"
Antonio tersenyum dan mengangguk. Dia mengantarku sampai ke depan pintu kamar. Aku masuk dan menutup pintu. Aku menghela nafas sejenak mengatur degup jantungku yang tidak beraturan begitu melihat Antonio tadi. Sadar, Neta. Kamu sudah terikat janji dengan Reyvan, batinku.
Nyaris setengah jam aku habiskan untuk mandi dan membereskan barang bawaanku tadi. Dengan rambut setengah basah, baju piyama dan sendal kamar, aku menuju pantry dan duduk dihadapan Antonio. Di meja sudah tersedia secangkir kopi panas yang aromanya begitu menggoda dan dua tangkup roti bakar dengan selai blueberry kesukaanku. Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih pada Antonio.
"Pukul berapa kamu sampai disini, An?"
"Sekitar pukul tiga sore tadi. Aku kira kamu ada di kost, aku pengen ajak kamu jalan sore. Eh, rupanya yang dicari nggak ada. Kamu berpetualang kemana dari kemarin?"
"Hmm, bagaimana kabar Anetta?"tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Puji Tuhan, sehat. Tetap ceria dan penuh semangat. Kamu belum jawab pertanyaanku, lho"
Aku terdiam sejenak, menimbang aku harus menceritakan semuanya, sebagian atau tidak sama sekali.
"Aku pulang ke Manado,"jawabanku membuat mata Antonio terbelalak.